Sukses

Kisah Pilu Korban Termuda Tragedi Kanjuruhan: Sempat Minta Potong Rambut Agar Kece Nonton Arema

M Virdi Prayoga berusia 3 tahun saat tragedi Kanjuruhan merenggut nyawanya.

Liputan6.com, Jakarta M Virdi Prayoga baru berumur 3 tahun saat Tragedi Kanjuruhan mengakhiri keceriaannya. Bocah warga Blimbing, Kota Malang itu tidak pernah pulang setelah menyaksikan tim kesayangannya Arema FC bertanding melawan musuh bebuyutan Persebaya Surabaya di Stadion Kanjuruhan, Sabtu (1/10/2022).

Prayoga ikut tewas dalam kericuhan yang meletus usai pertandingan. Dia meninggal dunia bersama ayahnya, Rudi Harianto saat berusaha keluar dari pintu tribun 13 yang penuh sesak oleh gas air mata. 

Menurut data terakhir yang dihimpun Liputan6.com, Prayoga tercatat sebagai korban termuda Tragedi Kanjuruhan. Peristiwa ini telah menewaskan setidaknya 131 orang termasuk 2 personel kepolisian.

Ibu Prayoga, Elimiati yang selamat dalam insiden ini sama sekali tidak menyangka bakal kehilangan suami dan anaknya pada peristiwa itu. Sebab sejak awal mereka yakin pertandingan bakal berjalan aman. Apalagi, suporter Persebaya yang menjadi musuh bebuyutan Arema tidak diizinkan hadir dalam laga itu.

Niat menonton pertandingan pun sudah mereka rancang sejak jauh-jauh hari. Kebetulan, Prayoga, kata Elimiati memang suka Arema seperti ayahnya. "Biasanya ya nonton bareng di televisi. Saya mengajak menonton untuk menyenangkan anak karena selama ini jarang main akibat pandemi,” kata Elimiati.

Sebelum bertolak ke Kanjuruhan, Prayoga masih sempat mengubah penampilan. Pada pagi hari, dia meminta Elimiati memotong rambutnya agar terlihat lebih rapi. Mereka lalu berangkat bersama saudara-saudara yang lain. Sementara putrinya, Caynanda Billa yang berusia 14 tahun ditinggal di rumah.

 

 

 

* Follow Official WhatsApp Channel Liputan6.com untuk mendapatkan berita-berita terkini dengan mengklik tautan ini.

2 dari 4 halaman

Foto Terakhir

Selama pertandingan berlangsung, tidak ada masalah berarti apapun di dalam stadion. Elimiati bersama suami dan anaknya saat di tribun juga sempat berfoto bersama.  

"Ternyata itu foto kebersamaan kami untuk terakhir kalinya,” kata Elimiati lirih menahan tangis. 

Petaka muncul begitu wasit meniup peluit panjang. Begitu terjadi kekacauan, seiring banyak suporter masuk lapangan, aparat keamanan melepas tembakan gas air mata ke sejumlah titik termasuk sektor 13.

“Suami saya langsung mengajak pulang, ternyata pintu sektor 13 hanya terbuka sedikit. Hanya cukup untuk dilewati dua orang saja,” tuturnya.

Akses keluar yang sulit ditambah kepulan asap gas air mata di tribun Stadion Kanjuruhan membuat penonton berebut keluar menyelamatkan diri. Saling dorong agar bisa segera keluar tak terelakkan. Elimiati berjalan bersama putranya, sedangkan suaminya berjalan di depannya.

"Posisi seperti itu, kami lalu terpisah. Saya tak tahu suami saya sudah bisa keluar atau tidak. Anak saya juga entah di mana,” katanya.

 

3 dari 4 halaman

Bertemu di Rumah Sakit

Hampir 30 menit dalam kondisi kacau itu, Elimiati diselamatkan suporter lainnya. Setelah suasana mulai kondusif, ia kembali naik ke tribun 13 Stadion Kanjuruhan. Di tribun itu ia berjumpa dengan adik iparnya, lalu ia meminta bantuan mencari suami dan anaknya.

"Adik saya bilang aman mbak, ada di tempat parkiran. Ternyata maksudnya agar saya tenang menunggu di tribun bersama saudara saya lainnya. Karena suami saya saat itu sudah meninggal,” ujar Elimiati.

Ia dan lainnya bertahan di tribun meski harus berjuang melawan sesak nafas dengan mata dan tenggorokan terasa perih akibat gas air mata. Kondisi gerimis tanpa angin membuat asap hanya mengepul di satu titik.

Tak lama kemudian, mereka keluar stadion. Elimiati mengatakan salah seorang saudaranya meminta foto anaknya, Virdi, untuk diberikan ke polisi agar membantu mencari. Serta disebar ke grup sosial media Aremania guna memudahkan pencarian.

“Ternyata posisi anak saya ketemu dalam keadaan meninggal dunia, berada di kamar mayat RSUD Kanjuruhan. Jenasah suami saya di RS Saiful Anwar,” ujarnya.

Anaknya mengalami luka pada bagian kepala, sedangkan suaminya tak ada sedikitpun luka. Kulit kedua korban juga tak tampak seperti gosong seperti beberapa korban lainnya.

“Tak tahu apakah terinjak-injak atau sesak nafas. Tidak ada surat keterangan dari rumah sakit,” katanya.

Niat mencari hiburan dengan menonton pertandingan sepakbola berakhir duka. Jenasah anaknya tiba di rumah sekitar pukul 02.00. Satu jam kemudian menyusul jenasah suaminya diantar mobil ambulans ke rumah.

“Saya ingin diusut peristiwa ini diusut tuntas. Terserah pemerintah mau buat keputusan apa, pokoknya ada rasa keadilan,” katanya.

 

 

4 dari 4 halaman

Tidak Benci Arema, tapi...

Tragedi di Stadion Kanjuruhan diharapkan mengubah wajah sepak bola Indonesia. Termasuk kesiapan panitia pelaksana (panpel) pertandingan. Elimiati berharap tidak hanya panpel Arema, tapi seluruh klub belajar dari pengalaman ini.

Mempersiapkan aspek keamanan dan kesiapan tim medis sedetil mungkin agar penonton benar-benar aman. Cepat bertindak bila ada kejadian yang tidak diinginkan. Pintu di tribun misalnya, tak segera dibuka meski pertandingan akan berakhir.

“Biasanya 10 menit sebelum selesai kan dibuka, tapi kemarin tidak. Saat di dalam stadion masih banyak korban, lampu malah dimatikan,” ucapnya.

Tragedi itu tidak akan membuatnya membenci Arema. Tapi ia sudah tak ingin lagi menonton pertandingan sepak bola di stadion. Sebab hal itu selalu membuatnya ingat dengan suami dan anaknya. Pemerintah diminta mengusut tuntas peristiwa tersebut.

“Trauma, ingat anak dan ingat suami. Saya tidak akan lagi masuk stadion. Saya harap ini diusut tuntas, ada keadilan untuk kami semua,” ujarnya.

 

* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.