Sukses

Temuan Studi Baru, Autisme yang Tidak Terdiagnosis Berkaitan dengan Risiko Bunuh Diri

Sebuah studi baru telah mengungkapkan bahwa sejumlah besar orang yang meninggal karena bunuh diri cenderung memiliki autisme yang tidak terdiagnosis.

Liputan6.com, Jakarta Sebuah studi baru telah mengungkapkan bahwa sejumlah besar orang yang meninggal karena bunuh diri cenderung memiliki autisme yang tidak terdiagnosis.

Sebuah tim peneliti, yang dipimpin oleh Dr Sarah Cassidy dari Nottingham University dan Profesor Simon Baron-Cohen dari Pusat Penelitian Autisme di Cambridge University, adalah yang pertama meneliti bukti autisme dan ciri-ciri autisme pada mereka yang meninggal karena bunuh diri di Inggris, serta untuk memahami prevalensi autisme yang tidak terdiagnosis.

Dilansir dari Healtheuropa, menjadi autisme berarti otak berfungsi dengan cara yang berbeda dari orang lain. Ini bisa berarti bahwa komunikasi bisa menjadi sulit dan cahaya terang atau suara keras mungkin terasa berlebihan hingga mengganggu. Autisme adalah spektrum dan setiap orang dengan autisme berbeda-beda.

Adapun penelitian tersebut belum lama ini dirilis di British Journal of Psychiatry.

 

 

* Follow Official WhatsApp Channel Liputan6.com untuk mendapatkan berita-berita terkini dengan mengklik tautan ini.

2 dari 3 halaman

Hasil analisis

Tim menganalisis catatan pemeriksaan dari 372 orang yang meninggal karena bunuh diri dan juga mewawancarai anggota keluarga dari mereka yang meninggal.

Para peneliti menemukan bahwa 10% dari mereka yang meninggal karena bunuh diri terbukti memiliki peningkatan sifat autisme, yang menunjukkan kemungkinan autisme mereka tidak terdiagnosis. Ini 11 kali lebih tinggi dari tingkat autisme di Inggris. Adapun peneliti bekerja sama dengan kantor koroner di dua wilayah Inggris untuk mengidentifikasi catatan tersebut.

Tim pertama-tama memeriksa pemeriksaan koroner untuk setiap kematian karena bunuh diri untuk tanda-tanda peningkatan sifat autisme yang menunjukkan kemungkinan autisme yang tidak terdiagnosis atau diagnosis autisme yang pasti. Bukti autisme kemudian diperiksa oleh peneliti independen untuk memastikan keputusan itu dapat diandalkan. Para peneliti berbicara dengan 29 keluarga untuk mengumpulkan bukti lebih lanjut untuk menguatkan ciri-ciri autisme yang meningkat pada mereka yang meninggal.

Setelah berbicara dengan keluarga, para peneliti menemukan bukti peningkatan sifat autisme pada lebih banyak orang yang meninggal karena bunuh diri (41%), yang 19 kali lebih tinggi daripada tingkat autisme di Inggris.

“Tingkat bunuh diri sangat tinggi pada penyandang autisme dan pencegahan bunuh diri harus menjadi tujuan nomor satu untuk mengurangi peningkatan kematian yang mengkhawatirkan pada kelompok ini," kata Simon Baron-Cohen.

Penelitian sebelumnya yang menganalisis penyandang autisme menunjukkan bahwa hingga 66% orang dewasa autisme penah memikirkan untuk bunuh diri, dan 35% telah mencoba bunuh diri. Bahkan data dari rumah sakit menunjukkan 15% orang yang dirawat setelah percobaan bunuh diri memiliki diagnosis autisme.

Penelitian sebelumnya juga menemukan bahwa autisme yang terdiagnosis dan mereka yang memiliki sifat autisme tinggi, lebih rentan terhadap masalah kesehatan mental, pikiran untuk bunuh diri, dan perilaku. Sehingga studi yang baru lebih mendalaminya dengan memeriksa riwayat koroner orang-orang yang telah mengakhiri hidup mereka sendiri.

Peneliti juga menyebutkan ada banyak hambatan untuk mendapatkan diagnosis autisme, termasuk terbatasnya ketersediaan layanan diagnostik, yang menyebabkan daftar tunggu yang panjang. Bahkan setelah diagnosis, ada layanan dukungan yang tidak memadai untuk autisme. Oleh karena itu banyak orang yang hidup dengan autisme yang tidak terdiagnosis.

“Banyak orang dewasa di Inggris merasa sangat sulit untuk mendapatkan diagnosis autisme dan dukungan pasca diagnosis yang tepat. Studi kami menunjukkan bahwa autisme yang tidak terdiagnosis dapat meningkatkan risiko kematian karena bunuh diri," komentar Dr Sarah Cassidy.

Sehingga ia menekankan pentingnya peningkatan akses ke diagnosis autisme dan dukungan pasca-diagnosis yang tepat. Ini sebagai tindaan pencegahan bunuh diri dan perlu segera ditangani oleh komisioner layanan dan pembuat kebijakan.

“Bahkan satu bunuh diri adalah tragedi yang mengerikan bagi orang tersebut dan kehilangan traumatis bagi keluarga dan teman-teman mereka. Tingkat bunuh diri sangat tinggi pada autisme dan pencegahan bunuh diri harus menjadi tujuan nomor satu untuk mengurangi peningkatan kematian yang mengkhawatirkan pada kelompok ini," tambah Profesor Simon Baron-Cohen.

Prof Simon bahkan menyebutkan berdasarkan data peningkatan kasus bunuh diri sejak tahun 2014, penyandang autisme rata-rata meninggal 20 tahun lebih awal daripada orang non-autistik, dan dua penyebab utamanya adalah bunuh diri dan epilepsi. Meskipun diterbitkannya data tersebut sebagai peringatan bagi pemerintah, namun belum ada yang dilakukan, jelasnya.

Saat ini, bukti diagnosis autisme atau peningkatan sifat autisme biasanya tidak dimasukkan dalam pemeriksaan koroner di Inggris. Studi ini menyoroti perlunya koroner untuk secara sistematis mengumpulkan bukti tersebut untuk membantu mencegah kematian di masa depan. Ada juga kebutuhan mendesak untuk bekerja dengan komunitas autisme untuk merancang bersama layanan pencegahan bunuh diri. Lebih lanjut lagi menyoroti kebutuhan mendesak untuk diagnosis dini, kesadaran autisme yang tidak terdiagnosis dan dukungan yang disesuaikan untuk pencegahan bunuh diri.

 

3 dari 3 halaman

KONTAK BANTUAN

Bunuh diri bukan jawaban apalagi solusi dari semua permasalahan hidup yang seringkali menghimpit. Bila Anda, teman, saudara, atau keluarga yang Anda kenal sedang mengalami masa sulit, dilanda Depresi dan merasakan dorongan untuk bunuh diri, sangat disarankan menghubungi dokter kesehatan jiwa di fasilitas kesehatan (Puskesmas atau Rumah Sakit) terdekat.

Bisa juga mengunduh aplikasi Sahabatku: https://play.google.com/store/apps/details?id=com.tldigital.sahabatku

Atau hubungi Call Center 24 jam Halo Kemenkes 1500-567 yang melayani berbagai pengaduan, permintaan, dan saran masyarakat.

Anda juga bisa mengirim pesan singkat ke 081281562620, faksimili (021) 5223002, 52921669, dan alamat surat elektronik (surel) kontak@kemkes.go.id.

* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.

Video Terkini