Sukses

Berita Palsu Ganggu Kampanye Pemilu di Jerman

Berita palsu, disinformasi, dan hoaks ternyata juga mewarnai gelaran kampanye pemilu di Jerman.

Liputan6.com, Jakarta - Berita palsu, disinformasi, dan hoaks ternyata juga mewarnai gelaran kampanye pemilu di Jerman. Para kandidat calon kanselir Jerman tak luput jadi korban hoaks.

Dalam pemilihan kanselir Jerman berikutnya, menurut laporan baru oleh organisasi kebebasan sipil Avaaz, Annalena Baerbock dari Partai Hijau lebih banyak terkait berita palsu daripada kandidat yang lainnya.

Para peneliti dari LSM menemukan bahwa lebih dari 70% di antara data yang telah dianalisis, lebih banyak disinformasi yang tersebar tentang Baerbock daripada tentang pesaing lainnya , Armin Laschet atau Olaf Scholz, kandidat dari Partai Sosial Demokrat.

"Dia datang muncul belakangan sebagai calon, tetapi dengan cepat, kami melihat lonjakan disinformasi tentang dia," kata direktur kampanye Avaaz, Christoph Schott dikutip dari dw.com, Jumat (10/9/2021).

Jenis berita palsu ini menjangkau sebagian besar populasi. Lebih dari separuh pemilih di Jerman telah menemukan setidaknya satu kebohongan tentang Baerbock, menurut survei yang dirilis bersama laporan tersebut.

Pada 26 September nanti, Jerman akan memilih parlemen baru dan memutuskan siapa yang akan menggantikan Kanselir Angela Merkel. Para ahli telah memperingatkan bahwa disinformasi yang disebarkan sengaja untuk menimbulkan keraguan atas kandidat. Hal ini dapat mempengaruhi opini publik menjelang pemungutan suara.

Menurut Avaaz, disinformasi cenderung berasal dari media sosial atau aplikasi perpesanan terenkripsi, media mainstream sering kali secara tidak sengaja memainkan peran kunci dalam menyebarkannya.

Hampir sepertiga dari semua responden mengatakan kepada peneliti bahwa mereka telah belajar tentang contoh disinformasi setelah melihat pemberitaan di TV, media cetak, dan media online.

Mengacu pada berita utama media yang ambigu tentang rencana palsu Baerbock untuk melarang hewan peliharaan, Christoph Schott dari Avaaz menarik analogi ke Amerika Serikat, di mana selama bertahun-tahun para jurnalis telah mengambil dan menulis tentang tweet oleh mantan Presiden Donald Trump, terlepas dari apakah itu akurat.

"Tetapi mereka harus melakukannya secara bertanggung jawab, menempatkannya dalam konteks yang lebih besar, dan menjelaskan cara kerja disinformasi," kata Schott.

Perusahaan media sosial yang berada di Jerman khususnya juga perlu meningkatkan upaya mereka untuk menghilangkan prasangka disinformasi..

"Mereka harus mengirim koreksi kepada semua orang yang telah melihat disinformasi, karena mereka tahu persis siapa yang melihatnya," kata Schott.

 

Penulis: Geiska Vatikan Isdy

 

*** Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.

* Follow Official WhatsApp Channel Liputan6.com untuk mendapatkan berita-berita terkini dengan mengklik tautan ini.

2 dari 2 halaman

Tentang Cek Fakta Liputan6.com

Melawan hoaks sama saja melawan pembodohan. Itu yang mendasari kami membuat Kanal Cek Fakta Liputan6.com pada 2018 dan hingga kini aktif memberikan literasi media pada masyarakat luas.

Sejak 2 Juli 2018, Cek Fakta Liputan6.com bergabung dalam International Fact Checking Network (IFCN) dan menjadi patner Facebook. Kami juga bagian dari inisiatif cekfakta.com. Kerja sama dengan pihak manapun, tak akan mempengaruhi independensi kami.

Jika Anda memiliki informasi seputar hoaks yang ingin kami telusuri dan verifikasi, silahkan menyampaikan di email cekfakta.liputan6@kly.id.

Ingin lebih cepat mendapat jawaban? Hubungi Chatbot WhatsApp Liputan6 Cek Fakta di 0811-9787-670 atau klik tautan berikut ini.

* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.