Sukses

Timnas Myanmar, Kisah Tentara Gurkha dan Terlelapnya Macan Asia

Timnas Myanmar akan menghadapi Timnas Indonesia pada uji coba di Stadion Pakansari, Selasa (21/3/2017).

Liputan6.com, Jakarta Timnas Indonesia akan berhadapan dengan Myanmar dalam laga uji coba di Stadion Pakansari, Cibinong, Bogor, Selasa (21/3/2017). Dalam pertandingan ini, Tim yang ditangani pelatih asal Spanyol, Luis Milla, akan menurunkan pemain-pemain muda berusia di bawah 22 tahun.

Myanmar bukan lawan baru bagi Indonesia. Kedua tim sudah 40 kali bertemu. Sejauh ini, Indonesia baru mengoleksi 15 kali menang, 9 kali imbang, sedangkan sisanya berakhir dengan kekalahan.

Di Asia Tenggara, kekuatan Myanmar saat ini tidak setangguh dulu. Di level senior, perjalanan Myanmar di Piala AFF 2016 masih tertinggal dibanding Indonesia yang mampu lolos ke final sebelum kalah atas Thailand. Sementara White Angels atau Malaikat Putih terganjal di babak semifinal.

Prestasi yang cukup membanggakan dari Myanmar justru kini berada di level junior. Seperti diketahui, Myanmar berhasil menembus Piala Dunia U-20 2015 yang berlangsung di Selandia Baru. Sebagian pemain yang tampil di turnamen bergengsi ini juga ikut diboyong menghadapi Indonesia.

Sejarah sepak bola Myanmar sebenarnya tidak berbeda dari Indonesia. Keduanya punya era emas masing-masing. Dilansir mizzima.com, era kejayaan Myanmar berlangsung antara tahun 1965-1973. Saat itu, negara seluas 676,578 km persegi tersebut masih dikenal dengan Burma.

Selama era keemasannya, Burma pernah menjadi penguasa cabang olahraga sepak bola pada Southeast Asian Peninsula (SEAP) Games--cikal bakal Southeast Asia Games (SEA Games). Burma merebut medali emas dari cabor populer ini selama lima edisi berturut-turut mulai 1965-1973.

Tidak hanya di Asia Tenggara, Burma yang memiliki ciri permainan cepat dan stamina yang kuat juga pernah menyandang gelar Macan Asia setelah merebut dua emas pada Asian Games 1966 dan 1970. Burma juga pernah menjadi runner up Piala Asia 1968 yang berlangsung di Teheran, Iran.

Kenangan manis sepak bola Myanmar semakin lengkap dengan penampilan mereka di Olimpiade Munich, Jerman, 1972. Meski gagal merebut medali, Myanmar merebut gelar Fair Play Award.

Pele dari Burma

Generasi emas sepak bola Myanmar telah memunculkan sosok Suk Bahadur. Striker ini dijuluki sebagai Pele dari Burma. Selain tajam dalam menyerang, Bahadur juga kuat dalam bertahan.

Dia memperkuat timnas Myanmar sejak 1952 hingga 1970. Di era keemasannya, Bahadur sudah mempersembahkan sederet trofi bagi negaranya. Menariknya, selain sebagai pesepak bola Bahadur merupakan Mayor tentara Gurkha yang tergabung dalam Iinfantri Batalyon IV (Gurkha IV).

Bahadur dikenal sebagai penyerang yang memiliki kecepatan yang luar biasa. Maklum, selain sebagai pesepak bola dia juga spirnter nasional yang mampu menempuh jarak 100 meter di bawah 11 detik. Sepanjang kariernya, Bahadur telah memenangkan 2 gelar Merdeka Cup (1964 dan 1967), 3 emas SEA Games (1965, 1967, 1969), dan dua medali emas Asian Games (1966-1970). 

Era Keemasan Meredup

Setelah 11 tahun, sinar timnas Myanmar mulai meredup. Tidak ada lagi gelar yang bisa dibanggakan. Bahkan gairah sepak bola Myanmar juga turun. Dalam kurun waktu 32 tahun sejak 1975 -2008, timnas Myanmar lebih jarang tampil dibanding 11 tahun era keemasan 1965-1975,

Minimnya pemain-pemain berkualitas yang menjadi penerus di timnas Myanmar menjadi salah satu penyebabnya. Pola pembinaan usia dini yang mandek menjadi salah satu biang keladinya.

Jebolan era keemasan Myanmar, U Myo Min Nyunt mengatakan bahwa di zamannya dulu, ada tiga penghasil tim nasional; sepak bola usia dini, kota, hingga kabupaten. Lambat laun teknik dan skill mereka berkembang dan jalur ke timnas senior pun dibuka. "Lewat berbagai turnamen kami mengembangkan pengalaman bertanding dan ini komponen penting dari kesuksesan kami."

Faktor lainnya adalah sekolah sepak bola. Semua pelajar, semua sekolah bakal ikut ambil bagian dan kualifikasi akan didasari oleh tinggi badan dibanding usia. Turnamen antara sekolah juga digalakkan di mana pemain-pemain terbaik akan diberangkatkan ke Yangon untuk bergabung menjadi tim regional. Pemain berkualitas akan terlihat dan diperkenalkan menjadi tim nasional.

"Di antara 1970-1974 mereka sudah berhenti." Menurut Min Nyunt, banyak perkelahian yang terjadi pada turnamen antarsekolah. Tidak ingin situasi bertambah buruk, pihak administrator pun terpaksa menghentikan kegiatan tersebut yang akhirnya berimbas kepada regenerasi timnas.

Selain itu, infrastruktur juga semakin lama semakin sulit. Mulai pertengahan tahun 1970, banyak lapangan sepak bola yang beralih fungsi dan menteri olahraga Myanmar tidak berbuat apa-apa. Lapangan yang tersisa juga tidak memiliki rumput. Ini membuat gairah sepak bola kian redup.

Sementara faktor lainnya adalah semakin minimnya tenaga-tenaga pelatih dari luar negeri. Akibatnya, transformasi ilmu sepal bola modern ke timnas Myanmar juga ikut mandek.

 

 

* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.

Video Terkini