Sukses

Remaja Difabel Berisiko 5 Kali Lipat Menderita Gangguan Kesehatan Mental

Remaja penyandang disabilitas ternyata mengalami pemburukan kesehatan mental daripada teman seusianya yang tanpa disabilitas, menurut penelitian terbaru

Liputan6.com, Jakarta Stres yang ditimbulkan oleh COVID-19 dirasakan oleh segala usia, terutama remaja penyandang disabilitas, seperti hasil penelitian terbaru. Sementara strategi penanggulangan kesehatan mental sedang dibangun untuk membantu.

Dilansir dari Gmtoday, remaja penyandang disabilitas ternyata mengalami pemburukan kesehatan mental daripada teman seusianya yang tanpa disabilitas. Menurut peneliti University of Illinois di Chicago, remaja penyandang disabilitas hingga lima kali lebih mungkin menderita gangguan kesehatan mental, emosional dan perilaku dibandingkan remaja tanpa disabilitas.

Kristin Berg dari asosiasi profesor bidang disabilitas dan pengembangan manusia di UIC, mengatakan kalau mengatasi hal tersebut, lebih baik integrasi layanan kesehatan mental dijadikan bagian dari layanan koordinasi perawatan negara alih-alih mengandalkan rujukan ke layanan kesehatan mental.

“Sering kali layanan PT (terapi fisik), OT (terapi okupasi) dan terapi wicara diprioritaskan. Sebagai sebuah negara, kami belum memprioritaskan perawatan kesehatan mental dalam arti perawatan kesehatan yang terjangkau dan mudah diakses. Bagi penyandang disabilitas, hal itu ribuan kali lebih kompleks karena hambatan akses dan juga kurangnya penyedia di dunia perawatan kesehatan mental yang terlatih untuk menangani individu dengan disabilitas intelektual dan autisme,” jelas Berg.

Sebagai penyandang disabilitas, Berg mengatakan berbagai faktor ikut berperan ketika sebuah keluarga berusaha untuk mengatasi depresi atau kecemasan anak dengan autisme. Diantaranya penyedia yang mengatakan kalau mereka tidak merawat disabilitas intelektual, hingga sulitnya menemukan penyedia layanan yang tahu tentang masalah disabilitas tertentu yang dapat diakses.

Berg menambahkan bahwa seringkali ketika seorang penyandang disabilitas berusaha berobat, disabilitasnya dianggap penyebab gejala depresi atau kecemasan, padahal tidak selalu demikian. Masalahnya, memang sulit menyadari trauma pada penyandang disabilitas.

“Dalam penelitian saya sendiri, secara klinis atau anekdot, saya mendengar banyak kasus individu penyandang disabilitas dilecehkan dan diabaikan. Ketika penyandang disabilitas datang diperiksa, alur medis kini fokus pada disabilitas mereka. Mereka hanya menangani gejala-gejala dari kondisi medis itu. Sering kali kesehatan perilaku tidak mendapat intervensi. Karena ketertinggalan dalam pelatihan dan profesi, banyak dokter atau spesialis perawatan primer tidak terlatih dalam kesehatan perilaku, dan tenaga kerja kesehatan perilaku, mereka tidak terlatih dalam disabilitas intelektual dan perkembangan. Itu faktor lain yang kami lihat ... profesi ini tidak berdialog dan penyandang disabilitas yang memiliki komorbid depresi/kecemasan pun jatuh pada keputusasaan,” kata Berg.

 

* Follow Official WhatsApp Channel Liputan6.com untuk mendapatkan berita-berita terkini dengan mengklik tautan ini.

2 dari 2 halaman

Beberapa setuju

Jennifer Hernandez setuju. Sebagai praktisi perawat keluarga dan orang tua dari Camille yang berusia 14 tahun, alias Cami, yang menderita autisme, Hernandez mengatakan ini adalah perjuangan sejak diagnosisnya pada usia 17 bulan dengan asuransi dan kebutuhan sekolahnya.

“Anda memiliki pasien yang mengalami nyeri dada, mereka berada di meja itu dalam waktu 24 jam. Anda memiliki anak yang memiliki ide bunuh diri? Anda pergi ke UGD, Anda menunggu berjam-jam untuk dinilai, ”katanya. “Begitulah cara kami memperlakukan anak-anak kami di negara ini. Ini luar biasa dan mengejutkan, dan itu menyedihkan. Trauma emosional yang sudah dialami masa' diperlakukan sama seperti keduanya?

“Saat ini kami tidak memiliki sistem di mana kami bisa seperti, 'Oh, seseorang dengan disabilitas perkembangan dan/atau autisme membutuhkan dukungan kesehatan mental? Mari beri mereka terapi ini,” kata Nahime Aguirre Mtanous, peserta pelatihan Leadership Education in Neurodevelopmental and related Disabilities (LEND) Program 2021-22, yang menyediakan pelatihan tingkat pascasarjana yang dirancang untuk meningkatkan kesehatan dan kesejahteraan individu penyandang disabilitas. “Kami tidak memiliki terapi yang dapat mendukung mereka dengan baik.”

Berdasarkan permasalah tersebut maka mulai musim gugur 2022, para peneliti UIC berencana untuk mendaftarkan dan mengikuti 780 remaja (usia 13 hingga 20, dari lingkungan perkotaan dan pedesaan) dengan disabilitas intelektual dan perkembangan dan keluarga mereka selama 24 bulan untuk mengumpulkan pengalaman sistem perawatan kesehatan mereka.

Selama penelitian, peneliti akan melacak bagaimana perasaan remaja dan perilaku kesehatan mereka dengan mengajukan pertanyaan tentang kecemasan dan depresi, kesehatan, kebiasaan kesehatan, fungsi, kemampuan untuk mengelola perawatan kesehatan dan self-efficacy.

Tim juga akan melacak seberapa puas remaja, orang tua, dan penyedia layanan kesehatan dengan pengalaman koordinasi perawatan. Semua peserta akan menerima koordinasi perawatan dari lembaga Layanan Kesehatan Ibu dan Anak Illinois, tetapi setengah dari peserta juga akan menerima pengetesan kesehatan perilaku yang disebut CHECK. CHECK menyediakan petugas kesehatan masyarakat dan koordinator kesehatan perilaku untuk membantu dan mendukung penerima Medicaid dengan melakukan intervensi preventif dan meningkatkan proses rujukan di bidang kesehatan fisik, perilaku, dan sosial.

Harapan Berg dengan penelitian ini yaitu ia bisa mengidentifikasi dini dan mendapat pengobatan yang layak berdasarkan layanan kesehatan masyarakat untuk meningkatkan kesehatan dan lintasan kejuruan di seluruh rentang kehidupan bagi remaja dengan disabilitas intelektual dan perkembangan.

"Penting bagi semua orang untuk ikut campur lebih awal dan mencegah krisis yang kita lihat sekarang, yaitu anak-anak dirawat di rumah sakit, mereka berada di rumah sakit selama berhari-hari dengan krisis kesehatan mental ini, yang biayanya tidak murah daripada jika mendapat diagnosis lebih awal dan memberikan layanan terapi perilaku kognitif yang efektif dan singkat,” kata Berg. “Kami ingin menghilangkan semua langkah tambahan untuk keluarga yang sudah stres dan berurusan dengan banyak hal.”

Adapun agenda tim peneliti Berg yaitu mengintegrasikan penyandang disabilitas secara lebih umum ke dalam layanan terapi psikiatri dan psikologis, mengadaptasi intervensi yang umum digunakan seperti terapi perilaku kognitif dan kurikulum agar dapat diakses oleh orang-orang dengan berbagai jenis disabilitas, penuh dengan pemangku kepentingan disabilitas dan penyelidik yang memiliki disabilitas. Kelompok fokus akan memberi nasihat tentang bahasa, kegiatan, alat bantu visual, dan strategi tentang cara penerapannya.

“Dengan mengoptimalkan fungsi dan partisipasi, setiap sistem kami, diantaranya perawatan lansia, perawatan keluarga muda, menjadi lebih baik,” kata Dr. Michael Msall, profesor pediatri di University of Chicago.

“Hasil penelitian ini akan menciptakan pengetahuan baru tentang model koordinasi perawatan yang mana yang menghasilkan kesehatan mental dan hasil transisi yang lebih baik, serta model mana yang lebih disukai oleh remaja penyandang disabilitas dan keluarga mereka,” kata peneliti utama studi tersebut, Dr. Benjamin Van Voorhees, profesor UIC dan kepala pediatri di College of Medicine.

“Pengetahuan semacam itu dapat menyebabkan perubahan sistematis dalam bagaimana depresi dan kecemasan diidentifikasi dan diperlakukan pada populasi ini, yang berpotensi mengurangi hambatan yang ada untuk mengakses perawatan kesehatan perilaku yang secara tidak proporsional berdampak pada pemuda penyandang disabilitas ras dan etnis minoritas,” tambah Dr. Benjamin.

* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.

Video Terkini