Sukses

Tingkat Ketegangan Otot Penyandang Cerebral Palsy Berpengaruh Pada Status Gizi

Sebuah studi yang diterbitkan dalam jurnal Nutrients menemukan bahwa mengukur tingkat ketegangan otot (tonus) pada anak-anak dan remaja dengan cerebral palsy (CP) dapat membantu mengevaluasi status gizi mereka.

Liputan6.com, Jakarta Sebuah studi yang diterbitkan dalam jurnal Nutrients menemukan bahwa mengukur tingkat ketegangan otot (tonus) pada anak-anak dan remaja dengan cerebral palsy (CP) dapat membantu mengevaluasi status gizi mereka.

Studi ini berjudul “The Relationship between Body Composition and Muscle Tone in Children with Cerebral Palsy: A Case-Control Study,” yang diterbitkan dalam jurnal Nutrients.

Cedera otak yang terkait dengan CP sering menyebabkan aktivasi otot yang tidak tepat dan peningkatan tonus otot yang menyebabkan kekakuan dan sesak. Ketegangan otot yang tinggi diyakini membutuhkan lebih banyak energi saat bergerak.

"Perubahan ini secara langsung memengaruhi kesehatan umum, mobilitas, dan kemandirian dalam kehidupan sehari-hari, meningkatkan tingkat kecacatan pada anak-anak dengan CP," tulis peneliti Pawel Wiech, mengutip Cerebral Palsy News Today.

Peningkatan tonus otot juga menyebabkan kesulitan dalam asupan makanan terutama saat menelan. Hal ini menjadi pemicu terjadinya defisit nutrisi yang dapat memperburuk perkembangan anak-anak penyandang CP.

Simak Video Berikut Ini:

* Follow Official WhatsApp Channel Liputan6.com untuk mendapatkan berita-berita terkini dengan mengklik tautan ini.

2 dari 3 halaman

Analisis Komposisi Tubuh

Studi sebelumnya telah menunjukkan bahwa jumlah energi yang diperoleh melalui makanan kadang-kadang tidak cukup untuk memenuhi kebutuhan energi anak-anak dengan CP. Dengan demikian, analisis komposisi tubuh adalah alat penting untuk memperkirakan kebutuhan tersebut.

Metode yang dikenal sebagai bioelectrical impedance analysis (BIA) adalah alat umum untuk menilai status gizi anak-anak dengan cerebral palsy. BIA adalah teknik non-invasif yang mengirimkan arus listrik yang tidak berbahaya ke seluruh tubuh. Berbagai jenis jaringan menawarkan ketahanan yang berbeda terhadap pergerakan arus, sehingga memungkinkan para ilmuwan menemukan cara untuk mengukur komponen tubuh.

Metode ini memberikan pengukuran jumlah massa lemak dan komponen lainnya (massa bebas lemak) yang ada dalam tubuh. Massa otot dan total air tubuh diukur. BIA juga dapat mengukur komponen aktif secara metabolik dari massa bebas lemak seseorang, yang didefinisikan sebagai massa sel tubuh. Yang penting, pengukuran oleh BIA dapat digunakan untuk menilai status gizi anak.

Dalam studi tersebut, para peneliti di University of Rzeszow, Polandia, menilai hubungan antara komposisi tubuh menggunakan BIA dan tonus otot menggunakan skala Ashworth.

Studi ini meneliti 118 anak dan remaja usia 4-18 tahun dan 76 di antaranya adalah laki-laki dengan CP yang memiliki tingkat keterampilan motorik yang berbeda, sebagaimana ditentukan oleh Sistem Klasifikasi Fungsi Motorik Bruto (GMFCS).

Sebagian besar anak didefinisikan sebagai GMFCS level II (47,5%) dan memiliki cerebral palsy spastik (lumpuh otak) (79,7%). Sekelompok individu non-disabilitas juga dimasukkan sebagai kontrol.

3 dari 3 halaman

Hasil Penelitian

Hasil penelitian menunjukkan bahwa anak-anak dengan CP memiliki massa bebas lemak, massa otot, massa sel tubuh, dan total air tubuh yang secara signifikan lebih rendah daripada anak-anak non-difabel.

Selain itu, indeks massa sel tubuh secara signifikan lebih rendah pada anak laki-laki dengan CP dibanding dengan anak perempuan penyandang CP.

"Hasil ini memberikan bukti bahwa anak-anak dengan CP memiliki cadangan energi yang lebih rendah tercermin dari parameter komposisi tubuh yang lebih rendah, yang dapat mengakibatkan potensi risiko kurang gizi yang lebih tinggi dan dinamika perubahan yang lebih cepat pada komponen tubuh karena kekurangan gizi yang ada," tulis para peneliti.

Anak-anak dengan CP memiliki skor lebih tinggi dalam skala Ashworth atau tonus otot yang lebih tinggi, ditemukan memiliki nilai massa lemak, massa bebas lemak, massa otot, massa sel tubuh, dan total air tubuh yang lebih rendah.

"Temuan ini terkait dengan peningkatan kebutuhan asupan kalori sebanding dengan peningkatan tonus otot dan kebutuhan energi yang lebih tinggi ini menghasilkan pengurangan semua komponen komposisi tubuh,” kata peneliti.

Secara sederhana, jika tonus otot lebih tinggi maka kebutuhan energi pun lebih tinggi.

* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.