Sukses

Survei Kemenhub: 34 Persen Ojek Online Pernah Jadi Pegawai BUMN atau Swasta

Pengemudi ojek online mengaku jarang mendapatkan bonus (52,08 persen) dari aplikator dan sebagian besar menyatakan tidak pernah (37,40 persen).

Liputan6.com, Jakarta - Survei Badan Kebijakan Transportasi Kementerian Perhubungan (Kemenhub) menunjukkan adanya 34,3 persen pengemudi ojek online atau ojol pernah menjadi pegawai BUMN atau pegawai swasta. Survei ini dilakukan pasca adanya kenaikan harga BBM pada September 2022 lalu.

Survey dilakukan rentang waktu 13 – 20 September 2022 dengan media survei online. Sampling adalah penduduk Jabodetabek pengguna ojek online dengan metode sampling kurang 5 persen.

Wilayah survei Jakarta, Bogor, Depok, Tangerang dan Bekasi. Sebanyak 2.655 responden masyarakat pengguna ojek online dan 2.016 responden mitra ojol.

Mengutip keterangan dari Ketua Bidang Advokasi dan Kemasyarakatan MTI Pusat Djoko Setijowarno, 81,31 persen responden menyebut ojek online sebagai pekerjaan utamanya. Sementara, 18,69 persen sisanya sebagai pekerjaan sampingan.

Dari 81,31 persen tersebut, sebanyan 34,3 persen pernah menjadi pegawai BUMN atau swasta. Kemudian, 36,12 persen adalah wiraswasta, 5,42 persennya pelajar atau mahasiswa, 0,82 persen ibu rumah tangga, tanpa pekerjaan 16,09 persen, dan lainnya 17,24 persen.

Sementara itu, dari 18,69 persen yang menjadikan ojol sebagai pekerjaan sampingan, ada 32,14 persen adalah pegawai BUMN/swasta. 7,86 persen adalah PNS 7,86 persen pelajar atau mahasiswa, 29,29 persen wiraswasta, 0,71 persen ibu rumah tangga, dan lainnya 22,14 persen.

Dari sisi pengemudi, didominasi oleh pria (81 persen) dengan usia terbanyak 20 – 30 tahun (40,63 persen) serta lama bergabung menjadi pengemudi ojek online terbanyak kurang dari 1 tahun (39,38 persen).

"Status sebagai pekerjaan utama 54 persen dan sebagai pekerjaan sampingan 46 persen," ujar Djoko dalam keterangannya, ditulis Senin (10/10/2022).

 

* Follow Official WhatsApp Channel Liputan6.com untuk mendapatkan berita-berita terkini dengan mengklik tautan ini.

2 dari 4 halaman

Pendapatan

Pendapatan per hari pengemudi hampir sama dengan biaya operasionalnya. Terbanyak rata-rata pendapatan per hari Rp 50 ribu-100 ribu atau sekitar 50,10 persen dan biaya operasional per hari terbanyak kisaran Rp 50-100 ribu atau 44,10 persen.

"Banyaknya pesanan sebelum pemberlakuan tarif baru 5 – 10 kali (46,88 persen) dan sesudah pemberlakuan tarif kurang dari 5 kali (55,65 persen)," bebernya.

Dari survei itu juga mengungkap, pengemudi mengaku jarang mendapatkan bonus (52,08 persen) dari aplikator dan sebagian besar menyatakan tidak pernah (37,40 persen) mendapatkan bonus dari aplikator. Sementara untuk mendapatkan tip dari penumpang juga jarang (75,79 persen).

"Dengan adanya pemberlakuan tarif baru, sebagian pengguna jasa ojek onlinemengurangi penggunaan dan tak sedikit yang berpindah ke angkutan lain. Secara umum, terlihat masyarakat belum memahami rincian biaya jasa (tarif) ojek online yang dikenakan. Penyesuaian (kenaikan) tarif ojek online yang hampir bersamaan dengan kenaikan harga BBM cukup dirasakan oleh masyarakat. Namun sebagian masyarakat memahami bahwa kenaikan tarif bertujuan untuk kesejahteraan pengemudi," terang Djoko.

 

3 dari 4 halaman

Masukan dari Masyarakat

Dia menerangkan beberapa masukan dari masyarakat untuk meningkatkan kesejahteraan para pengemudi ojek online. Diantaranya mengenai penyesuaian tarif, pengadaan bonus/reward, peningkatan pelayanan, penurunan potongan aplikator, dan penurunan harga BBM. Menurutnya, pengeluaran pengemudi lebih besar daripada penghasilannya.

"Hal ini merupakan salah satu dampak dari penyesuaian (kenaikan) tarif yang jumlah pesanan (order) cenderung menurun, sehingga berdampak pada penghasilan pengemudi," ujar dia.

Di sisi lain, aspek keselamatan belum menjadi perhatian utama dari pengemudi ojek online. Hal ini terlihat dari waktu operasi pengemudi yang belum memperhatikan aspek kelelahan yang akan berpengaruh terhadap keselamatan terlihat dari jam kerja yang didominasi 6-12 jam/hari atau sebanyak 42,85 persen.

 

4 dari 4 halaman

Bisnis Gagal

Lebih lanjut, Djoko menyebut kalau transportasi daring jadi bisnis yang gagal, drivernya kerap mengeluh dan demo. Sementara pengemudi ojek daring sebagai mitra tidak akan merasakan peningkatan pendapatannya karena tergerus oleh potongan-potongan fasilitas aplikasi yang sangat besar

"Kegagalan bisnis transportasi daring sudah terlihat dari pendapatan yang diperoleh mitranya atau driver ojek daring. Sekarang, pendapatan rata-rata driver ojek daring di bawah Rp 3,5 juta per bulan dengan lama kerja 8 -12 jam sehari dan selama 30 hari kerja sebulan tanpa adanya hari libur selayaknya mengacu aturan ketenagakerjaan yang sudah diatur oleh Kementerian Tenaga Kerja," kata dia.

Menurut data yang dimilikinya, pendapatan ojek daring rata-rata masih sebatas kurang dari Rp 3,5 juta per bulan. Dengan besaran itu, tidak sesuai dengan janji aplikator angkutan berbasis daring pada tahun 2016 yang mencapai Rp 8 juta per bulan.

"Sulit rasanya menjadikan profesi pengemudi ojol menjadi sandaran hidup. Pasalnya, aplikator tidak membatasi jumlah pengemudi, menyebabkan ketidakseimbangan supply dan demand," ungkapnya.

"Bekerja tidak dalam kepastian, status keren sebagai mitra akan tetapi realitanya tanpa penghasilan tetap, tidak ada jadwal hari libur, tidak ada jaminan kesehatan, jam kerja tidak terbatas," tambahnya.

Djoko mengusulkan, jika ingin sebagai angkutan umum, otomatis segala persyaratan dan hal-hal yang berlaku bagi angkutan umum juga berlaku pula bagi sepeda motor yang berfungsi sebagai angkutan umum. Seperti wajib melakukan uji berkala (kir), wajib dilengkapi perlengkapan, SIM C Umum, plat nomor kendaraan berwarna kuning, tarif ditetapkan perusahaan angkutan umum (bukan aplikator seperti sekarang) atas persetujuan pemerintah.

"Kota Agats (Kab. Asmat) sejak 2011 sudah menerapkan ojek sebagai angkutan umum dan kendaraan pelat kuning. Kendaraan yang digunakan sepeda listrik, karena hampir 100 persen kendaraan di Kota Agats menggunakan kendaraan listrik. Kab. Asmat sudah memiliki Perda dan Perbup yang dapat mengatur ojek sebagai angkutan umum," ujar dia.

"Jika pemerintah ingin melindungi warganya, dapat dibuatkan aplikasi dan diserahkan ke daerah untuk dioperasikan. Seperti halnya yang dilakukan Pemerintah Korea Selatan membuat aplikasi untuk usaha taksi. Dalam upaya untuk melindungi sopir taksi yang kebanyakan tidak berbahasa Inggris dan rata-rata sudah berusia tua," pungkasnya.

* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.