Sukses

Mengandung Microchip hingga Bikin Mandul, Ini 9 Mitos Vaksin Covid-19 yang Sebaiknya Diabaikan

Jangan salah informasi, berikut adalah 9 mitos tentang vaksin Covid-19 yang perlu Anda ketahui.

Liputan6.com, Jakarta - Menurut Organisasi Kesehatan Dunia (WHO), vaksin dapat mencegah sekitar 10 juta kematian. Begitu pun vaksin Covid-19. Meski para ilmuan telah bekerja untuk menciptakan vaksin yang aman dan efektif untuk melindungi kita dari SARS-CoV-2, namun masih banyak keragu-raguan khalayak pada vaksin tersebut. Bukan hal baru, tetapi mengapa itu bisa terjadi?

Keraguan bisa muncul ketika seseorang mendapatkan beragam informasi yang berbeda. Ini hal yang cukup lumrah, ketika ada hal baru datang di kehidupan kita. Setiap orang pasti lebih waspada, timbul rasa khawatir berlebih, hingga muncul kecurigaan tak beralasan.

Orang yang ragu, mungkin saja mereka mendapatkan informasi yang salah dari internet atau sumber lainnya tentang keamanan vaksin dan efek potensial pada tubuh. 

Untuk mengatasi kekhawatiran dan kesimpangsiuran informasi, berikut adalah 13 mitos vaksin yang sebaiknya tidak dipercaya, melansir dari Medical News Today, Rabu (14/9/2022).

1. Vaksin Covid-19 tidak aman, karena dikembangkan dengan cepat

Memang benar bahwa para ilmuan mengembangkan vaksin Covid-19 lebih cepat daripada vaksin lain, yaitu di bawah satu tahun. Sedangkan pemecah rekor sebelumnya adalah vaksin gondok, yang dikembangkan selama empat tahun. 

Namun, ada sejumlah alasan mengapa vaksin Covid-19 dikembangkan lebih cepat, tetapi ini tidak mengurangi keamanannya sama sekali.

Alasan utama adalah karena Covid-19 telah menyentuh setiap benua di bumi, dan proses pengembangan vaksin khusus Covid-19 melibatkan kolaborasi dunia yang belum pernah terjadi sebelumnya.

* Follow Official WhatsApp Channel Liputan6.com untuk mendapatkan berita-berita terkini dengan mengklik tautan ini.

2 dari 4 halaman

2. Vaksin dapat mengubah DNA seseorang

Beberapa vaksin Covid-19, termasuk vaksin Pfizer-BioNTech dan Moderna, didasarkan pada teknologi messenger RNA (mRNA). Vaksin ini bekerja secara berbeda dengan jenis vaksin tradisional.

Vaksin klasik atau tradisional memperkenalkan pantogen yang tidak aktif atau bagian pantogen ke tubuh untuk mengajarkannya bagaimana menghasilkan respon imun. 

Sedangkan, vaksin mRNA diupayakan untuk memberikan instruksi pembuatan pantogen di sel tubuh. Setelah protein dibuat, sistem kekebalan merespon dan mempersiapkannya untuk merespon serangan di masa depan oleh pantogen yang sama.

Namun, mRNA tidak berkeliaran di dalam tubuh, dan tidak teintegrasi ke dalam DNA kita. Setelah memberi instruksi, maka sel otomatis akan memecahnya. Malah, mRNA justru tidak bisa mencapai inti sel, yang merupakan tempat DNA kita disimpan.

3. Vaksin Covid-19 dapat membuat Anda teinfeksi Covid-19

Faktanya, Vaksin tidak bisa memberikan virus Covid-19. Terlepas dari jenis vaksinya, namun tidak ada vaksin yang mengandung virus hidup. Sedangkan efek samping yang dirasa oleh penerima vaksin, seperti sakit kepala atau kedinginan, disebabkan oleh respons imun dan bukan infeksi.

3 dari 4 halaman

4. Vaksin Covid-19 mengandung microchip

Dalam jajak pendapat YouGov yang dilakukan di AS, sebanyak 28% responden percaya bahwa Bill Gates berencana menggunakan vaksin Covid-19 sebagai sarana untuk menanamkan microchip ke dalam populasi. Kemudia microchip ini akan digunakan para elit dalam melacak setiap gerakan mereka.

Apabila kita berpikir lebih terbuka, sebenarnya ponsel yang kita pakai selama ini sudah melakukan fungsi tersebut, tanpa harus menanamkan microchip melalui vaksin. Faktanya, tidak ada bukti bahwa salah satu vaksin Covid-19 mengandung microchip.

5. Vaksin Covid-19 bisa membuat mandul

Faktanya, tidak ada bukti bahwa vaksin Covid-19 berdampak pada kesuburan. Demikian pula, tidak ada bukti bahwa mereka akan membahayakan kehamilan seorang wanita di masa depan.

Desas-desus ini dimulai karena adanya hubungan antara protein lonjakan yang dikodekan oleh vaksin berbasis mRNA dan protein yang disebut syncytin-1. Syncytin-1 sangat penting bagi plasenta untuk tetap melekap pada rahim selama kehamilan. 

Namun, meski lonjakan protein memiliki beberapa asam amino yang sama dengan syncytin-1, mereka bahkan tidak cukup mirip untuk membingungkan sistem kekebalan tubuh atau mempengaruhi kesuburan.

4 dari 4 halaman

6. Orang yang terkena Covid-19 tidak memerlukan vaksin

Faktanya, tidak seperti itu, bahkan orang yang dites positif SARS-CoV-2 di masa lalu juga harus divaksinasi.

Pusat Pengendalian dan Pencegahan (CDC) menulis, “karena resiko kesehatan yang parah terkait dengan Covid-19 dan fakta bahwa infeksi ulang dengan Covid-19 mungkin terjadi. Vaksin harus ditawarkan kepada Anda terlepas dari apakah Anda sudah memiliki infeksi atau tidak.”

7. Orang yang sudah divaksin tidak dapat menularkan virus

Vaksin Covid-19 dirancang untuk mencegah orang menjadi sakit setelah terinfeksi SARS-CoV-2. Namun, seseorang yang telah divaksinasi mungkin masih dapat membawa virus, yang berarti mereka mungkin juga dapat menularkannya.

8. Vaksin akan melindungi kita seumur hidup dari virus Covid-19

WHO mengatakan bahwa, “masih terlalu dini untuk mengetahui apakah vaksin Covid-19 akan memberikan perlindungan jangka panjang. Namun, data menunjukkan bahwa kebanyakan orang pulih dari Covid-19 karena pengembangan kekebalan tubuh yang diberikan oleh vaksin, meskipun kami masih mempelajari seberapa kuat perlindungan ini dan berapa lama berlangsung.”

9. Orang tua tidak boleh divaksin

Pernyataan ini adalah mitos. Sebaliknya, di sebagian besar negara justru memprioritaskan vaksin untuk orang tua, karena mereka dianggap paling beresiko terkena penyakit parah. 

Badan Obat Norwegia (NOMA) menyarankan untuk terus melajutkan vaksinasi, tetapi dengan evaluasi ekstra pada orang tua atau pada orang dengan kondisi sakit, yang mungkin akan diperparah oleh vaksin.”

 

* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.