Sukses

Lindungi Buah Hati Tuli dari Bullying, Ini yang Dilakukan Ibu Asal Kediri

Anak Berkebutuhan Khusus (ABK) acap kali mendapat perundungan atau bullying dari teman-temannya.

Liputan6.com, Jakarta Anak Berkebutuhan Khusus (ABK) acap kali mendapat perundungan atau bullying dari teman-temannya.

Hal ini juga dialami oleh Bawera Samudera Aksama, bocah penyandang Tuli dari Kediri, Jawa Timur.

Menurut sang ibu, Rokhmiatul Anisa (51), kondisi anak disabilitas memang tak luput dari bullying. Ia bukan satu-satunya orangtua dari anak disabilitas yang menghadapi isu perundungan.

“Mau teman, mau bukan teman, mau saudara, pasti ada yang mem-bully-nya,” kata Anisa kepada Disabilitas Liputan6.com melalui pesan suara, Rabu (31/8/2022).

Ia pun memberikan beberapa contoh perundungan yang pernah dialami sang anak. Menurutnya, kondisi Tuli tak membuat putranya mengurung diri di rumah. Bawera tetap gemar bermain di luar dan cenderung berani kemana-mana sendiri.

Suatu ketika, bocah kelahiran 5 Oktober 2011 itu pergi bermain seperti biasa, tapi ketika pulang ke rumah, mulutnya sudah penuh dengan tanah dan lumpur.

“Nah seperti itu kondisi yang pernah dialami Bawera, dibully teman-temannya sampai seperti itu. Pernah juga pulang bermain pedal sepedanya rusak, bannya robek, hal seperti itu sering kali terjadi.”

Sebagai orangtua, Anisa selalu menguatkan hati ketika anaknya dirundung. Ia pun membagikan tips agar terhindar dari perundungan.

“Agar terhindar dari bullying saya memaksimalkan potensi yang ada dalam diri Bawera. Saya selalu memotivasi bahwa Bawera memiliki nilai tambah dalam dirinya.”

Nilai tambah itu kemudian diasah dengan memfasilitasi bakat yang dimiliki Bawera.

* Follow Official WhatsApp Channel Liputan6.com untuk mendapatkan berita-berita terkini dengan mengklik tautan ini.

2 dari 4 halaman

Mendukung Bakat Buah Hati

“Saya ikutkan kelas menari, kelas mewarnai, kelas berenang yang bisa menambah nilai positif yang ada dalam diri Bawera.”

Sebetulnya, lanjut Anisa, hingga kini ia masih dalam tahap pencarian bakat putranya. Namun, yang akhir-akhir ini dilakukan secara kontinu adalah di bidang foto model dan peragaan busana.

“Bergaya di depan kamera itu kok nyaman sekali dia. Akhirnya saya ikutkan kompetisi-kompetisi seperti itu.”

Beberapa kompetisi termasuk kompetisi dalam jaringan (daring) pun diikuti dan sempat juga meraih gelar juara. Ketika berfoto, Bewara terlihat senang dan percaya diri. Hal itu yang kemudian membuat Anisa ingin berusaha mengasah bakatnya di bidang tersebut.

Kini di usia 11, Bawera bersekolah di salah satu sekolah luar biasa (SLB) di Kediri dan duduk di kelas 4. Selama di sekolah, ia tak menemukan kendala berarti karena lingkungannya ramah ABK.

Anisa pun berharap agar putranya bisa tumbuh mandiri dan memiliki keahlian, minimal keahlian mengurus diri sendiri.

3 dari 4 halaman

Kilas Balik Kelahiran Bawera

Tak lupa, Anisa juga berkisah soal kelahiran Bawera dan awal mula diagnosis Tuli.

Awalnya, ia heran karena buah hatinya belum bisa mengucap satu patah kata pun, padahal usianya sudah menginjak 2 tahun.

“Di usia 2 tahun belum bisa mengucap satu kata pun, kalau diajari huruf ‘A’ dia cuma membuka mulutnya saja enggak ada suara yang keluar,” kata Anisa.

Ia pun mengatakan, di masa kehamilan memang ada masalah. Di usia kehamilan 4 bulan, ibu yang gemar membaca itu sempat sakit panas, tenggorokan sakit, dan muncul bintik-bintik merah di sekujur tubuh.

“Seperti virus Rubella apa CMV, sampai sekarang saya belum melaksanakan tes darah untuk mengetahui virus apa yang menyerang saraf telinga Bawera.”

Mengetahui ada yang berbeda dengan putranya, ia pun membawanya ke dokter anak. Dokter tersebut kemudian merujuk ke dokter telinga, hidung, tenggorokan (THT).

“Dari dokter THT di rumah sakit terdekat saya dirujuk ke rumah sakit yang lebih besar untuk melakukan tes pendengaran di Malang. Ternyata sampai di Malang rumah sakitnya belum meng-cover tingkat gangguan pendengaran pada Bawera, waktu itu namanya tes BERA.”

4 dari 4 halaman

Kondisi Telinga

Ia pun dirujuk lagi ke Surabaya untuk melakukan tes Auditory Steady State Response (ASSR) untuk mengukur tingkat gangguan pendengaran yang sudah sangat berat.

Pemeriksaan di Surabaya menemukan bahwa tingkat gangguan pendengaran Bawera memang berat. Telinga kiri 100 desibel dan telinga kanan 110 desibel. Bawera pun dinyatakan menyandang Tuli.

“Setelah diketahui menyandang Tuli atau tuna rungu saya bawa terapi di rumah sakit terdekat. Di rumah sakit umum melakukan terapi wicara di rehab medik.”

Ia pun menyampaikan, sebelum diketahui menyandang Tuli dan menjalankan terapi, Bawera adalah anak yang sangat aktif dan tak bisa diam. Hal ini terjadi karena pada dasarnya ia belum mengenal konsep akibat kondisinya yang Tuli sehingga perilakunya tidak terkontrol.

“Sekitar sampai usia enam tahun setengah saya masukkan di terapi tersebut, akhirnya lama kelamaan kondisinya mulai stabil,” paparnya.

* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.