Sukses

Studi: Tantangan Kesehatan Mental Para Pelajar di AS Semakin Nyata

Penelitian Mental Health & Gen Z: What Educators Need to Know menunjukkan bahwa para siswa atau pelajar saat ini tengah berjuang dengan kesehatan mental yang menantang.

Liputan6.com, Jakarta Penelitian Mental Health & Gen Z: What Educators Need to Know menunjukkan bahwa para siswa atau pelajar saat ini tengah berjuang dengan kesehatan mental yang menantang.

Ahli Bedah Umum Amerika Serikat Vivek Murthy mengatakan bahwa tantangan kesehatan mental pada anak-anak, remaja, dan dewasa muda adalah tantangan yang nyata dan tersebar luas.

Bahkan sebelum pandemi, sejumlah anak muda yang mengkhawatirkan berjuang dengan perasaan tidak berdaya, depresi, dan pikiran untuk bunuh diri. Hadirnya pandemi COVID-19 menambah beban mental para siswa.

“Kesejahteraan masa depan negara kita tergantung pada bagaimana kita mendukung dan berinvestasi pada generasi berikutnya," kata Vivek mengutip Psychology Today, Kamis (18/8/2022).

Studi menunjukkan bahwa pernyataan Vivek benar. Jumlah anak muda yang berjuang dengan kesehatan mental terbilang mengkhawatirkan, dan mendukung serta berinvestasi dalam penyembuhan mereka sangatlah penting.

Menurut salah satu peneliti, Dr. Josh Packard, krisis saat ini menempatkan perhatian pada bagaimana menanggapi kebutuhan kesehatan mendesak kaum muda. Ia pun melakukan survei pada 3.000 siswa.

Hasilnya, lebih dari setengah siswa (55 persen) mengatakan mereka pernah mengalami trauma, sementara 49 persen mengatakan mereka telah berbicara dengan profesional kesehatan mental seperti terapis, konselor, atau psikolog dalam tiga bulan terakhir (American Academy of Pediatrics , 2021).

 

* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.

* Follow Official WhatsApp Channel Liputan6.com untuk mendapatkan berita-berita terkini dengan mengklik tautan ini.

2 dari 4 halaman

Strategi yang Tak Tepat

Namun yang kurang adalah perhatian yang cukup terhadap strategi proaktif jangka panjang untuk menjaga pikiran anak muda tetap sehat.

“Tema ini muncul berulang kali dalam wawancara kami dengan siswa: Sumber daya kesehatan mental di sekolah dirancang untuk mencegah krisis, bukan mempromosikan budaya ramah kesehatan mental,” kata Josh.

“Dalam konteks universitas saya, sumber daya kesehatan mental performatif, terutama yang tidak berjangka panjang, lebih banyak merugikan daripada menguntungkan.”

Misalnya, membawa anjing untuk dipelihara di perpustakaan selama ujian tidak membahas elemen inti mengapa siswa mengalami peningkatan dalam stres dan kecemasan. Seperti kecemasan yang yang datang selama ujian dan minggu-minggu sebelum ujian dimulai.

“Anjing terapi tidak akan menyelesaikan masalah tersebut. Kami membutuhkan sumber daya kesehatan mental yang konsisten yang membahas bagaimana pembelajaran yang dilakukan sehari-hari membuat siswa stres ” kata Lana, seorang mahasiswa berusia 22 dalam penelitian yang dipublikasikan di Springtide Research Institute itu.

 

* BACA BERITA TERKINI LAINNYA DI GOOGLE NEWS

3 dari 4 halaman

Lebih Peduli Pencapaian Akademik

Siswa juga memberitahu peneliti bahwa sumber daya sekolah yang dirancang untuk mengatasi krisis kesehatan mental, seperti konselor bimbingan, tampaknya lebih peduli dengan pencapaian akademik siswa ketimbang mempromosikan kesejahteraan siswa.

“Bahkan konselor bimbingan Anda di sekolah akan seperti, 'Oh, apakah semuanya baik-baik saja? Oh tidak, bukan? Yah, saya akan membantu Anda, tetapi Anda harus mendapatkan nilai bagus dalam ujian Anda karena Anda tidak ingin nilai Anda buruk.”

Menurut responden, mereka hanya membutuhkan seseorang untuk diajak bicara dan bisa menjadi pendengar yang baik.

“Yang akan membantu kami, yang tidak memiliki motif apa pun selain hanya ingin kami menjadi lebih baik. Konselor bimbingan kami, meskipun mereka hebat, mereka memiliki mode seperti, 'Oke, bagaimana kita akan lulus dari kelas-kelas itu?'” kata Julie, seorang siswa SMA berusia 17.

Model penugasan konselor sekolah yang berlaku untuk mengatasi krisis siswa berdasarkan kasus per kasus tidak cukup untuk memenuhi kebutuhan siswa saat ini.

4 dari 4 halaman

Banyak Tuntutan dan Tekanan

Pendekatan ini telah dilakukan dari waktu ke waktu tapi tetap tidak berhasil. Sehingga pertanyaan yang timbul adalah: Apa yang dapat dilakukan seseorang secara berbeda untuk meningkatkan kesehatan mentalnya?

Serta: Apa yang dapat dilakukan organisasi untuk mendukung kesehatan mental kaum muda dengan lebih baik?

“Terkait hal ini, siswa memberi tahu kami bahwa inisiatif sekolah untuk menangani kesehatan mental tidak juga mengatasi alasan yang mendasari stres (penyebab stres)—yaitu, stres yang berasal dari sekolah.”

Siswa lainnya mengatakan, ia punya teman yang dihukum jika tidak mendapatkan nilai A. Dan ia pikir itu memberi banyak tekanan pada mereka, terutama ketika mereka sudah mengalami masalah yang tidak diketahui oleh orangtua mereka.

“Saya pikir ada banyak tekanan yang diberikan kepada kami untuk melakukannya dengan sangat baik, untuk menyeimbangkan semua hal ini. Terutama ketika masalah kesehatan mental kami tidak didengar, itu membuatnya semakin sulit, ”kata Ara, siswa sekolah menengah atas usia 16.

Dengan kata lain, berbagai tuntutan dan tekanan membuat siswa mengalami kesehatan mental. Ini semakin parah ketika keluhan mental mereka tak didengar.

“Untuk mulai menangani krisis kesehatan mental siswa pada tingkat sistemik, sekolah perlu mulai dengan menginterogasi harapan yang diberikan kepada siswa untuk menentukan apakah itu realistis atau dapat dicapai,” kata peneliti.

* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.