Sukses

Cara Margaret Thatcher Hadapi Kekerasan Suporter

Kekerasan suporter juga pernah membuat pemerintah Inggris kelimpungan.

Liputan6.com, London - Kepergian Haringga Sirila, tidak hanya meninggalkan duka bagi sepak bola Indonesia. Kematian suporter Persija Jakarta berusia 23 tahun itu juga jadi tombol peringatan bagi seluruh elemen untuk menemukan solusi menghilangkan kekerasan di sepak bola. 

Haringga tewas di tangan sekelompok pendukung Persib Bandung, Minggu (23/9/2018). Niat menyaksikan El Clasico melawan Persib di Stadion Gelora Bandung Lautan Api (GBLA), Bandung, justru mengantarnya menjemput ajal. Ironisnya, Haringga bukanlah 'tumbal' pertama rivalitas Persija dan Persib. Akibat kejadian, ini, PSSI selaku otoritas tertinggi olahraga sepak bola di Indonesia untuk sementara terpaksa menghentikan Liga 1. 

Polisi juga telah menetapkan 8 tersangka. Dari rekonstruksi yang digelar kemarin ditemukan fakta bahwa tidak satupun dari para pelaku yang memiliki tiket pertandingan. Sebagian besar juga terbilang masih muda dengan rentang usia 16 tahun hingga 20 tahun. 

Indonesia bukanlah satu-satunya negara yang bermasalah dengan kekerasan suporter sepak bola. Inggris yang disebut-sebut sebagai negara asal olahraga si kulit bundar juga pernah dibuat kelimpungan oleh ulah brutal suporter sepak bola yang disebut dengan hooligan.

Tahun 1980-an menjadi era kelam sepak bola Inggris. Kekerasan yang dilakukan suporter sepak bola pada masa itu sampai membuat berang Perdana Menteri Margaret Thatcher. Iron Lady-julukan Thatcher- bahkan sampai membentuk "Kabinet Perang" untuk menanganinya.

Saat itu, tidak hanya kerusuhan suporter yang jadi konsern pemerintahan Thatcher. Kominitas-komunitas brutal di luar sepak bola juga menambah resah pemerintah Inggris. 

Di pinggiran kota, kekerasan merajalela. Perkelahian antarpemuda juga tidak kalah memprihatinkan kala itu. Puncaknya adalah tragedi Heysel yang terjadi pada tahun 1985.

Saat itu, sebanyak 39 fans Juventus tewas di final Piala Eropa melawan Liverpool. Sebuah noda yang tak akan bisa terhapus dari sejarah sepak bola Negeri Tiga Singa.

Menteri dalam Negeri era Thatcher, Douglas Hurd, lantas membuat penelitian untuk mengetahui cara menghentikan aksi kekersasan tersebut. Seperti dilansir Independent dua tahun lalu, Hurd juga memerintahkan polisi senior untuk menyelidiki kenapa kenapa sering terjadi kerusuhan di kota dan desa setelah pesta miras di hari Jumat dan Sabtu.

Hasil kajian Hurd tersimpan dalam file kementerian yang selama ini tetutup. Namun Badan Arsip Nasional di Kew, London Barat, basil mengungkapnya ke publik. Dalam laporannya, Hurd ternyata melihat ada kemiripan antara kekerasan di desa dan hooligan sepak bola. 

Dalam catatan memorandum dari bulan Juni 1988, Hurd menemukan sebanyak 83.000 tindak kekerasan di desa maupun pinggiran kota Inggris pada tahun sebelumnya. Lebih dari setengah terjadi pada 1980 yang akhirnya menambah beban kepolisian. 

"Tidak ada yang berubah dalam tindak kekerasan yang terjadi. Kericuhan yang disebabkan pemabuk, Teddy boys di tahun 50-an, mod dan rocker di era 60-an, punk dan skinhead merupakan tradisi yang berlanjut. Hanya saja saat itu jauh lebih buruk," tulis Hurd. 

 

 

* Follow Official WhatsApp Channel Liputan6.com untuk mendapatkan berita-berita terkini dengan mengklik tautan ini.

2 dari 3 halaman

Efek Miras

Laporan dari lembaga kepolisian menyebutkan bahwa minuman keras berperan besar dalam tindak kekerasan yang terjadi pada masa itu. Hampir 90 persen perkelahian dan kerusuhan yang terjadi di pedesaan barkaitan langsung dengan minuman beralkohol itu. 

Hurd juga menemukan fakta bahwa para perusuh di pedesaan memiliki usia yang sama dengan hooligan brutal. "Banyak mereka yang berusia 16-25 tahun yang terlibat dalam kekacauan ini memiliki potensi laten untuk melakukan tindak kekerasan," tulis Hurd. 

Eksistensi menjadi penting bagi usia seperti itu. Dan ketangguhan menjadi salah satu indikator kedewasaan bagi mereka. Situasi semakin buruk saat minuman keras membuat para pelaku kekerasan kehilangan kontrol diri dan membuat mereka melewati batas. 

"Perlu ada batasan internal dan eksternal untuk membawa mereka kembali," tulis Hurd.

Situasi ini diperparah dengan pengawasan dari orang tua yang minim. Pendidikan juga dianggap gagal membenahi budi pekerti pada siswa dan hanya fokus tehadap angka-angka. 

"Orang tua mereka menonton TV di rumah dan pendidikan gagal mengajarkan disiplin dan tanggung jawab kepada mereka. Pendidikan juga gagal mengajak mereka untuk menemukan cara lain untuk bersenang-senang," tulis Hurd dalam laporannya. 

 

3 dari 3 halaman

Pasukan Khusus Bukan Solusi

Lalu bagiamana langkah mengatasinya? Dengan personel polisi yang terbatas, Hurd sangat tidak setuju dengan wacana membentuk pasukan khusus untuk mengendalikan tindak kekerasan tersebut mengingat lokasinya tersebar di banyak tempat di seluruh Inggris.

Upaya ini menurutnya hanya membuat polisi menghabiskan waktu untuk berburu kerusuhan dari satu daerah ke daerah yang lain. Sebaliknya, Hurd memilih untuk menempuh jalur lain. Pria kelahiran 8 Maret 1930 tersebut mengajukan undang-undang perizinan yang lebih ketat, penuntutan cepat, hukuman yang berat, dan penyempurnaan prosedur kepolisian.

Inggris memang belum sepenuhnya terbebas dari ancaman hooligan. Namun angka kerusuhan yang terjadi di Negeri Ratu Elizabeth itu terbilang menurun tajam saat ini. Hal ini seiring dengan semakin sehatnya iklim sepak bola di sana. Premier League yang merupakan kasta tertinggi sepak bola Inggris merupakan liga terbaik di dunia, tempat di mana pemain-pemain kelas dunia berkarier. Rivalitas antarklub dikemas dengan baik menjadi industri.

Lalu, bagaimana dengan Indonesia?  

Saksikan juga video menarik di bawah ini:

 

* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.

Video Terkini