Sukses

[Cek Fakta] Demo Rusuh di Depan Gedung MK, Massa Lalu Kepung Istana?

Berhati-hatilah bila mendapat share foto dan video dari media sosial serta grup aplikasi perbincangan di ponsel. Padahal, foto dan video itu adalah hoax atau hoaks.

Liputan6.com, Jakarta - Berhati-hatilah bila Anda melihat ataupun mendapat share foto dan video dari media sosial serta grup aplikasi perbincangan di telepon seluler (ponsel). Apalagi, unggahan ataupun share itu dapat menimbulkan keresahan di tengah masyarakat. Padahal, foto dan video itu ternyata hoax.

Misalnya, unggahan foto dan video pada Jumat, 14 September 2018. Beredar foto kerusuhan yang disebut-sebut terjadi di Istana Negara, Jakarta.

Cek Fakta - Screenshot video hoaks yang menyebut massa menyerbu Istana, kerusuhan pecah. (Facebook)

Klaim

Akun Facebook atas nama Wawan Gunawan menyebarkan foto tersebut. Konten itu diterimanya dari salah satu grup WhatsApp.

Di Facebook, postingannya itu mendapat 312 komentar dan dibagikan sebanyak 5.400 kali. Sementara, ada 2.138 pertemanan di akun tersebut.

Cek Fakta - Screenshot akun di Facebook yang menyebarkan foto hoaks yang menyebut massa menyerbu Istana, kerusuhan pecah. (Facebook)

Selanjutnya, akun Facebook atas nama Syuhada Al Aqse juga menyebarkan foto tersebut. Dia menggunakan caption: // JAKARTA SUDAH BERGERAK, MAHASISWA SUDAH BERSUARA KERAS DAN PESERTA AKSI MEGUSUNG TAGAR #TurunkanJokowi MOHON DIVIRALKAN KARENA MEDIA TV DIKUASAI PERTAHANA//.

Konten itu mendapat 5.200 komentar dan dibagikan sebanyak 98 ribu kali. Pun demikian akun Facebook atas nama DOI.

Dia mendapat informasi hoax tersebut dari salah satu grup Facebook. Jumlah anggota grup tersebut sebanyak 115.072 akun.

Terakhir adalah akun Facebook atas nama Nugra Ze. Dia memperoleh foto tersebut dari salah satu grup WhatsApp.

Konten itu langsung diunggah di Facebook miliknya yang memiliki pertemanan sebanyak 1.557 akun. Postingan hoax itu mendapat 97 komentar dan 30 ribu kali dibagikan.

 

* Follow Official WhatsApp Channel Liputan6.com untuk mendapatkan berita-berita terkini dengan mengklik tautan ini.

2 dari 4 halaman

Simulasi Pengamanan Pemilu

Ternyata, gambar tersebut merupakan bentuk simulasi pengamanan pemilu yang dilaksanakan di Gedung Mahkamah Konstitusi (MK), Jakarta, pada 8 Maret 2014.

Berangkat dari situ, Direktorat Tindak Pidana Siber (Dittipidsiber) Bareskrim Polri kemudian menelusuri dan menciduk empat pelaku penyebaran berita bohong alias hoaks tersebut.

Dirtipid Siber Bareskrim Polri Brigjen Rachmad Wibowo menyampaikan, hoaks tersebut mulai tersebar pada Jumat 14 September 2018 lalu.

"Diviralkan oleh beberapa akun dengan unggahan konten berita bohong tentang simulasi penanganan demo di Gedung MK, yang diberitakan sebagai unras mahasiswa," tutur Rachmad dalam keterangannya, Senin (17/9/2018).

4 Tersangka Ditangkap

Penyidik gabungan cyber Polda Metro Jaya pun menangkap Suhada Al Syuhada Al Aqse (48) karena menyebarkan video hoaks tersebut, Sabtu (15/9/2018).

Menyusul tiga tersangka lain, yakni Gun Gun Gunawan, Muhammad Yusuf, dan Nugrasius.

Karopenmas Divisi Humas Polri Brigjen Dedi Prasetyo menyampaikan, simulasi tersebut memang dilakukan oleh personel gabungan TNI Polri dalam rangka untuk menjamin keamanan berbagai proses persidangan di MK dan di-setting sampai pada kondisi seolah-olah rusuh.

"Padahal kejadian simulasi ini berjalan sangat kondusif dengan eskalasi yang soft, kemudian eskalasi yang sedikit keras, sampai dengan ekskalasi yang sedikit chaos atau yang betul-betul terjadi bentrokan," kata Dedi.

Alasan Tersangka

Penyidik Cyber Crime Polda Metro Jaya telah menangkap tersangka penyebar hoaks berisi video demo ricuh turunkan Jokowi di depan gedung Mahkamah Konstitusi (MK), Jakarta Pusat. Dalam pemeriksaan, tersangka berinisial SAA (48) itu mengaku sengaja menyebar berita hoaks itu untuk mengajak masyarakat turun ke jalan menurunkan Presiden Jokowi.

"Alasan menyebar hoaks ingin meyampaikan berita dan berbagi info untuk mengajak, agar berita viral dan tersebar melalui online bahwa mahasiswa Jakarta sudah turun ke jalan untuk melaksanakan demo dengan tuntutan menurunkan presiden (Jokowi)," kata Kabid Humas Polda Metro Jaya Kombes Raden Prabowo Argo Yuwono saat dihubungi, Senin (17/9/2018).

Dalam video itu, terlihat anggota TNI dan Polri sedang melakukan simulasi penanganan keamanan dalam rangka persiapan Pemilu 2019. Namun, kata Argo, oleh tersangka dibuat seolah-olah kejadian itu nyata dan sedang berlangsung untuk menjatuhkan Jokowi.

"Iya sudah tahu kalau itu simulasi. Maksudnya dengan adanya simulasi itu oleh tersangka dibuat seolah-olah nyata agar yang lain ikut turun untuk untuk rasa," katanya.

Karopenmas Divhumas Polri Brigjen Dedi Prasetyo menjelaskan, pelaku ditangkap tidak jauh dari kediamannya di Jalan Muara II, Tanjung Barat, Jakarta Selatan. Barang bukti yang disita berupa satu bundel printout akun Facebook atas nama Suhada Al Aqse dan dua handphone merek ZTE dan Xiaomi milik pelaku.

"Pasal yang diterapkan Pasal 14 dan Pasal 15 UU 1/1946 tentang Peraturan Hukum Pidana dan/atau Pasal 28 ayat (2) jo Pasal 45A ayat (2) UU RI No 19 Tahun 2016 tentang perubahan atas UU 11/2008 tentang ITE," kata Dedi di Jakarta, Minggu 16 September.

(Penelusuran cek fakta ini dibantu reporter News Liputan6.com Nanda Perdana Putra)

 

3 dari 4 halaman

Kapolri Sebut Itu Kampanye Hitam

Kapolri Jenderal Tito Karnavian menyampaikan, masyarakat semestinya dapat turut andil menjaga kondusivitas jelang Pemilu 2019. Polri sendiri memberikan ruang kepada berbagai bentuk kampanye, baik positif atau negatif. Hanya saja, tidak ada toleransi terhadap kampanye hitam atau black campaign.

"Tolong semua orang yang berkontestasi dan pendukungnya menggunakan positive campaign, adu program. Tapi pada batas tertentu, negative campaign ini juga tidak bisa kita cegah," tutur Tito di Mabes Polri, Jakarta Selatan, Senin (17/9/2018).

Kampanye negatif di sini dimaksudkan pada bentuk upaya sejumlah pihak yang menggunakan fakta-fakta terkait kekurangan suatu calon dalam Pemilu 2019. Hal itu sah saja lantaran maksud dan tujuannya tentu agar publik lebih memahami kelebihan dan kekurangan dari sosok tersebut.

"Yang tidak bisa ditoleransi Polri adalah black campaign. Itu artinya kampanye tentang sesuatu yang tidak terjadi, tapi seolah-olah dibuat, direkayasa, didesain seolah-olah itu terjadi," jelas dia.

Video Rekayasa

Tito mencontohkan bentuk black campaign dengan kasus penyebaran hoaks kerusuhan di Istana Negara. Pelaku menggunakan dokumentasi simulasi pengamanan di Mahkamah Konstitusi (MK) tahun 2014 dan mengubah informasinya menjadi bentuk unjuk rasa rusuh terhadap pemerintah jelang Pemilu 2019.

"Nah, ini namanya black campaign. Itu pidana pelanggaran Undang-Undang ITE, bisa juga pencemaran nama baik, bisa juga fitnah. Black campaign tidak akan kita toleransi dan akan kita lakukan tindakan. Maka dari Polri melakukan perkuatan di multimedia dan siber," Tito menandaskan.

(Penelusuran cek fakta ini dibantu reporter News Liputan6.com Nanda Perdana Putra)

 

4 dari 4 halaman

Kesimpulan

Berdasarkan pengungkapan kasus oleh Bareskrim Polri dan Kapolri, berarti unggahan foto dan video pada Jumat, 14 September 2018, yang menyebut terjadi kerusuhan di Istana Negara, Jakarta, adalah tidak benar atau hoaks. Unggahan foto dan video itu dapat menyesatkan masyarakat, terlebih menjelang masa kampanye Pilpres 2019.

 

banner Hoax (Liputan6.com/Abdillah)

 

Liputan6.com merupakan media terverifikasi Jaringan Periksa Fakta Internasional atau International Fact Checking Network (IFCN) bersama 49 media massa lainnya di seluruh dunia.

Kami juga bekerja sama dengan 21 media nasional dan lokal dalam cekfakta.com untuk memverifikasi berbagai informasi hoax yang tersebar di masyarakat.

Jika anda memiliki informasi seputar hoax yang ingin kami telusuri dan verifikasi, silahkan menyampaikan kepada tim CEK FAKTA Liputan6.com di email cekfakta.liputan6@kly.id.

* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.

Video Terkini