Sukses

Perempuan dengan Gangguan Jiwa Lebih Rentan Mengalami Kekerasan Seksual Ketimbang Non Disabilitas

Penyandang disabilitas psikososial atau orang dengan gangguan jiwa (ODGJ) acap kali mengalami kesulitan dalam mendapatkan keadilan hukum.

Liputan6.com, Jakarta Penyandang disabilitas psikososial atau orang dengan gangguan jiwa (ODGJ) acap kali mengalami kesulitan dalam mendapatkan keadilan hukum.

Padahal, ODGJ sangat rentan mengalami kekerasan seksual. Menurut Koordinator Advokasi Jaringan Lembaga Sasana Inklusi dan Gerakan Advokasi Difabel (SIGAB), Sipora Purwanti, banyak kasus di mana ODGJ mendapat kekerasan seksual hingga hamil.

SIGAB sendiri adalah lembaga yang khusus melakukan pendampingan dan membantu penanganan kasus-kasus penyandang disabilitas.

“Mereka tidak paham apa yang terjadi, kalau mereka paham mereka akan cerita dan ada tahapan penanganannya,” kata Purwanti dalam video bincang-bincang bersama Staf Khusus Presiden Angkie Yudistia, ditulis Senin (4/1/2021).

Purwanti juga menyampaikan data yang menunjukkan jumlah perempuan disabilitas yang mendapatkan perlakuan seks yang tidak diinginkan lebih tinggi (19,7 persen) ketimbang perempuan tanpa disabilitas (8,2 persen).

Perempuan dengan disabilitas juga lebih rentan mendapatkan kekerasan seksual (37,3 persen) ketimbang perempuan non disabilitas (20,6 persen).

Sedang, kekerasan yang terjadi pada penyandang disabilitas mental 80 persennya adalah perempuan dan 30 persennya laki-laki. 50 persen perempuan dari persentase tersebut mengalami kekerasan seksual lebih dari 10 kali.

Simak Video Berikut Ini:

* Follow Official WhatsApp Channel Liputan6.com untuk mendapatkan berita-berita terkini dengan mengklik tautan ini.

2 dari 3 halaman

Baru Ketahuan Setelah Hamil

ODGJ baru diketahui mengalami kekerasan seksual biasanya setelah ia hamil 6 hingga 8 bulan. Dalam kondisi tersebut perutnya sudah terlihat membesar.

“Ini yang membuat kadang-kadang kesulitan juga untuk melakukan penanganan (hukum).”

Padahal, ada berbagai langkah yang perlu dilakukan dalam penanganan hukum bagi disabilitas tersebut. Misal, pengecekan keadaan janin guna memastikan janinnya sehat atau tidak.

“Kemudian kita perlu mengukur gizinya, terpenuhi atau tidak. Obat yang dibutuhkan, misalkan vitamin, ini yang perlu kita jaga.”

Ketika melakukan pendampingan, SIGAB akan melihat ragam disabilitasnya, hambatannya, cara mendudukkannya sebagai subjek hukum, kemudian melihat kebutuhan apa saja yang diperlukan.

“Misal kalau dia hamil ya kita akan merencanakan bagaimana proses penanganan kesehatannya.”

Biasanya, SIGAB bekerja sama dengan Puskesmas, bidan desa, yang secara berkelanjutan memeriksa kehamilannya dan akan diawasi hingga masa persalinan.

3 dari 3 halaman

Infografis Akses dan Fasilitas Umum Ramah Penyandang Disabilitas

* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.