Sukses

Melampaui Batas, Kilau Prestasi Disabilitas Indonesia di Paralimpiade Tokyo

Penyandang disabilitas Indonesia mencatat prestasi di Paralimpiade Tokyo, melampaui capaian atlet Tanah Air di Olimpiade 2020. Semangat juang mereka menunjukkan harapan lebih baik untuk masa depan.

Liputan6.com, Jakarta - Leani Ratri Oktila menekuni bulu tangkis di usia tujuh tahun. Sempat berkompetisi di level nasional, mimpinya menjadi atlet sempat terancam menyusul kecelakaan sepeda motor pada 2011. Insiden ini membuat kaki kirinya tujuh sentimeter lebih pendek dari kaki kanannya.

Namun, Leani terus bermain setelah mendapat dukungan orang tua. Semangatnya makin berkobar usai melihat pemain berkursi roda bertanding bulu tangkis.

Pada saat itulah dia sadar ada orang lain yang lebih kurang beruntung. Sosok berusia 30 tahun ini akhirnya terus berjuang dan merebut prestasi internasional, termasuk jadi juara dunia. Ratri mempertahankan performa itu pada Paralimpiade Tokyo 2020.

Atlet asal Riau tersebut memenangkan dua emas bersama Khalimatus Sadiyah dan Hary Susanto, masing-masing di nomor ganda putri dan ganda campuran, kategori SL3-SU5. Dia juga merebut perak tunggal putri kategori SL4.

Leani hanyalah salah satu bukti kalau situasi tidak boleh dijadikan alasan untuk menyerah. Kekurangan dalam diri justru menjadi kekuatan yang bisa membawa kesuksesan.

Saptoyoga Purnomo mengalami lumpuh otak bagian kanan sejak lahir. Kondisi itu tidak menghentikannya untuk mempersembahkan medali pertama Indonesia dari cabang olahraga (cabor) atletik Paralimpiade setelah menunggu 45 tahun. Dia merebut perunggu nomor 100 meter T37.

Ni Nengah Widiasih menderita polio di usia tiga tahun, dengan David Jacobs menghadapi masalah pada salah satu lengannya. Namun, keduanya mencatat rekor sebagai atlet yang merebut medali Paralimpiade di dua edisi berbeda. Widi membawa pulang perunggu Rio 2016 dan perak Tokyo 2020. Sementara David memetik perunggu London 2012 dan Tokyo 2020.

* Follow Official WhatsApp Channel Liputan6.com untuk mendapatkan berita-berita terkini dengan mengklik tautan ini.

2 dari 5 halaman

Lampaui Capaian Olimpiade

Manusia tidak akan pernah melepas harapan, terutama di tengah krisis kesehatan global Covid-19. Tentu putus asa kerap muncul karena pandemi tidak kunjung berakhir. Namun, semangat dan ketegaran manusia dalam menghadapi keadaan tidak akan pernah padam.

Atlet disabilitas di Paralimpiade Tokyo 2020 benar-benar menunjukkan hal tersebut. Mereka berkompetisi demi mengharumkan negeri. Dan perjuangan para atlet berbuah kebanggaan luar biasa.

Sebanyak dua kali Indonesia Raya berkumandang di Tokyo. Peristiwa ini mengakhiri paceklik 41 tahun yang dirasakan Indonesia pada Paralimpiade. Terakhir kali atlet Indonesia merebut emas di Arnhem 1980.

Raihan dua emas itu dilengkapi tiga medali perak dan empat perunggu. Sebuah capaian yang jauh melampaui catatan sebelumnya. Di Rio 2016, Kontingen Indonesia hanya membawa pulang satu perunggu.

Rapor atlet Paralimpiade bahkan melampui kolega yang mengikuti Olimpiade. Pada ajang tersebut, Indonesia mengantongi satu emas, satu perak, dan tiga perunggu. Catatan ini menunjukkan atlet disabilitas tidak kalah dan mampu bersaing.

Perhatian Pemerintah

Capaian atlet Paralimpiade 2020 tidak lepas dari dukungan pemerintah. Selain mengggelar pemusatan latihan di Solo, Jawa Tengah, pemerintah mendorong federasi untuk mengirim atlet ke ajang luar negeri. Tidak ada perbedaan perlakuan dengan atlet biasa.

“Posisi atlet Olimpiade dan Paralimpiade saat ini sejajar. Pemerintah menaruh perhatian yang sama bagi atlet Olimpiade maupun Paralimpiade. Diharapkan masyarakat juga bisa memberikan dukungan yang sama bagi keduanya,” kata Menteri Pemuda dan Olahraga Zainudin Amali.

Ketua Komite Paralimpiade Indonesia (NPC) Senny Marbun pun mengakui dukungan pemerintah jadi penyemangat atlet untuk berprestasi di Paralimpiade Tokyo 2020.

"Prestasi tahun ini merupakan pencapaian yang luar biasa. Tanpa campur tangan Kemenpora, tidak mungkin prestasi ini bisa tercapai. Kami juga mengucapkan terima kasih atas dukungan dan doa rakyat Indonesia,” kata Senny Marbun.

"Saya ucapkan banyak terima kasih khususnya kepada Bapak Presiden Joko Widodo yang menjadi ujung tombak kami sehingga bisa mengukir prestasi luar biasa ini. Karena di era kepemimpinan Pak Jokowi, NPC bisa setara dengan yang non-difabel. Hal itu memicu semangat kami untuk meraih keberhasilan yang luar biasa,” tambahnya.

3 dari 5 halaman

Bonus Setara

Kesetaraan tersebut juga terlihat dari bonus. Nilainya dipastikan tidak kurang dari yang diterima atlet Olimpiade Tokyo 2020.

Peraih emas mendapat Rp5,5 miliar, perak Rp2,5 miliar, dan perunggu Rp1,5 miliar. Bonus juga diberikan kepada pelatih atlet berprestasi. Bonus juga diberikan untuk para atlet non peraih medali senilai Rp100 juta.

"Saya dan seluruh rakyat Indonesia menyambut kepulangan saudara-saudara dengan senang dan bangga. Saya juga menyampaikan apresiasi yang tingi atas perjuangan dan kerja keras meraih prestasi mengharumkan nama bangsa dan negara," kata Jokowi saat menerima atlet Paralimpiade, Jumat (17/9/2021).

"Terima kasih atas medali emas yang diberikan di cabang bulu tangkis, bukan hanya satu emas, tapi langsung dua emas. Ini adalah sebuah lompatan dan saudara-saudara mampu membuktikan bisa bersaing, mampu bersaing di kancah global, dan selamat juga untuk para juara yang telah mempersembahkan, baik medali perak maupun perunggu," tambah Presiden.

Presiden Jokowi berharap prestasi atlet di Paralimpiade Tokyo dapat menjadi inspirasi bagi masyarakat Indonesia.

"Agar dapat menjadi motivasi kita semua bagi para atlet maupun masyarakat Indonesia, agar terus bekerja keras meraih prestasi dan memberikan yang terbaik untuk bangsa, untuk negara," ucap Jokowi.

Perhatian terhadap seluruh atlet Indonesia, terlepas kondisi mereka, memang sudah setara. Dalam Desain Besar Olahraga Nasional (DBON) yang ditandatangani Presiden pada Hari Olahraga Nasional pada 9 September 2021, tidak ada perbedaan fasilitas yang didapat atlet nasional.

"Di dalam DBON, kami beri tempat yang setara antara atlet Olimpiade dan Paralimpiade. Kami memfasilitasi sama persis, mulai dari persiapan, pelatnas, dan pengiriman ke kualifikasi. Tidak ada perbedaan sedikitpun, karena kami tahu teman-teman di NPC punya kemampuan dan juga semangat untuk berprestasi," tegas Menpora.

4 dari 5 halaman

Masa Depan Cerah

Ada 23 atlet yang berusaha mengharumkan nama bangsa di Paralimpiade Tokyo, 24 Agustus hingga 5 September lalu. Mereka berjuang di tujuh cabor yakni powerlifting, atletik, renang, bulu tangkis, menembak, tenis meja, dan balap sepeda.

Lewat catatan dua emas, tiga perak, dan empat perunggu, Tanah Air menempati peringkat 43 di klasemen medali. Indonesia menjadi negara Asia Tenggara terbaik ketiga menyusul Thailand (lima emas, lima perak, delapan perunggu) dan Malaysia (3-2-0). Sementara Tiongkok jadi juara umum (96-60-51).

Selain Leani Ratri Oktila, Khalimatus Sadiyah, Hary Susanto, Saptoyoga Purnomo, Ni Nengah Widiasih, dan David Jacobs, peraih medali Indonesia lain adalah Dheva Anrimusthi, Suryo Nugroho, dan Fredy Setiawan.

"Kita melihat seluruh atlet peserta berjuang mengharumkan nama bangsa. Semua ini adalah fakta bagaimana teman-teman disabilitas memiliki kemampuan untuk berkontribusi dengan cara-cara luar biasa," kata Staf Khusus Presiden Angkie Yudistia kepada Kanal Disabilitas Liputan6.com.

"Saya sebagai disabilitas sangat optimistis, ini menjadi momentum positif cerahnya masa depan atlet-atlet disabilitas untuk terus berprestasi di setiap cabang olahraga, tentu dengan pembinaan yang baik dan konsisten," sambungnya.

Angkie menegaskan, disabilitas harus memiliki mimpi karena itu adalah hak setiap manusia. Dia menyebut disabilitas justru punya kelebihan tidak seperti orang lain, yakni semangat yang lebih besar dalam berusaha mewujudkan harapan.

"Kita adalah orang yang punya kemampuan sama bahkan lebih dengan orang lain untuk menuju harapan-harapan besar dalam hidup kita. Mari bersama-sama menjadi disabilitas yang berdaya, karena disabilitas bisa, Indonesia bisa. Saya meyakini, olahraga untuk disabilitas tidak bisa dipandang sebelah mata," tandas Angkie.

Dobrak Stereotip

Disabilitas harus mendobrak stereotip minta dikasihani dan kerap dipandang sebelah mata dalam upaya mencari pengakuan. Padahal pada dasarnya disabilitas merupakan bagian dari umat manusia. Dalam kampanyenya, Paralimpiade Tokyo menegaskan 15 persen populasi dunia adalah disabilitas.

Leani dan atlet Paralimpiade lain sudah merasakan kesetaraan bagi disabilitas dalam perlakuan pemerintah. Mengaku sempat merasa iri, dia kini mengucapkan terima kasih.

“Kemenpora dan NPC sangat berperan penting dalam kesuksesan kami. Terima kasih pemerintah. Selama menjadi atlet, saya benar-benar merasakan kali ini kesetaraan atlet Paralimpiade dan Olimpide. Karena itu kami semua semangat,” ungkap Leani.

Kini menjadi tugas bersama untuk mempertahankan dan meningkatkan prestasi. Paralimpiade selanjutnya berlangsung di Paris pada 2024. Presiden pun berpesan agar para atlet tetap semangat mempersiapkan diri menuju ajang tersebut.

"Jangan lalai untuk mempersiapkan diri. Ingat, Paralimpiade di Prancis tinggal tiga tahun lagi karena tahun 2024 dan kita harapkan Paralimpiade 2024 ini kita bisa meraih medali dan prestasi yang lebih tinggi lagi," ungkap Presiden.

5 dari 5 halaman

Publikasi Wajib Ditingkatkan

Pencarian bibit dari berbagai penjuru Indonesia layak ditingkatkan. Perhatian lebih harus diberikan kepada atlet, terutama di tingkat daerah.

Wakil Ketua NPC Kota Cimahi Aden Achmad menyebut anggaran dan bonus prestasi untuk atlet disabilitas di tingkat kota atau kabupaten masih banyak yang belum setara. Kondisi ini menunjukkan perbedaan masih ada.

"Anggaran atlet disabilitas harusnya lebih besar dari atlet nasional, karena dana tambahan untuk biaya pendamping dan alat-alat bantu olahraga. Misalnya atlet tenis meja butuh kursi roda yang berbeda dan tentu tidak murah," ungkapnya ketika dihubungi Liputan6.com.

Aden menyebut atlet disabilitas harus diberdayakan semaksimal mungkin. Sebab, semua orang bisa mencapai semuanya jika dibina. Selain itu, gelaran Paralimpiade memberi kesempatan bagi atlet Indonesia untuk mengangkat harkat bangsa dari olahraga.

Aktivis HAM disabilitas itu juga berhadap ada perhatian lebih dalam hal publikasi. Dia merasa perbedaan timpang terlihat benar dalam hal ini. Sebagai perbandingan, Olimpiade Tokyo ditayangkan TVRI dan Indosiar. Namun, Paralimpiade hanya disiarkan di O Channel.

"Saya kecewa, sampai di mana kepedulian pengusaha dan pemerintah. Padahal kalau sudah disaksikan, banyak penonton non-disabilitas tertarik," ungkap Aden.

"Atlet Paralimpiade harus diekspos agar sampai di masyarakat awam. Saya pesan agar pemerintah ikut mensosialisasikan olahraga disabilitas melalui media, minimal media milik pemerintah," pungkasnya.

* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.