Sukses

Ekspor Melambat, Capital Economics Ramal Jepang Bakal Masuk Jurang Resesi

Jepang baru-baru ini melaporkan defisit perdagangan yang lebih besar dari perkiraan sebesar USD 15 miliar untuk bulan Oktober 2022.

Liputan6.com, Jakarta - Perusahaan riset ekonomi yang berbasis di London, Capital Economics meramal perekonomian Jepang akan memasuki resesi karena pertumbuhan ekspornya yang melambat.

"Kami pikir ekonomi Jepang akan memasuki resesi tahun depan," kata Marcel Thieliant, ekonom senior Jepang di Capital Economics, dikutip dari CNBC International, Rabu (7/12/2022).

Dalam segmen Squawk Box Asia CNBC, Thieliant mengatakan bahwa resesi di Jepang "sebagian besar akan didorong oleh penurunan ekspor dan juga dengan menjadi lebih berhati-hati, yang biasanya Anda lihat ketika ekspor mulai turun".

Jepang baru-baru ini melaporkan defisit perdagangan yang lebih besar dari perkiraan sebesar USD 15 miliar untuk bulan Oktober 2022.

Ekspor negara itu naik 25,3 persen, lebih lambat dari pertumbuhan sebesar 28,9 persen yang terlihat di bulan September. Sementara impor Jepang naik 53,5 persen year-on-year di bulan Oktober, lebih tinggi dari pertumbuhan sebesar 45 persen di bulan sebelumnya. 

Jepang dijadwalkan untuk melaporkan data perdagangan bulanannya pada 15 Desember mendatang. Secara terpisah, Jepang akan merilis revisi PDB kuartal ketiga pada 8 Desember 2022. 

Thieliant menyebut, Bank of Japan kemungkinan akan mempertahankan kebijakan moneternya dan tidak akan menaikkan suku bunga acuan, terutama di tengah kekhawatiran resesi. "Dalam lingkungan itu, akan sangat berani untuk mengetatkan kebijakan moneter," ujatnya.

Gubernur bank sentral Jepang Haruhiko Kuroda dilaporkan menepis kemungkinan meninjau sikap BOJ saat ini untuk mempertahankan suku bunga rendah. "Bank telah mengindikasikan akan melihat inflasi yang berkelanjutan dan jenis inflasi yang didorong oleh biaya yang kita lihat sekarang tidak berkelanjutan," papar Thieliant.

Inflasi inti Jepang pada November 2022 telah mencapai 3,6 persen, tertinggi dalam 40 tahun dan lebih tinggi dari target BOJ sebesar 2 persen.

* Follow Official WhatsApp Channel Liputan6.com untuk mendapatkan berita-berita terkini dengan mengklik tautan ini.

2 dari 4 halaman

Chatib Basri: AS Harus Resesi Demi Turunkan Inflasi

Ekonom Senior dan Co-Founder Creco Research Institute Muhammad Chatib Basri, mengatakan bahwa Amerika Serikat memerlukan resesi untuk menurunkan inflasi yang tinggi.

Hal itu melihat dari data beveridge curve yakni ketidakseimbangan antara tingkat lowongan pekerjaan yang tinggi, sedangkan tingkat penganggurannya rendah.

"Yang menarik dari beverage curve di Amerika Serikat adalah bahwa lowongan pekerjaannya itu besar sekali walaupun unemployment sudah rendah. Artinya bahwa ada pekerjaan yang ditawarkan tapi orangnya tidak ada," kata Chatib Basri dalam acara Bank BTPN Economic Outlook 2023, Senin (5/12/2022).

Hal itu bisa terjadi lantaran terjadi ketidakcocokan. Sebab, lowongan pekerjaan tersebut meminta orangnya hadir langsung ke tempat kerja. Sementara, orang itu menginginkan pekerjaan yang remote alias tidak perlu datang ke tempat kerja.

"Yang terjadi akibat dari Mismatch karena yang diminta mungkin pekerjaan yang membutuhkan orangnya hadir in person, tetapi yang bersedia bekerja memilih untuk remote," ujarnya.

Menurut dia, di dalam kondisi ini maka implikasinya adalah walaupun tingkat pengangguran di Amerika sudah rendah 3,7 persen, tetapi lowongan pekerjaan yang diminta itu masih jauh lebih besar.

"Bisa dibayangkan kalau yang minta tenaga kerja itu banyak sementara supplynya tidak ada, maka akibatnya upahnya akan naik kalau upahnya naik maka inflasi di Amerika akan naik," ujarnya.

3 dari 4 halaman

Harus Resesi

Oleh karena itu, kata Chatib, Mantan Menteri Keuangan di Amerika Serikat Larry Summers mengatakan tampaknya Amerika membutuhkan resesi ekonomi untuk menurunkan inflasinya.

"Beberapa bulan lalu di dalam sebuah meeting dia mengatakan bahwa untuk mengatasi inflasi di Amerika dibutuhkan resesi. Karena itu Summers menganjurkan supaya The FED menaikkan bunga dengan agresif, dan inilah yang dilakukan," ujarnya.

Walaupun lowongan pekerjaan terbuka luas di Amerika Serikat, kata dia, akan menyebabkan upah naik sangat tinggi. Maka, mau tidak mau dibutuhkan pengangguran yang relatif besar untuk membuat inflasinya turun.

"Implikasi yang disampaikan Summers saya kira inflasi di Amerika bakal bertahan untuk periode yang agak panjang. Karena itu kemungkinan yang terjadi adalah bahwa The Fed memang mungkin akan melakukan perlambatan dari kenaikan bunganya, tetapi membutuhkan waktu yang agak panjang sebelum the Fed bisa menurunkan tingkat bunga. Tentu punya implikasi terhadap ekonomi berbagai negara," pungkasnya.

4 dari 4 halaman

2023 Diramal Resesi, Jokowi: Indonesia Harus Optimis!

Presiden Joko Widodo (Jokowi) menegaskan, Indonesia harus tetap optimis pertumbuhan ekonominya bisa terus tumbuh positif, di tengah ekonomi global yang diprediksi 2023 akan bergejolak.

"Saya tidak ingin menyampaikan hal-hal yang menyebabkan kita pesimis, artinya saya tidak  ingin cerita lagi kalau dunia baru kena ini, baru kena itu. Memang itu betul, faktanya seperti itu. Tapi saya tidak akan cerita lagi, saya ingin cerita yang optimis-optimis," kata Jokowi dalam Rapimnas Kadin, Jumat (2/12/2022).

Bahkan, managing IMF sendiri menyampaikan bahwa Indonesia ini adalah titik terang ditengah kesuraman ekonomi global.

"Hati-hati di tengah kesuraman ekonomi global Indonesia adalah titik terangnya. Dia yang ngomong seperti itu,” ujar Jokowi.

Alasan IMF menyebut ‘Indonesia titik terang di tengah kesuraman ekonomi global’, karena dilihat dari angka-angka pertumbuhan ekonomi Indonesia relatif stabil dan positif dibanding negara lain.

"Apa alasannya dia berbicara seperti itu? karena dia baca angka-angka, coba dilihat inflasi kita terjaga 5,7 persen Dunia sudah di atas 10-12 persen bahkan ada yang sudah lebih dari 80 persen. Kenapa kita harus pesimis kalau angkanya terjaga seperti itu, kita harus optimis," ujarnya.

Apalagi pada kuartal III pertumbuhan ekonomi Indonesia tumbuh 5,72 persen. Meskipun proyeksi pertumbuhan ekonomi dunia direvisi menjadi 3,2 persen, justru Indonesia masih tumbuh positif. Artinya, tidak ada alasan untuk pesimis di tahun depan.

"Kuartal ketiga kita tumbuh 5,72 persen. Proyeksi untuk dunia di Tahun 2022 3,2 persen, kita tumbuh 5,72 persen. Kenapa kita tidak optimis dengan angka-angka itu harus optimis," ungkap Jokowi.

* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.