Sukses

Kredit Bank Berkembang, Naik 11 Persen Jadi Rp 6.274,9 Triliun

Di sisi lain, kredit restrukturisasi Covid-19 kembali mencatatkan penurunan sebesar Rp 23,81 triliun menjadi Rp519,64 triliun.

Liputan6.com, Jakarta Kredit perbankan pada September 2022 tumbuh meningkat menjadi 11 persen secara tahunan, atau year on year (YoY).

Kepala Eksekutif Pengawas Perbankan Otoritas Jasa Keuangan (OJK), Dian Ediana Rae mengatakan bila ini utamanya ditopang kredit modal kerja yang tumbuh sebesar 12,26 persen yoy.

"Adapun, secara mtm, nominal kredit perbankan naik sebesar Rp 95,45 triliun menjadi Rp 6.274,9 triliun," terang Dian, Kamis (3/11/2022).

Sementara itu, Dana Pihak Ketiga (DPK) pada September 2022 tercatat tumbuh 6,77 persen yoy menjadi Rp 7.647 triliun.

Meski begitu, laju pertumbuhannya melambat dibandingkan bulan sebelumnya sebesar 7,77 persen YoY, utamanya didorong perlambatan deposito.

Dian meneruskan, likuiditas industri perbankan pada September 2022 dalam level yang memadai dengan rasio-rasio likuditas yang terjaga.

Rasio Alat Likuid/Non-Core Deposit (AL/NCD) dan Alat Likuid/DPK (AL/DPK) masing-masing sebesar 121,62 persen (Agustus 2022, 118,01 persen) dan 27,35 persen (Agustus 2022, 26,52 persen), jauh di atas ambang batas ketentuan masing-masing sebesar 50 persen dan 10 persen.

Risiko kredit melanjutkan penurunan dengan rasio non performing loan (NPL) net perbankan sebesar 0,77 persen (NPL gross, 2,78 persen).

Di sisi lain, kredit restrukturisasi Covid-19 kembali mencatatkan penurunan sebesar Rp 23,81 triliun menjadi Rp519,64 triliun, dengan jumlah nasabah juga menurun menjadi 2,63 juta nasabah (Agustus 2022, 2,75 juta nasabah).

Sedangkan, Posisi Devisa Neto (PDN) September 2022 tercatat sebesar 1,32 persen, di bawah threshold 20 persen. "Capital Adequacy Ratio (CAR) industri Perbankan pada September 2022 tercatat meningkat menjadi 25,12 persen dari posisi Agustus 2022 yang sebesar 25,07 persen," jelas Dian.

 

* Follow Official WhatsApp Channel Liputan6.com untuk mendapatkan berita-berita terkini dengan mengklik tautan ini.

2 dari 3 halaman

Nasib Bank Tak Sanggup Punya Modal Inti Rp 3 Triliun, Dipaksa Merger hingga Likuidasi Sukarela

Otoritas Jasa Keuangan (OJK) menargetkan bank memiliki modal inti minimum Rp 3 triliun hingga akhir tahun ini. OJK mengakui ada sejumlah bank yang belum bisa mengejar modal inti tersebut.

Sayangnya, Kepala Eksekutif Pengawas Perbankan OJK, Dian Ediana Rae mengatakan, pihaknya belum dapat menyampaikan beberapa bank yang belum memenuhi ketentuan modal inti Rp 3 triliun. Namun, ia memastikan bank yang tak sanggup penuhi aturan tersebut akan mendapat tindakan tegas dari OJK.

"Kami belum bisa sampaikan angka berapa karena saat ini pengawas maupun saya sendiri banyak melakukan komunikasi insentif dengan pemilik bank untuk memastikan modal inti Rp 3 triliun dapat dipenuhi pada akhir tahun. Mudah-mudahan akhir November peta itu menjadi jelas, berapa bank yang masih tersisa tidak bisa penuhi ketentuan Rp 3 triliun,” kata dia dalam Konferensi Pers Hasil Rapat Dewan Komisioner (RDK) OJK Bulan Oktober, Kamis (3/11/2022).

Dian mengatakan, saat ini OJK tengah mendiskusikan beberapa hal yang mungkin dilakukan kepada bank yang tak mampu penuhi aturan modal inti. Dia menyebutkan, setidaknya ada tiga langkah yang akan dilakukan OJK, termasuk melakukan penggabungan paksa bank hingga mencapai modal inti RP 3 triliun.

“Pertama kita akan lakukan merger paksa untuk memastikan ketentuan yang sudah ditetapkan OJK dapat dipenuhi. Kemudian hal lain yang diertimbangkan adalah downdgading dari bank umum jadi BPR. Ketiga, atau terburuk meminta likuidasi sukarela oleh bank yang tidak mampu penuhi modal inti Rp 3 triliun,” ujar Dian.

3 dari 3 halaman

Ekonomi Dunia Memburuk, OJK Ketatkan Aturan

Sebelumnya, Wakil Ketua Dewan Komisioner OJK Mirza Adityaswara menilai, stabilitas sektor jasa keuangan Tanah Air cenderung masih terjaga. Meskipun, ia tetap mewaspadai dampak dari pemburukan ekonomi dunia.

Ekonomi dunia yang memburuk ditandai dengan adanya pengetatan kebijakan moneter global yang agresif, tekanan inflasi, serta fenomena strong dolar AS. Itu berpotensi menaikan cost of fund dan mempengaruhi ketersediaan likuiditas, yang pada gilirannya akan mempengaruhi pertumbuhan konsumsi dan investasi.

"Pergerakan suku bunga dan pelemahan nilai tukar potensi meningkatkan risiko pasar yang berpengaruh pada portofolio lembaga jasa keuangan. Selain itu, risiko kredit juga berpotensi meningkat seiring dengan perlambatan pertumbuhan ekonomi," ujarnya dalam sesi Konferensi Pers Rapat Dewan Komisioner OJK, Kamis (3/11/2022).

Dalam upaya mencegah kerugian tersebut, pihak otoritas mengambil langkah-langkah proaktif untuk memastikan terjaganya stabilitas sektor jasa keuangan, dengan tetap menjaga momentum pertumbuhan ekonomi.

Salah satunya mempertimbangkan untuk melakukan normalisasi beberapa kebijakan relaksasi secara bertahap. Khususnya yang bersifat administratif yang dikeluarkan pada masa pandemi Covid-19.

"Seperti, pencabutan relaksasi batas waktu penyampaian pelaporan lembaga jasa keuangan. Hal ini mencermati perkembangan pandemi dan aktivitas ekonomi, dimana lembaga jasa keuangan dinilai telah dapat beradaptasi dengan kondisi new normal," terang Mirza.

* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.