Sukses

Pekerjaan Rumah Qatar Jelang Bergulirnya Piala Dunia 2022

Tinggal 100 hari lagi Piala Dunia 2022 di Qatar digelar. Masih ada masalah serius yang perlu segera ditangani Qatar, terutama soal hak asasi manusia para pekerja.

Liputan6.com, Jakarta Desakan Human Rights Watch (HRW) kepada FIFA dan pemerintah Qatar sebagai tuan rumah Piala Dunia 2022 merupakan kesekian kalinya untuk mengingatkan tentang masalah hak asasi.

HRW dalam catatan terkininya pada Jumat (12/8/2022), kurang dari 100 hari perhelatan Piala Dunia 2022, membeberkan pekerjaan (PR) yang ada.

"Kami mengingatkan mengenai pekerja migran yang menjadi pekerjaan rumah (PR) bagi pemerintah Qatar," begitu pernyataan HRW. Lembaga itu juga mendesak FIFA untuk meningkatkan kompensasi bagi pekerja migran dan keluarga mereka.

HRW membeberkan perlunya program pemulihan bagi para pekerja migran saat para pekerja itu mengerjakan proyek terkait Piala Dunia 2022 seperti stadion, transportasi, dan hotel.

Pada 2010, Qatar mendapatkan posisi tuan rumah Piala Dunia setelah memenangkan pemungutan suara dari 22 anggota eksekutif FIFA. Qatar mengalahkan pesaing lainnya yaitu Amerika Serikat (AS), Korea Selatan, Jepang, dan Australia. Qatar merupakan negara Arab pertama yang menjadi tuan rumah pesta olahraga dunia bergengsi.

Setelah terpilih, Qatar langsung bergegas membangun dan merenovasi berbagai infrastruktur. Puluhan ribu pekerja dari berbagai negara berdatangan.

Selama satu dasawarsa terakhir, negara Teluk kaya raya tersebut menggencarkan proyek pembangunan besar-besaran demi menciptakan pengalaman berkesan untuk tim sepak bola, suporter, dan tentu saja korporat.

Tak hanya mendirikan stadion, mereka juga membangun fasilitas penunjang seperti jalan raya, jaringan kereta, pelabuhan, bandara, sampai rumah sakit, yang kabarnya meraup biaya sampai USD 200 miliar.

* Follow Official WhatsApp Channel Liputan6.com untuk mendapatkan berita-berita terkini dengan mengklik tautan ini.

2 dari 5 halaman

Data

Namun terjadi banyak tragedi yang memiriskan sepanjang pembangunan megar proyek itu. Media Inggris, Guardian dalam temuannya yang diberitakan  (23/2/2021) mengungkapkan sedikitnya 6.500 pekerja migran sudah meninggal.

Berdasarkan dokumen dari otoritas Qatar dan pihak-pihak kedutaan, mereka berhasil mengumpulkan data kematian 5.927 migran asal India, Bangladesh, Nepal dan Sri Lanka selama 2011-20, ditambah 824 korban jiwa dari Pakistan antara 2010-20.

Data itu merepresentasikan seluruh pekerja dari kawasan Asia Selatan di berbagai sektor industri di Qatar. Angka kematian belum dilengkapi dengan informasi tentang profesi atau lokasi kerja.

Guardian menjadi media paling gencar yang menginvestigasi kondisi kerja pekerja migran di Qatar. Sejak September 2013, mereka sudah melaporkan dugaan eksploitasi terhadap pekerja asal Nepal di proyek-proyek infrastruktur penunjang Piala Dunia: upah yang ditahan berbulan-bulan, penyitaan paspor, akomodasi tak layak, dan berbagai penindasan lain di tempat kerja.

HRW sendiri sejak 2019 sudah meminta otoritas Qatar agar merilis data yang lebih lengkap tentang kematian pekerja migran selama enam tahun terakhir, dengan kategori usia, jenis kelamin, jenis pekerjaan dan penyebab kematian menurut otopsi.

3 dari 5 halaman

Turut Bersuara

Ribuan pekerja buruh Piala Dunia Qatar 2022  pada 2019 telah melakukan demo besar-besaran, lantaran korban tewas meningkat dan merasa tak dimanusiakan oleh pemerintah Qatar.

 Aksi mogok kerja yang dilakukan oleh para buruh kontruksi tersebut merupakan bagian dari protes yang dilakukan lantaran upah yang tak sesuai dengan resiko bahaya yang dihadapi termasuk kematian.

Diketahui para buruh tersebut menerima upah sebesar 1 dolar AS (Rp14,200) per jam. Namun, seperti dilansir dari laman The18, kompensasi upah tersebut sering tertunda.

Tak hanya Lembaga internasional dan media yang memberitakan tentang hak asasi para pekerja di Qatar, pelatih dan pemain pun juga turut bersuara.

Pelatih timnas Inggris, Gareth Southgate misalnya menilai Qatar tidak mengindahkan hak asasi manusia terkait hak pekerja asing di negara kaya tersebut.

Sedangkan mantan kapten tim nasional Jerman, Philipp Lahm berencana memboikot Piala Dunia 2022 karena catatan buruk terkait hak asasi manusia di negara tuan rumah Qatar.

4 dari 5 halaman

Sejak Awal

"Saya tidak akan pergi ke Qatar dengan delegasi Jerman. Saya juga tidak tertarik untuk pergi sebagai penggemar," tutur Lahm, dilansir dari Sport Bible.

Sejak awal terpilihnya Qatar sebagai tuan rumah Piala Dunia 2022 memang telah menuai protes dari berbagai pihak. Terutama adanya kecurigaan korupsi yang dilakukan oleh FIFA dengan menerima suap senilai 400 juta dolar AS (Rp5,6 triliun) untuk membuat Qatar menjadi tuan rumah.

Masalah cuaca panas di Qatar juga sempat menjadi perbincangan karena dianggap bisa membuat para pemain menghadapi resiko kesehatan. Infrastruktur yang dipaksakan dan membahayakan pekerja buruh semakin membuat Qatar dinilai tak siap untuk menjadi tuan rumah turnamen akbar tersebut.

5 dari 5 halaman

FIFA Membela

Dalam Kongres FIFA ke-72 di Doha, Qatar, 31 Maret 2022 isu HAM Qatar juga menjadi pembahasan yang menonjol.

Kongres itu menjadi pertemuan pertama FIFA sejak terakhir 2019 atau sebelum pandemi virus corona merebak.

Sebelumnya, FIFA juga membela Qatar soal isu HAM di kongres FIFA. Presiden Gianni Infantino menegaskan Piala Dunia Qatar sudah berusaha menegakkan keadilan bagi semua orang.

"Hak asasi manusia, hak pekerja, semua ini tidak akan terjadi tanpa Piala Dunia di sini," kata Infantino.

Bagaimanapun, FIFA dan Qatar tetap harus menuntaskan PR yang ada, terutama sorotan soal hak asasi para pekerja.

* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.

Video Terkini