Sukses

Mahasiswi Disabilitas di Harvard Dorong Kewaspadaan COVID-19

Melissa Shang, mahasiswa tahun pertama membantu membentuk kelompok di kampus untuk mendorong pendidikan, representasi, aksesibilitas bagi disabilitas.

Liputan6.com, Jakarta Melissa Shang, mahasiswa tahun pertama membantu membentuk kelompok di kampus untuk mendorong pendidikan, representasi, aksesibilitas bagi disabilitas.

Melissa Shang tengah menyoroti tantangan yang kelompok penyandang disabilitas yang telah lama diabaikan dan belum sepenuhnya menjadi fokus pembangunan, khususnya semenjak pandemi COVID-19.

"Disabilitas saya melemahkan paru-paru saya, yang menempatkan saya pada risiko yang lebih tinggi jika tertular COVID-19 akan bergejala parah,” kata Shang, yang memiliki penyakit Charcot-Marie-Tooth, gangguan saraf degeneratif yang menyebabkan distrofi otot, dikutip dari newsharvardedu.

“Ketika pandemi pertama kali dimulai, saya mendengar begitu banyak orang mengatakan hal-hal seperti, 'Oh, kita akan baik-baik saja. Ini hanya mempengaruhi orang tua dan berisiko.' Sementara sebagai seseorang yang berisiko, rasanya seperti saya dikecualikan. Saya merasa seolah teman-teman sekelas saya, rekan-rekan saya, guru-guru saya tidak berpikir bahwa hidup saya sama pentingnya dengan hidup mereka, dan itu cukup menyulitkan saya.”

Sementara itu Thayer Hall Resident, yang berperan penting dalam mendirikan Harvard Undergraduate Disability Justice Club musim gugur yang lalu mempertimbangkan untuk fokus pada bidang sosiologi.

“Saya cukup beruntung telah menemukan komunitas kami di Harvard. Teman-teman saya dan saya memutuskan untuk memulai grup ini untuk menciptakan komunitas sosial bagi orang-orang dengan disabilitas yang berjuang dan mengadvokasi kebutuhan kami,” kata Shang.

Shang, yang menggunakan kursi roda dan memiliki beberapa asisten perawatan pribadi untuk membantunya berpakaian dan siap sepanjang hari, telah menemukan bahwa Harvard mengakomodasi kebutuhannya. Ia percaya kalau Universitas tersebut dapat menangani beberapa tantangan, terutama meningkatkan aksesibilitas, yang merupakan prioritas utama bagi kelompoknya.

Ia juga mencatat ada beberapa kursus yang didedikasikan untuk studi disabilitas, sebuah situasi yang diharapkan klubnya dapat ditingkatkan.

“Mayoritas badan mahasiswa di Harvard, dan benar-benar masyarakat umum, sangat tidak menyadari perjuangan dan tantangan yang dihadapi penyandang disabilitas karena kemampuan sistemik dan sosial dan tidak dapat diaksesnya, jadi penting untuk meningkatkan kesadaran ini dan mengadvokasi perubahan,” kata co-presiden Shang, Sarika Chawla, seorang junior yang berkonsentrasi dalam ilmu komputer.

 

Simak Video Berikut Ini:

* Follow Official WhatsApp Channel Liputan6.com untuk mendapatkan berita-berita terkini dengan mengklik tautan ini.

2 dari 2 halaman

Pandemi COVID-19 memperburuk keadaan

Menurut Shang, pandemi COVID-19 telah memperburuk kebutuhan untuk mendidik orang tentang sejarah disabilitas di AS dan kesulitan yang dihadapi mereka yang memiliki kondisi mental atau fisik yang membuatnya sulit untuk melakukan aktivitas tertentu. Tapi advokasinya untuk penyandang disabilitas telah menjadi pencarian seumur hidupnya.

“Tumbuh sebagai penyandang disabilitas, saya sering merasa sendirian dalam kehidupan sehari-hari,” katanya. Tidak dapat bermain dengan teman sekelas di taman bermain, sehingga banyak waktu tenggelam dalam dongeng, meskipun ia menyesalkan betapa tidak pernahnya ia menemukan karakter yang mewakili disabilitas sepertinya.

Rasa frustrasi itu mendorong Shang yang saat itu berusia 10 tahun untuk mengambil tindakan. Ia dan saudara perempuannya Eva mengajukan petisi American Girl, merek boneka dan buku, untuk merilis boneka dengan disabilitas. Dua bersaudari ini memperoleh lebih dari 140.000 tanda tangan dalam petisi Change.org .

American Girl mengakui upaya Shang tetapi, akhirnya, menolaknya. Penolakan itu tidak menghentikan Shang, yang kemudian menulis dan menerbitkan sendiri buku anak-anaknya, “Mia Lee Is Wheeling Through Middle School,” tiga tahun kemudian. Cerita yang ia tulis tersebut berpusat di sekitar seorang gadis dengan kondisi yang sama seperti Shang, meskipun ia mencatat bahwa buku itu tidak berfokus pada karakter disabilitasnya, melainkan pengalamannya sebagai siswa sekolah menengah.

“Walaupun saya difabel, saya tetap seorang manusia,” katanya. Seperti teman-temannya, ia suka membaca novel, belajar di Lamont Library, dan menjelajahi malam di Mike's Pastry.

Anehnya, sementara pandemi menciptakan masalah khusus dan kecemasan bagi siswa penyandang disabilitas, ada satu manfaat yang sama sekali tidak terduga. Adopsi alat seperti Zoom di tengah peralihan ke pembelajaran jarak jauh memungkinkan Shang dan beberapa siswa penyandang disabilitas lainnya untuk berpartisipasi dalam lebih banyak kegiatan dengan teman sekelas dan terhubung lebih teratur dengan rekan-rekan penyandang disabilitas di kampus. Itu setidaknya menawarkan rasa inklusif dan aksesibilitas yang lebih besar.

Chawla mengatakan Shang sangat berkomitmen untuk membawa perubahan seperti itu dan ingin memastikan dunia menjadi tempat yang lebih baik, lebih mudah diakses bagi penyandang disabilitas.

* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.