Sukses

Mantan Presiden The Fed Boston Yakin AS Bakal Resesi di 2023

Mantan Presiden Federal Reserve Boston, Eric Rosengren : AS kemungkinan mengalami resesi ringan tahun depan.

Liputan6.com, Jakarta - Mantan Presiden Federal Reserve Boston, Eric Rosengren mengungkapkan bahwa dirinya yakin resesi di Amerika Serikat sangat mungkin terjadi tahun depan, karena tekanan inflasi yang terus-menerus mendorong kenaikan suku bunga.

Dilansir dari CNBC International, Rabu (9/11/2022) Rosengren menyebutkan bahwa bank sentral AS tampaknya bakal berhenti menaikkan suku bunga, menjadi lebih dari perkiraan 5 persen oleh investor, mendorong ekonomi ke penurunan ringan pada tahun 2023.

"Saya pikir sangat mungkin AS mengalami resesi ringan tahun depan," kata Rosengren, kepada Joumanna Bercetche dari CNBC pada konferensi UBS di London.

"Lebih dari 5,5 persen akan menjadi perkiraan saya," ungkapnya, ketika ditanya soal perkiraan puncak suku bunga The Fed.

Diketahui bahwa The Fed, pada pertemuan kebijakan terbarunya pekan lalu, menaikkan suku bunga sebesar 75 basis poin ke tingkat 3,75 -4 persen, dan mengisyaratkan bahwa kenaikan suku bunga bisa lebih jauh dari yang ditetapkan sebelumnya, meskipun pada kecepatan yang lebih lambat.

Rosengren, yang pensiun dari jabatannya tahun lalu, menambahkan bahwa prediksinya soal tingkat kenaikan suku bunga the Fed bergantung pada melemahnya pasar tenaga kerja AS dan perlambatan pertumbuhan upah nominal.

Agar suku bunga The Fed mencapai puncak pada 5,5 persen tahun depan, Rosenberg mengatakan tingkat pengangguran AS kemungkinan perlu menembus 5 - 5,5 persen, naik dari 3,7 persen saat ini.

Pasar tenaga kerja AS tetap ketat selama beberapa bulan terakhir, memberikan tekanan pada upah.

 

* Follow Official WhatsApp Channel Liputan6.com untuk mendapatkan berita-berita terkini dengan mengklik tautan ini.

2 dari 3 halaman

Resesi Serang Eropa dan AS, Ekspor Sepatu Indonesia Loyo

Ketua Bidang Ketenagakerjaan Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) Anton Supit, mengatakan menghadapi resesi dunia yang tengah terjadi saat ini mulai memberikan dampak yang cukup signifikan terhadap industri.

Terutama untuk industri persepatuan yang mengalami penurunan permintaan ekspor yang sangat signifikan, khususnya dari Uni Eropa dan Amerika Serikat.

"Masalah sekarang ini adalah resesi dunia yang sudah terjadi terutama Uni Eropa dan Amerika dan efeknya langsung kepada industri persepatuan dan tekstil," kata Anton dalam Rapat Kerja bersama Komisi IX DPR RI, Selasa (8/11/2022).

"Di persepatuan saja order menurun 50 persen rata-rata. Ada yang 70 persen dan kurang. Bergantung pasarnya di mana. Kalau di Uni Eropa dan Amerika itu sangat turun, sementara Asia masih bagus," lanjut dia.

Tak berhenti disitu saja, industri karet juga mengalami penurunan permintaan ekspor sebesar 40 persen lebih dan dia memprediksi dampaknya akan lebih dalam lagi, sebab menyangkut karet rakyat.

"Artinya jika permintaan dunia menurun, karet rakyat ini tidak akan terserap secara optimal dan menimbulkan probrem baru lagi," ujarnya.

Disisi lain, industri elektronik juga mengalami penurunan permintaan ekspor. Menurut dia hanya industri otomotif saja yang mengalami peningkatan permintaan ekspor.

"Otomotif untuk ekspor ke middle east dan Asia lainnya juga naik. Jadi situasinya tidak bisa dikatakan sama," ungkapnya.

Sebelumnya, Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Airlangga Hartarto, mengungkapkan pelemahan permintaan global yang berdampak pada kinerja ekspor menjadi terganggu. Akibatnya, sejumlah perusahaan memilih mengurangi produksi bahkan melakukan PHK, salah satunya pada industri tekstil.

"Kondisi ini sudah mulai berdampak pada beberapa industri khususnya terkait dengan sektor tekstil dan produk tekstil," pungkas Airlangga.

3 dari 3 halaman

Mantan Menkeu AS Juga Yakin Negaranya Masuk Jurang Resesi

Mantan Menteri Keuangan Amerika Serikat, Larry Summers mengatakan bahwa ada kemungkinan besar Amerika memasuki resesi tahun depan.

Dilansir dari CNN Business, Jumat (21/10/2022) Summers menyebut, resesi AS menjadi "hampir tak terelakkan" setelah tingkat inflasi tumbuh di atas 5 persen. Pada September 2022, inflasi negara ekonomi terbesar di dunia itu mencapai 8,2 persen.

Tetapi Summers memprediksi, resesi ini kemungkinan akan relatif pendek dan ringan dan AS tidak akan melihat krisis keuangan seperti yang terlihat pada tahun 2008 silam.

"Saya tentu tidak berpikir itu akan menjadi seperti krisis keuangan (2008)… atau seperti hal-hal buruk yang terjadi setelah pandemi mulai datang," ujar Summers mengatakan kepada Wolf Blitzer CNN dalam segmen The Situation Room.

Namun, beberapa penurunan ekonomi sulit dihindari. “Pengangguran kemungkinan akan naik hingga 6 persen, itu hal yang sangat nyata dan bukan hal yang mudah," ungkapnya.

"Tetapi orang-orang perlu memahami bahwa lebih baik berusaha daripada membiarkan inflasi berakselerasi dan membiarkan semua orang memperkirakan inflasi, di mana Anda akan menghadapi kesulitan yang jauh lebih besar," lanjut Summers.

Seperti diketahui, ekonomi AS telah menunjukkan tanda-tanda risiko resesi dalam beberapa bulan terakhit.

Dalam seminggu terakhir saja, sejumlah pemimpin ekonomi – termasuk CEO JPMorgan Chase Jamie Dimon dan pendiri Amazon Jeff Bezos  mengatakan mereka khawatir resesi di AS akan segera terjadi.

Model probabilitas yang dijalankan oleh Ned Davis Research juga mengungkapkan, saat ini peluang 98,1 persen resesi global tahun depan.

* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.