Sukses

5 Kisah Dokter yang Ikut Berjuang untuk Kemerdekaan Indonesia

Lima profil dokter yang gugur di medan perang usai memberikan layanan kesehatan bagi korban perjuangan.

Liputan6.com, Jakarta - 75 tahun silam, Kota Surabaya menjadi saksi bisu pertempuran terbesar yang terjadi setelah kemerdekaan. Tepatnya, pada 10 November 1945 ditetapkan sebagai Hari Pahlawan Nasional.

Momen bersejarah itu berulang kembali ketika virus Corona Covid-19 mendarat di Tanah Air. Akibatnya, banyak dokter yang berguguran dalam menjalankan peran sebagai garda terdepan memerangi keganasan virus Covid-19.  

"Perjuangan kita kini adalah memutus rantai penyebaran pandemi COVID-19 yang sudah delapan bulan mendera negeri ini," kata Jokowi dikutip dari akun Instagram-nya @jokowi, Selasa (10/11/2020).

Menengok kembali ke belakang, berikut lima profil dokter yang berperan dalam perjuangan kemerdekaan Indonesia yang dirangkum dari berbagai sumber.

Saksikan Video Pilihan di Bawah Ini:

* Follow Official WhatsApp Channel Liputan6.com untuk mendapatkan berita-berita terkini dengan mengklik tautan ini.

2 dari 6 halaman

1. Soeharso

Dokter kelahiran Desa Kembang, lereng Gunung Merbabu ini sempat dianggap rendah oleh suster Belanda di Rumah Sakit Umum (CBZ) Surabaya, karena menganggap dirinya pribumi. Hal itu membuatnya dipindahkan ke Ketapang, Kalimantan. 

Pada masa revolusi kemerdekaan Soeharso menolong pejuang Indonesia. Taktik mengubah penampilan sebagai petani dilakukannya untuk menerobos penjagaan Belanda demi menyuplai obat-obatan hingga ke garis depan.

Selama dia bertugas, Soeharso banyak mengobati korban perang gerilya yang mengalami kecacatan. Mendengar rintihan kesedihan mereka, Soeharso bertekad untuk mendirikan suatu pusat untuk merehabilitasi disabel.

Cita-citanya berhasil diwujudkan lewat bangunan Rumah Sakit Orthopedie di Surakarta dan Yayasan Pemeliharaan Anak-Anak Cacat. Tak puas sampai di situ, dia pun turut mendirikan bengkel yang dikhususkan bagi penyandang disabilitas. 

 

 

3 dari 6 halaman

2. Oen Boen Ing

Melansir dari laman Dr Oenska, Oen Boen Ing adalah seorang dokter yang merupakan cucu dari seorang sinshe Tionghoa dan pedagang tembakau yang kaya raya. Semasa hidupnya, dia mecontoh sosok kakeknya yang suka membantu orang. Bahkan, dia membebaskan biaya pegobatan bagi pasien yang tidak mampu. 

Tepat 29 Januari 1933, dokter Oen bersama delapan teman Tionghoanya mendirikan klinik bersama Tsi Sheng Yuan yang kemudian berubah nama menjadi Rumah Sakit Panti Kosala setelah 2 tahun berdiri. 

Klinik itu turut terlibat semasa pendudukan Jepang dikelola oleh Kakyo Sokai (Gabungan Organisasi-organisasi Tionghoa). Puncaknya ketika ada ancaman perang kemerdekaan, poliklinik berubah fungsi menjadi rumah sakit darurat serta menampung para pejuang dan pengungsi.

Demi menyelamatkan nyawa banyak orang, dokter Oen nekad masuk ke zona merah wilayah TNI untuk mengobati para prajurit tanpa takut terkena tembakan dari pasukan Belanda. Hal ini diungkapkan oleh Soelarso, Ketua Paguyuban Rumpun Eks Tentara Pelajar Detasemen II Brigade XVII.

Atas jasa-jasanya dan pengabdiannya, Dr. Oen Boen Ing mendapatkan penghargaan Satya Lencana Bhakti Sosial dari pemerintah Republik Indonesia pada 30 Oktober 1979.

4 dari 6 halaman

3. Kariadi

Kepergian dokter Kariadi meninggalkan duka yang mendalam bagi penduduk Semarang. Dokter yang mengemban tugas sebagai Kepala Laboratorium di Rumah Sakit Pusat Rumah Sakit Rakyat (Purusara) ini dibunuh oleh pasukan Jepang di tengah perjalanan saat dia ingin menguji sampel air minum. 

Insiden itu bermula ketika Dr Kariadi mendengar desas-desus bahwa Jepang telah meracuni sumber air minum warga Kota Semarang pada 14 Oktober 1945. Tak tinggal diam, dia pun nekat menerobos masuk Reservoir Siranda, bangunan penampungan air di Semarang meski istrinya, drg Soenarti melarangnya. 

Gugurnya Dr Kariadi memicu kemarahan hebat bagi rakyat kala itu dan terjadilah pertempuran dengan pasukan Jepang selama lima hari di Semarang yang menewaskan korban sebanyak 2000 orang. 

 

5 dari 6 halaman

4. Abdul Moeloek

Abdul Moeloek merupakan seorang dokter lulusan STOVIA Jakarta pada 1932. Usai lulus, dirinya mulai bekerja di RS Kariadi sebelum diutus ke bagian pesisir Lampung, Krui dan Liwa serta Sumatera Selatan pada 1940-1945. 

Di sanalah, tempat perjuangan Moeloek dimulai. Sejak, penjajah Jepang masuk ke Indonesia selama 3,5 tahun banyak penduduk lokal yang dipekerjakan paksa atau dikenal dengan sebutan romusa.  

Tak tega melihat rakyat menderita, dia pun mengakali dengan memberikan surat keterangan sakit. Hal itu sebagai upaya agar warganya tidak menjadi romusa. Dedikasinya kepada masyarakat sungguh besar, dirinya turut andil dalam menyuplai obat-obatan dan mengobati korban perang saat melawan Belanda.  

Hingga kini, kebaikan hatinya masih membekas di benak masyarakat Lampung dan diabadikan menjadi Rumah Sakit Daerah Dr. H. Abdul Moeloek yang terletak di Tanjung Karang, Bandar Lampung.

6 dari 6 halaman

5. Radjiman Widyodiningrat

Biasanya, profesi dokter identik untuk anak bangsawan. Berkat tekat kuat dari Dr Radjiman Widyodiningrat, stigma itu dipatahkan. Ilmu-ilmu yang didapat berasal dari hobi mendengarkannya di bawah jendela ruang-ruang kelas.

Semasa mengabdi sebagai dokter, putra dari penjaga toko kecil di Yogyakarta dikenal sebagai dokter yang sangat dekat dengan rakyat. Ketika Kabupaten Ngawi terserang wabah pes di tahun 1934, Radjiman singgah di kota itu untuk berjuang melawan wabah itu.

Dia pun turut terlibat memberdayakan dukun bayi di daerah tersebut untuk meminimalisir tingkat kematian ibu dan bayi saat melahirkan.

Atas jasa-jasanya, Radjiman diberi Bintang Mahaputera Tingkat II dan Bintang Republik Indonesia Utama oleh Pemerintah Indonesia. Tepat 6 November 2013, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono kemudian memberikan gelar Pahlawan Nasional.

Penulis:

Ignatia Ivani 

* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.