Sukses

Prebunking atau Debunking yang Lebih Efektif Memerangi Misinformasi?

Metode prebunking yang mulai populer masih terdapat kekurangan dalam memerangi misinformasi.

Liputan6.com, Jakarta - Sebuah penelitian menemukan bahwa menginokulasi pengguna internet terhadap informasi yang salah mungkin lebih berhasil daripada pengecekan fakta. Akan tetapi, peneliti menemukan fakta bahwa metode tersebut tak banyak membantu dalam memperjuangkan kebenaran di internet

Sebuah studi baru di jurnal Science Advances, "Inokulasi psikologis meningkatkan ketahanan terhadap informasi yang salah di media sosial," menunjukkan, "membongkar" kesalahan informasi online lebih efektif dan lebih terukur daripada mencoba menghilangkan prasangka informasi yang salah melalui pengecekan fakta begitu orang sudah terpapar. 

Berbeda dengan “prebunking” yang mencoba menyuntikkan audiens sebelumnya, seperti vaksin, “debunking” melawan informasi yang salah setelah terpapar, seperti antibiotik.

Studi ini menemukan orang-orang yang awalnya kurang rentan terhadap misinformasi menonton video yang menjelaskan berbagai teknik misinformasi (bahasa manipulatif emosional, inkoherensi, dikotomi palsu, kambing hitam, dan serangan ad hominem). Setelah diedukasi melalui video, mereka kemudian bisa membedakan konten yang dapat dipercaya dan tidak.

Akan tetapi, seperti dilansir dari digitalcenter.org, ada beberapa hal yang menjadi keraguan atas hasil studi tersebut. 

Pertama, penelitian ini membatasi diri pada kesalahan informasi online, tetapi terlepas dari upaya intens dari platform digital, orang tidak hanya hidup online. Jika terdapat audiens yang lebih senang untuk mendengarkan podcast atau radio selama berjam-jam setiap hari, maka tidak banyak yang dapat dilakukan oleh video YouTube yang ditujukan untuk mengedukasi misinformasi melalui metode inokulasi.

Kedua, penelitian ini menganggap bahwa orang lebih peduli tentang kebenaran daripada yang mereka pedulikan. hal tersebut dapat digambarkan seperti bagaimana cara kerja vaksin COVID yang kuat, efektif, dan aman yang ditolak banyak orang karena memvalidasi pendapat dan referensi mereka lebih penting daripada kebenaran.

Psikolog menyebut kondisi tersebut dengan, "mekanisme psikologis terprogram yang menciptakan pembenaran diri dan melindungi kepastian, harga diri, dan afiliasi suku kita"

Untuk itu, kemampuan literasi digital penting sebelum mempercayai sesuatu yang dibaca secara online, dan terutama sebelum dibagikan kepada orang lain. Selain itu, mengikuti temuan penelitian terbaru dan meningkatkan jumlah aduan masyarakat tentang informasi yang salah juga dapat dilakukan untuk berkolaborasi dengan pemerintah dalam mengatur penyebaran misinformasi.

* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.