Sukses

Misteri Dentuman di Langit Bandung, Ini Penjelasan Ilmiahnya

Beberapa hari berturut-turut sebelum Hari Raya Idul Fitri 2020 terdengar suara dentuman yang keras di langit Bandung.

Liputan6.com, Jakarta- Beberapa hari berturut-turut sebelum Hari Raya Idul Fitri 2020 terdengar suara dentuman yang keras di langit Bandung. Peneliti dari Pusat Sain dan Teknologi Atmosfer (PSTA) dari Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional (LAPAN) coba menjelaskan secara ilmiah fenomena tersebut.

Menurut peneliti PSTA LAPAN Erma Yulihastin, suara dentuman mirip bom dengan frekuensi rendah yang terjadi berulang-ulang tersebut, bisa saja menunjukkan fenomena skyquake atau suara mirip yang mirip gempa di langit.

Sebab suara tersebut bisa didengar oleh banyak orang di berbagai lokasi di kota Bandung pada skala yang luas sehingga seolah-olah berasal dari langit.

"Fenomena skyquake mengindikasikan suara misterius yang tidak bisa dikonfirmasi sumbernya ini telah dikenal luas di berbagai negara dengan sebutan yang bermacam-macam," kata Erma dalam keterangan resminya ditulis Bandung, Selasa, (26/5/2020).

Erma melanjutkan dalam keterangannya, "Secara sains, sumber suara skyquake yang telah banyak diteliti memiliki keterkaitan dengan aktivitas gempa atau aktivitas gunung berapi yang terdapat di dasar laut ini telah dikenal secara ilmiah dengan sebutan dentuman dari dalam bumi, atau earth hum."

* Follow Official WhatsApp Channel Liputan6.com untuk mendapatkan berita-berita terkini dengan mengklik tautan ini.

2 dari 5 halaman

Di Dasar Samudra

Erma menuturkan para ilmuwan geologis seperti Lemoine, melalui manuskrip yang diterbitkan pada 2019 menunjukkan bahwa suara-suara misterius dengan earth hum ini berkaitan dengan aktivitas seismik di dasar Samudra yang terjadi selama tahun 2018-2019.

Materi manuskrip tersebut dijelaskan bahwa sekitar enam bulan setelah berbagai suara earth hum didengar oleh banyak orang, terjadi pembentukan gunung berapi baru di dasar Samudra Hindia, dekat dengan Pulau Mayotte yang terletak antara Madagaskar dan Mozambique, Afrika.

Ema mengatakan, para ilmuwan menyebut suara tersebut seolah-olah merupakan pemberitahuan bahwa telah lahir gunung berapi baru di bawah samudera.

3 dari 5 halaman

Berinteraksi dengan Gelombang Laut

Suara dentuman dengan frekuensi rendah yang ditimbulkan oleh aktivitas seismik tersebut, kata Ema harus berinteraksi dengan gelombang laut agar bisa membangkitkan gelombang akustik yang banyak orang dengarkan sebagai skyquake.

"Penyebab suara yang dikaitkan dengan aktivitas mikroseismik ini merupakan alasan rasional yang telah banyak dibuktikan secara ilmiah. Meskipun demikian, pembuktian terhadap aktivitas pembentukan gunung berapi baru di dasar laut memang sangat sulit dilakukan," tukas Erma.

Erma mengungkapkan spekulasi yang rasional adalah suara di langit Bandung tersebut, masih ada kaitannya dengan suara dentuman di wilayah Jabodetabek pada 11 April 2020 lalu yang terjadi bersamaan dengan erupsi Gunung Anak Krakatau. Skyquake yang didengar oleh banyak warga di wilayah Bandung beberapa waktu lalu ucap Erma, bisa jadi berkaitan dengan penjalaran magma oleh gunung berapi di bawah laut atau aktivitas pembentukan gunung berapi baru di lantai Samudra Hindia di perairan selatan Jawa Barat atau Selat Sunda.

 

4 dari 5 halaman

Bukan Akibat Aktivitas Gunung Berapi

BMKG dan PVMBG sebelumnya telah mengonfirmasi bahwa suara tersebut bukan berasal dari aktivitas gempa, gunung berapi, atau gangguan yang terjadi pada cuaca atau atmosfer di sekitar Bandung.

Berkaitan dengan cuaca tutur Erma, hal ini dapat dibuktikan melalui Sadewa LAPAN, perubahan cuaca tiap jam di Bandung dan sekitarnya tidak menunjukkan indikasi pembentukan awan badai yang tiba-tiba dan ekstrem sehingga dapat menghasilkan bunyi gemuruh dari badai guruh atau petir.

5 dari 5 halaman

Fenomena Bentuk Awan

"Meskipun demikian, pada pagi hari saat suara tersebut terjadi, terdapat banyak awan cumulus congestus yang mengalami pertumbuhan signifikan, yang pembentukannya beriringan dengan awan-awan tinggi cirrus dan cirro-cumulus. Keberadaan awan tersebut menunjukkan bahwa aktivitas konvektif masih banyak terjadi di musim kemarau saat ini," ujar Erma.

Selain itu Erma menambahkan, kombinasi dari berbagai jenis awan rendah dan tinggi tersebut berpotensi menghasilkan fenomena bentuk awan-awan aneh sebagaimana yang marak terjadi belakangan ini.

(Arie Nugraha)

* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.

Video Terkini