Sukses

Ternyata, Ini yang Dicemaskan Warganet Jika Terjadi Resesi

Ancaman resesi global menanti pada 2023. Resesi membuat ekonomi dunia termasuk Indonesia melemah dibandingkan sebelumnya.

Liputan6.com, Jakarta Ancaman resesi global menanti pada 2023. Resesi membuat ekonomi dunia termasuk Indonesia melemah dibandingkan sebelumnya.

Dampak resesi global pun membuat masyarakat ketar-ketir. Dalam survei yang dilakukan Continuum terbaru menunjukkan, kekhawatiran masyarakat ketika terjadi resesi yakni kenaikan harga barang-barang.

"Kenaikan harga menjadi yang paling dikhawatirkan jika terjadi resesi (52,8 persen)," kata Analis Continuum Data Indonesia, Natasha Yulian dalam konferensi pers: Waspada Perlambatan Ekonomi Akhir Tahun secara virtual, Jakarta, Selasa (8/11).

Selain kenaikan harga, responden dalam survei ini juga khawatir resesi membuat Indonesia mengalami krisis pangan (30,6 persen). Dampak resesi juga membuat responden khawatir terjadinya gelombang pemutusan hubungan kerja (PHK), (11,1 persen).

Susah mencari pekerjaan juga menjadi hal yang dikhawatirkan responden (4,2 persen). Begitu juga dengan kekhawatiran terjadinya kenaikan tingkat kriminalitas (1,4 persen).

Secara umum, Natasha mengungkapkan hasil survei menunjukkan hanya 4 persen responden yang mengkhawatirkan terjadinya resesi di Indonesia tahun depan. Artinya, 96 persen merasa optimis Indonesia mampu melalui badai resesi global di tahun depan.

"Meskipun tak dominan, masyarakat masih mengkhawatirkan kemungkinan dampak resesi," kata dia.

 

 

Dia menyebut hal ini menjadi logis karena tren yang terjadi beberapa waktu menunjukkan adanya kenaikan harga-harga. Tak hanya itu, ada juga kabar di media sosial yang menyatakan munculnya gelombang PHK dimana-mana.

"Kenaikan harga ini seperti harga telur, minyak goreng dan adanya PHK besar-besaran di perusahaan startup," kata dia.

Masih dalam laporan yang sama, warganet pun saling memberikan saran untuk menghadapi kemungkinan terjadinya resesi di tahun depan.

Sebagian besar warganet menyarankan untuk mulai berhemat dan menabung (50,1 persen). Sedangkan sebagian lagi menyarankan untuk tetap melakukan belanja (21 persen) dan menyelamatkan aset (27,6 persen).

"Ini menarik karena belanja dan menabung ini 2 hal yang berlawanan tapi ini disarankan buat hadapi resesi," kata dia.

* Follow Official WhatsApp Channel Liputan6.com untuk mendapatkan berita-berita terkini dengan mengklik tautan ini.

2 dari 4 halaman

Tak Berhutang

 

Sisanya menyarankan agar tidak berutang (0,3 persen) dan menjual aset (0,8 persen). Natasha mengatakan, warganet yang menjadi responden survei ini menyatakan, selain berhemat dan menabung, tetap konsumtif juga harus dilakukan. Mereka pun saling berbagi tips untuk siap menghadapi ancaman resesi global.

"Uniknya, selain berhemat sedikit boros juga menjadi satu hal yang disarankan," kata dia.

Alasannya, jika masyarakat takut berbelanja maka roda ekonomi ini bisa berhenti berputar. Sehingga bisa mengganggu perekonomian dan berdampak lebih besar lagi.

"Nanti pedagang tidak ada yang beli, suplai macet, produksi macet, transportasi publik sepi dan banyak hal lain yang terdampak," kata dia.

Sebagai informasi, survei yang dilakukan Continuum dilakukan pada 17 Oktober - 1 November 2022. Dalam survei ini terdapat 60.871 pembicaraan di media sosial dari 51.525 akun media sosial.

Dari data tersebut, sebanyak 78,5 persen perbincangan berasal dari pulau Jawa. Adapun metode yang digunakan merupakan analisis pendapat masyarakat.

 

Reporter: Anisyah Al Faqir

Sumber: Merdeka.com

3 dari 4 halaman

Pede Indonesia Tak Resesi, Warganet Malah Sibuk Bahas PO iPhone Terbaru

Awan gelap resesi tengah membayangi ekonomi global. Mulai dari Presiden Joko Widodo hingga para menterinya telah memperingatkan adanya dampak resesi global ke Tanah Air.

Namun siapa sangka, pembicaraan di sosial media justru malah menyatakan sebaliknya. Warganet optimis Indonesia kebal dari dampak resesi global. Hal tersebut tercermin dari survei yang dilakukan Continuum.

Hasil survei menunjukkan hanya 4 persen responden yang mengkhawatirkan terjadinya resesi di Indonesia tahun depan. Artinya, 96 persen merasa optimis Indonesia mampu melalui badai resesi global di tahun depan.

"Kenapa mereka ini tidak khawatir? Mereka optimis Indonesia tidak akan resesi di tahun 2023. Kalaupun resesi, dampaknya tidak seburuk yang kita bayangkan," kata Analis Continuum Data Indonesia, Natasha Yulian dalam konferensi pers: Waspada Perlambatan Ekonomi Akhir Tahun secara virtual, Jakarta, Selasa (8/11).

Natasha menjelaskan, perbincangan di media sosial warganet sangat optimis Indonesia aman dari resesi (69,33 persen). Topik pembahasan lainnya bukan lagi resesi, melainkan pemesanan gadget terbaru yang dikeluarkan Apple (21,6 persen).

"Artinya ini tanda tidak jadi resesi karena masyarakat masih berbondong-bondong membeli HP keluaran terbaru," kata Natasha.

Sebagian lainnya juga menyatakan resesi 2023 tidak untuk ditakuti (4,24 persen). Mereka berpendapat di masa resesi ini masyarakat harus tetap hidup normal seperti biasa.

Ada juga responden yang tidak perlu takut dengan resesi karena sudah pernah melewati masa pandemi (3,69 persen). Bahkan ada yang menyatakan tidak perlu khawatir dengan resesi (1,14 persen).

4 dari 4 halaman

Menko Airlangga Yakin Indonesia Jauh dari Resesi

Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Airlangga Hartarto, optimis Indonesia jauh dari resesi. Hal itu dibuktikan dengan pertumbuhan ekonomi Indonesia sepanjang 2022 masih tetap kuat, dan tahun 2023 diproyeksikan juga tumbuh positif.

“Di tahun 2022 secara keseluruhan pertumbuhan ekonomi diprediksi tetap optimis di angka 5,2 persen, dan di tahun 2023 itu juga di atas 5,3 persen. Kita ketahui dari berbagai lembaga juga memproyeksi pertumbuhan ekonomi Indonesia dalam range 4,7 persen sampai dengan 5,1 persen, artinya tahun depan Indonesia juga diharapkan jauh dari Resesi,” kata Menko Airlangga dalam Konferensi Pers Capaian Pertumbuhan Ekonomi Triwulan ke-3, yang akan diselenggarakan secara daring, Senin (7/11/2022).

Dalam data terbaru Badan Pusat Statistik (BPS), perekonomian Indonesia pada kuartal III-2022 tumbuh impresif sebesar 5,72 persen (YoY) atau 1,81 persen (qtq), dan secara kumulatif tumbuh 5,40 persen.

“Pertumbuhan perekonomian Indonesia bulan ketiga mencatatkan pertumbuhan impresif yaitu 5,72 persen,” ujar Airlangga.

Tercatat dari sisi pengeluaran, konsumsi rumah tangga tumbuh solid sebesar 5,39 persen yang didukung dengan kinerja Pembentukan Modal Tetap Bruto (PMTB) sebesar 4,96 persen.

Sementara dari sisi sektoral, transportasi pergudangan dengan pertumbuhan tinggi sebesar 25,81 persen dan akomodasi makanan dan minuman tumbuh 17,83 persen. Pertumbuhan yang solid tersebut didukung seiring pulihnya mobilitas masyarakat akibat penanganan pandemi yang baik dan terkendali.

Airlangga menegaskan, secara spasial pertumbuhan ekonomi menguat. Hal itu dilihat dari beberapa daerah yang menunjukkan kinerja positif. Hampir seluruh provinsi pertumbuhan ekonominya lebih tinggi daripada pertumbuhan ekonomi nasional.

“Tentu dari segi keseluruhan Jawa masih 56,3 persen, dan kemudian wilayah timur kinerjanya impresif, Sulawesi pertumbuhannya 8,2 persen demikian pula demikian di Maluku dan Papua pertumbuhannya impresif,” ujarnya.

Oleh karena itu neraca perdagangan masih positif. Namun, kata Menko Airlangga, tantangan kedepan perlu diwaspadai adanya penurunan harga komoditas dan kelemahan permintaan Global.

Kata Airlangga, pada September kemarin pertumbuhan neraca perdagangan surplus USD 4,99 miliar, dan ini kontinu 29 bulan berturut-turut sejak Mei 2020 hingga September 2022.

“Dari Januari sampai dengan September ini total surplus mendekati USD 40 miliar atau USD 39,87 miliar,” pungkas Airlangga Hartarto. 

* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.