Sukses

Selain Tragedi Kanjuruhan, Ini 5 Laga Sepak Bola yang Banyak Memakan Korban Jiwa

Selain di Indonesia, ternyata ada juga beberapa tragedi memilukan sepak dunia yang terjadi di dunia.

Liputan6.com, Jakarta - Kerusuhan sering menjadi bagian dari pertandingan sepa kbola di berbagai belahan dunia. Beberapa insiden berubah menjadi tragedi kemanusiaan yang memakan korban jiwa puluhan hingga ratusan. Yang terbaru tragedi Kanjuruhan.

Sepak bola selalu identik dengan kekerasan fisik. Bermain sepakbola berarti bermain menggunakan tenaga. Tapi, terkadang, pertandingan sepak bola lepas kendali sehingga memunculkan keributan antarpemain maupun suporter.

Usaha untuk membuat sepak bola menjadi tontotan yang ramah sudah sering dilakukan berbagai kalangan di banyak tempat. Tapi, antusiasme dan gairah yang salah terkadang membuat pertandingan sepak bola bukan lagi menjadi tontonan yang layak.

Seketika menjadi sorotan publik global, insiden ini disebut-sebut sebagai salah satu peristiwa paling kelam dalam sejarah sepak bola di dunia karena jumlah korban jiwa yang banyak. Selain di Indonesia, ternyata ada juga beberapa tragedi memilukan sepak dunia yang terjadi di dunia. 

Berikut sejumlah tragedi besar yang terjadi di stadion sepak bola :

1. Mei 1964 di Peru

Tragedi kerusuhan sepak bola yang paling banyak memakan korban jiwa terjadi di Stadion Nasional di Lima, Peru pada 24 Mei 1964. Sebanyak 328 orang meninggal karena sesak napas dan/atau pendarahan internal, meskipun kemungkinan jumlah korban tewas lebih tinggi. Pada 24 Mei 1964, tim nasional Peru dan Argentina diadu bersama di babak kualifikasi kedua dari belakang untuk turnamen Olimpiade Tokyo.

Pertandingan, yang diselenggarakan oleh Peru di Estadio Nacional (Stadion Nasional) di Lima, menarik penonton berkapasitas maksimum 53.000, 5 persen dari populasi ibu kota Lima pada saat itu.

Pertandingan berlangsung sengit oleh kedua tim, dan dengan dua menit waktu normal tersisa, Argentina memimpin 1-0. Kemudian, secara ajaib, Peru mencetak gol menyamakan skor - tapi dianulir oleh wasit, ngel Eduardo Pazos (orang Uruguay yang dianggap condong ke arah kemenangan Argentina). Dalam rentang sepuluh detik, ribuan penggemar Peru berubah dari kegembiraan menjadi kemarahan.

Bencana dimulai ketika salah satu penonton, seorang penjaga bernama Bomba berlari ke lapangan dan memukul wasit. ketika penggemar kedua bergabung, dia diserang secara brutal oleh polisi dengan tongkat dan anjing. Jose Salas, seorang penggemar yang hadir pada pertandingan tersebut, mengatakan kepada BBC bahwa ini adalah katalis bencana.

“Polisi kami sendiri menendang dan memukulinya seolah-olah dia adalah musuh,” kenangnya. Inilah yang menimbulkan kemarahan semua orang – termasuk saya.” Saat serangan terjadi dan frustrasi atas panggilan wasit meningkat, puluhan penggemar menyerbu lapangan, dan kerumunan mulai melemparkan benda ke polisi dan pejabat di bawah. Kerusuhan terjadi, dan polisi meluncurkan tabung gas air mata ke kerumunan, yang mendorong puluhan ribu penggemar untuk mencoba melarikan diri dari stadion melalui tangganya.

Ketika penggemar mencapai bagian bawah lorong-lorong ini, mereka menemukan bahwa gerbang baja yang mengarah ke jalan terkunci rapat; ketika mereka berusaha untuk lari kembali, polisi melemparkan lebih banyak gas air mata ke dalam terowongan, memicu histeria massal dan menyebabkan kehancuran besar.

Salas termasuk di antara mereka yang terjebak di salah satu tangga, dan memperkirakan dia menghabiskan dua jam di tengah kerumunan yang dikemas begitu ketat sehingga kakinya tidak menyentuh lantai.

Akhirnya, gerbang itu terlepas oleh tekanan tubuh yang luar biasa, dan Salas melarikan diri tetapi, yang lain tidak seberuntung itu. Sebagai akibatnya, 328 orang tewas karena sesak napas dan/atau pendarahan internal, meskipun kemungkinan jumlah korban tewas lebih tinggi. Tuduhan kemudian muncul bahwa pemerintah telah meremehkan jumlah korban jiwa dan menutupi kematian beberapa orang yang terbunuh oleh tembakan polisi. 

* Follow Official WhatsApp Channel Liputan6.com untuk mendapatkan berita-berita terkini dengan mengklik tautan ini.

2 dari 3 halaman

2. Tragedi Port Said 2012 (Mesir): 79 meninggal

Pada 1 Februari 2012, kerusuhan besar terjadi di Stadion Port Said, Mesir, menyusul pertandingan sepak bola Liga Premier Mesir antara Al Masry Port Said dan Al Ahly Kairo. Total, 79 orang meninggal dan lebih dari 500 terluka setelah ribuan penggemar Al Masry menyerbu tribun tempat pendukung Al Ahly berada.

Serangan bermotif politik tersebut berubah menjadi tragedi karena polisi menolak membuka gerbang stadion. Itu menyebabkan para penggemar Al Ahly terjebak di dalam setelah insiden, 73 terdakwa, termasuk sembilan petugas polisi dan dua pejabat Al-Masry, diajukan ke meja hijau.

Tapi, pada 15 November 2015, 26 terdakwa dibebaskan, termasuk tujuh petugas polisi dan seorang pejabat  Al-Masry. Dan, dari 47 terpidana, 11 dijatuhi hukuman mati, 10 menerima hukuman penjara 15 tahun, sembilan menerima hukuman 10 tahun, 16  menerima hukuman 5 tahun, termasuk dua petugas polisi dan seorang pejabat Al-Masry.

3 dari 3 halaman

3. April 1989 di Inggris

Tragedi Hillsborough terjadi di semifinal Piala FA antara Liverpool dan Nottingham Forest pada Sabtu 15 April 1989.

Musibah yang fatal itu terjadi pada pertandingan yang diadakan di Stadion Hillsborough di Sheffield ketika kerumunan masa merangsek penggemar yang memadati penghalang di tribun yang dialokasikan untuk pendukung Liverpool.

Banyak korban yang tewas saat berdiri dan lapangan sepakbola seketika menjadi rumah sakit darurat. Dengan total 97 korban jiwa dan 766 cedera, tragedi Hillsborough menjadi kasus terburuk dalam sejarah olahraga Inggris.

4. Tragedi Kanjuruhan 2022 (Indonesia): 130 meninggal (versi Komnas HAM 153)

Tragedi paling mematikan dalam sejarah sepak bola Indonesia dan Asia terjadi saat pendukung Arema FC menyerbu lapangan setelah Singo Edan dikalahkan Persebaya Surabaya 2-3.

Polisi merespons dengan melepaskan gas air mata. Akibatnya, massa berhamburan menyelamatkan diri. Mayoritas korban meninggal terinjak-injak saat berdesakan dan mencoba keluar dari Stadion Kanjuruhan, Malang.

5. Mei 2001 di Ghana

Di akhir pertandingan antara Hearts of Oak dan Asante Kotoko, polisi menembakkan gas air mata ke arah suporter yang mengobrak-abrik kursi. Puluhan ribu orang bergegas keluar dan 126 orang tewas dalam kekacauan ini. Ini menjadi salah satu bencana sepak bola terburuk di Afrika.

* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.