Sukses

Ribuan Bahasa Manusia di Ambang Kepunahan

Di wilayah Indonesia, menurut catatan yang dipublikasikan UNESCO, 56 bahasa berstatus vulnerable (rentan punah)

Citizen6 Jakarta Bahasa bukanlah sekadar alat komunikasi. Bahasa juga menyimpan kebudayaan masyarakat bersangkutan. Sapir dan Whorf yang terkenal dengan teori relativitas bahasa, mencontohkan kata salju. Dalam bahasa Indonesia kita hanya mengenal satu istilah untuk menunjuk sekumpulan air beku, dingin, dan berwarna putih sebagai salju. Tapi orang Eskimo punya sangat banyak istilah untuk variasi salju, antara lain salju yang baru saja turun dari langit, salju yang sudah mengeras atau salju yang meleleh, dan sebagainya.

Selain itu, orang Filipa punya 92 istilah untuk beragam jenis padi (rice). Menurut keduanya, hal ini dipengaruhi oleh lingkungan bersalju dan dikelilingi es pada orang Eskimo; serta kebudayaan menanam dan memakan nasi (padi, beras) pada masyarakat Filipina. Namun disayangkan, ratusan bahkan ribuan bahasa di seluruh dunia terancam akan punah. Dilansir dari laman UNESCO, setengah dari 6.000 bahasa yang ada di dunia saat ini akan punah jika kita tidak melalukan upaya pelestarian. Menurut UNESCO, dengan hilangnya bahasa tertulis yang tidak terdokumentasi dengan baik, kemanusiaan akan kekayaan budaya dan pengetahuan leluhur penting yang tertanam, khususnya dalam bahasa pribumi.

Di wilayah Indonesia, menurut catatan yang dipublikasikan UNESCO, 56 bahasa berstatus vulnerable (rentan punah), 30 bahasa berstatus definitely endangered (pasti terancam punah), 19 bahasa berstatus severely endangered (sangat terancam punah), 30 bahasa berstatus critically endangered (kritis akan punah), dan 10 bahasa berstatus extinct (punah). Bahasa-bahasa pribumi—baik yang sudah punah maupun yang terancam punah—ini mayoritas terjadi di daerah Indonesia Timur.

Bahasa-bahasa itu antara lain Alune (Maluku) yang berstatus vulnerable, Erokwanas (Papua) yang berstatus vulnerable, Budong-budong (Sulawesi) yang berstatus critically endangered, serta Hukumina (Pulau Buru, Maluku) yang berstatus extinc. Menurut UNESCO, dengan berkembangnya teknologi dan mengglobalnya kehidupan manusia, hal ini tidak bisa dihindari. Bahasa-bahasa ‘modern’ datang dan lambat laun menggerus bahasa pribumi.

Namun, kebijakan bahasa yang terencana dapat memperkuat upaya-upaya masyarakat penutur untuk mempertahankan atau merevitalisasi bahasa ibu mereka serta meneruskannya pada yang generasi lebih muda. Tak hanya pendokumentasian bahasa dalam bentuk tulis dan digital yang baik dan terencana, penggunaan bahasa pribumi sebagai pelajaran tambahan di sekolah-sekolah juga dapat ikut melestarikan bahasa daerah yang nyaris punah. Tentunya peran pemerintah dan masyarakat dapat memperlambat bahkan mencegah laju kepunahan bahasa.

 

Pengirim:

Hotnida Novita Sary

**Ingin berbagi informasi dari dan untuk kita di Citizen6? Caranya bisa dibaca di sini

**Ingin berdiskusi tentang topik-topik menarik lainnya, yuk berbagi di Forum Liputan6

* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.