Sukses

3 Teori tentang Perilaku Stereotipik yang Tak Disadari Penyandang Tunanetra

Salah satu hambatan bagi tercapainya penyesuaian sosial yang baik bagi sejumlah individu tunanetra adalah perilaku stereotipik (Stereotypic behavior).

Liputan6.com, Jakarta Salah satu hambatan bagi tercapainya penyesuaian sosial yang baik bagi sejumlah individu tunanetra adalah perilaku stereotipik (Stereotypic behavior). Perilaku stereotipik yang sering juga disebut mannerism atau blindism adalah gerakan-gerakan khas yang menjadi kebiasaan yang sering tak disadari.

Gerakan-gerakan tersebut contohnya menggoyang-goyang tubuh, menekan-nekan bola mata, bertepuk-tepuk, dan gerakan lainnya yang dilakukan di luar konteks.

Peneliti Universitas Pendidikan Indonesia (UPI) Didi Tarsidi, mengutip tulisan Hallahan dan Kauffman (1991) yang mengidentifikasi tiga teori utama yang saling bertentangan mengenai sebab-sebab berkembangnya perilaku stereotipik.

Teori pertama adalah kurangnya rangsangan penginderaan. Anak yang mengalami rangsangan indera yang rendah, seperti anak tunanetra, berusaha mengatasi kekurangan ini dengan merangsang dirinya dengan cara-cara lain.

“Thurrell dan Rice (Hallahan & Kauffman, 1991) menemukan frekuensi yang lebih tinggi dalam gerakan menekan-nekan mata di kalangan anak-anak yang berpenglihatan minimal dibanding dengan mereka yang berpenglihatan lebih banyak atau tidak berpenglihatan sama sekali,” tulis Didi dalam penelitiannya ditulis pada, Selasa (15/9/2020).

Ia menambahkan, mereka percaya bahwa anak dengan penglihatan minimal dapat memperoleh rangsangan dari dorongan-dorongan neural melalui tekanan pada matanya. Anak tunanetra total tidak demikian.

Teori kedua adalah kurangnya sosialisasi. Dengan rangsangan sensoris yang cukup pun, isolasi sosial dapat mengakibatkan individu mencari rangsangan tambahan melalui perilaku stereotipik. Beberapa penelitian terhadap hewan menunjukkan bahwa isolasi sosial, bahkan dalam lingkungan yang kaya rangsangan pun, dapat mengakibatkan terjadinya perilaku stereotipik.

Teori ketiga adalah regresi ke pola-pola perilaku yang pernah menjadi kebiasaannya bila mengalami stres. Dengan berargumentasi bahwa anak-anak awas pun kadang-kadang kembali ke pola perilaku yang kurang matang.

“Sejumlah peneliti seperti Knight, Smith, Chethik, dan Adelson (Hallahan & Kauffman, 1991) berpendapat bahwa perilaku stereotipik mungkin merupakan cara yang bijaksana bagi anak untuk melarikan diri ke ‘tempat yang lebih aman’ untuk mengatasi situasi stres.”

Simak Video Berikut Ini:

* Follow Official WhatsApp Channel Liputan6.com untuk mendapatkan berita-berita terkini dengan mengklik tautan ini.

2 dari 3 halaman

Mengurangi Perilaku Stereotipik

Belum ditemukan bukti untuk menyimpulkan bahwa satu dari ketiga penjelasan di atas merupakan teori terbaik untuk menjelaskan penyebab perilaku stereotipik. Oleh karenanya, lebih aman bila diasumsikan bahwa kombinasi dari ketiga teori tersebut memberikan penjelasan terbaik tentang bagaimana terjadinya perilaku tersebut.

“Akan tetapi, yang lebih penting adalah mencari cara untuk membantu anak tunanetra untuk menghilangkan atau mengurangi perilaku stereotipik tersebut.”

Sejumlah peneliti telah membuktikan efektivitas beberapa prosedur tertentu untuk itu. Jindal-Snape, Kato, dan Maekawa (1998) berhasil menggunakan prosedur evaluasi diri (self-Evaluation Procedures) untuk menghilangkan perilaku stereotipik pada beberapa anak tunanetra usia SD.

McAdam, O'Cleirigh, dan Cuvo (1993) menggunakan prosedur manajemen diri (self-management procedures) untuk mengoreksi perilaku stereotipik pada seorang dewasa yang tunanetra sejak lahir. Dalam suatu studi yang ditujukan untuk mengurangi perilaku tak wajar, Fowler (1986) menggunakan prosedur monitoring teman sebaya (peer monitoring procedure) untuk mengurangi perilaku stereotipik.

3 dari 3 halaman

Infografis Akes Penyandang Disabilitas:

* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.