Sukses

Media Sosial Bisa Menjadi Wadah Penyampaian Hak dan Identitas Disabilitas

Media sosial kini sudah sangat berkembang, manfaatnya bisa dirasakan oleh setiap orang termasuk penyandang disabilitas.

Liputan6.com, Jakarta Media sosial kini sudah sangat berkembang, manfaatnya bisa dirasakan oleh setiap orang termasuk penyandang disabilitas. Menurut Jaka Ahmad, seorang content creator disabilitas dan komika, media sosial sangat memungkinkan jika digunakan untuk mengkampanyekan hak-hak disabilitas.

“Mereka mau beropini, mau diskusi, mau narsis, apapun bisa dilakukan di media sosial. Media untuk mengekspresikan diri sudah sangat akses dan perkembangan sangat positif karena membantu masyarakat untuk mengekspos dirinya sendiri,” ujar Jaka dalam webminar Konekin (4/7/2020).

Menurutnya, banyaknya pengetahuan tentang disabilitas di internet seharusnya membuat masyarakat lebih terdidik dan tidak menanyakan hal-hal yang sangat mendasar.

“Masih ada yang tanya kalau orang buta cara pakai ponselnya bagaimana dan cara mengoperasikan komputernya bagaimana. Padahal, informasi-informasi seperti itu sudah sangat banyak di internet.”  

Simak Video Berikut Ini:

* Follow Official WhatsApp Channel Liputan6.com untuk mendapatkan berita-berita terkini dengan mengklik tautan ini.

2 dari 2 halaman

Membangun Identitas di Media

Menanggapi hal tersebut, Annisa Anindya M.Si Dosen Ilmu Komunikasi Universitas Andalas, Padang berpendapat, walau banyak konten tentang disabilitas di internet, namun masyarakat mencari konten yang sesuai minatnya.

“Permasalahannya adalah, ada hal-hal yang tidak ingin mereka (non-difabel) ketahui. Mereka hanya menggunakan media untuk mencari hal-hal yang mereka inginkan,” katanya dalam kesempatan yang sama.

Selain itu, tambahnya, penyandang disabilitas sudah memiliki stereotip di masyarakat umum. Di kehidupan sehari-hari masyarakat disabilitas dianggap minoritas yang tidak memiliki suara.

“Media harusnya bisa mengakomodir segala bentuk konten. Saya lihat konten prank tentang difabel sangat merugikan karena menganggap difabel sebagai objek yang harus dikasihani.”

Di sisi lain, ruang-ruang untuk berinteraksi dengan difabel pun sangat terbatas. Menurut pengalamannya di kampung halaman, Padang, tidak banyak tempat umum yang mengakomodir difabel dengan masyarakat lain. Sehingga difabel masih sangat asing.

“Sebenarnya harus ada ranah publik dulu yang dibangun kemudian barulah bergerak ke media. Tapi untungnya, karena ada media, teman-teman difabel itu sudah mulai menyuarakan identitas yang tampaknya minoritas tapi seharusnya menjadi keunikan tersendiri.”

“Perlu waktu, kita bangkit bersama, belajar bersama untuk menyuarakan identitas kita karena keberagaman itu sebenarnya lebih menarik kan,” pungkasnya.

* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.