Sukses

Terkuak, Para CEO di AS Mulai Bersiap-siap Hadapi Resesi Ekonomi di Negaranya

Survei oleh perusahaan konsultan KPMG mengungkapkan bahwa sejumlah CEO di AS mulai meyakini bahwa ekonomi negaranya bakal mengalami resesi.

Liputan6.com, Jakarta - Sejumlah CEO di Amerika Serikat mulai meyakini bahwa ekonomi negara tidak bisa mencapai soft landing menyusul serangkaian kenaikan suku bunga besar oleh Federal Reserve untuk meredam inflasi.

Menurut survei terhadap 400 pemimpin perusahaan besar di AS oleh perusahaan konsultan KPMG, 91 persen memperkirakan resesi di AS bakal terjadi dalam 12 bulan ke depan.

KPMG juga menemukan bahwa hanya 34% persen dari CEO yang disurvei melihat resesi akan berlangsung secara ringan dan singkat.

"Ada ketidakpastian yang luar biasa selama dua setengah tahun terakhir," kata Paul Knopp, ketua dan CEO KPMG, merujuk pada dampak ekonomi imbas pandemi Covid-19 dan kekhawatiran tentang inflasi, dikutip dari CNN Business, Selasa (4/10/2022).

"Sekarang, kita menghadapi resesi lain yang membayangi," ungkapnya. 

KPMG menyebut, lebih dari separuh CEO yang disurveinya sedang mempertimbangkan pemangkasan tenaga kerja untuk bersiap enghadapi resesi. Tetapi nasih ada sedikit tanda harapan.

Meskipun mayoritas CEO berpikir bahwa resesi akan datang, masih banyak eksekutif bisnis percaya bahwa mereka dalam kondisi yang lebih kuat untuk menghadapi guncangan ekonomi yang begitu keras daripada di tahun 2008 silam.

"Ada optimisme untuk jangka panjang tentang ekonomi AS dan prospek untuk organisasi mereka sendiri," sebut Knopp.

"Perusahaan merasa mereka lebih tangguh dan lebih siap (menghadapi resesi)," pungkasnya. 

Tetapi Knopp menambahkan bahwa para CEO juga memperhatikan prospek jangka pendek ekonomi sehingga mereka berniat untuk merubah rencana pengeluaran jangka panjang.

 

* Follow Official WhatsApp Channel Liputan6.com untuk mendapatkan berita-berita terkini dengan mengklik tautan ini.

2 dari 4 halaman

Perusahaan Kecil di AS juga Mulai Khawatir Resesi

Knopp mencatat bahwa meskipun banyak CEO mengungkapkan yakin bisnis mereka akan meningkat dalam jangka panjang karena inisiatif lingkungan, sosial dan tata kelola, mereka mungkin perlu menghentikan beberapa upaya ini selama setahun ke depan atau lebih untuk menekan biaya.

Dia pun menambahkan, bisnis di AS juga menyadari ada potensi risiko yang lebih besar dari memangkas terlalu banyak pekerjaan dan mengurangi pengeluaran terlalu banyak.

"Perusahaan tidak bisa bereaksi berlebihan dalam jangka pendek karena itu bisa menimbulkan masalah untuk jangka panjang. Pandemi masih menimbulkan kekhawatiran mendesak bagi perusahaan," jelas Knopp.

Kekhawatiran di antara para pemimpin perusahaan besar di AS tampaknya juga dialami oleh para pemimpin perusahaan kecil.

Sebuah survei terhadap perusahaan pasar menengah yang dilakukan bulan lalu oleh firma akuntansi dan penasihat Marcum LLP dan Sekolah Bisnis Frank G. Zarb dari Universitas Hofstra menunjukkan bahwa lebih dari 90 persen CEO perusahaan menengah mengkhawatirkan resesi.

Lebih dari seperempat dari CEO ini mengatakan mereka telah memulai PHK atau berencana untuk melakukan pemangkasan karyawan dalam 12 bulan ke depan, untuk mengantisipasi resesi.

3 dari 4 halaman

IMF Beri Peringatan, Sejumlah Negara Bakal Jatuh ke Jurang Resesi di 2023

Direktur Pelaksana Dana Moneter Internasional (IMF) Kristalina Georgieva mengatakan bahwa resesi global dapat dihindari jika kebijakan fiskal masing-masing negara konsisten dengan pengetatan kebijakan moneter. 

Tetapi Georgieva juga mengungkapkan, kemungkinan akan ada negara-negara yang jatuh ke dalam resesi tahun depan.

"Kita memang membutuhkan bank sentral untuk bertindak tegas. Mengapa, karena inflasi sangat keras... Ini buruk bagi pertumbuhan dan sangat buruk bagi masyarakat miskin. Inflasi adalah pajak bagi orang miskin," kata Georgieva dalam sebuah wawancara selama kunjungan ke Arab Saudi, dikutip dari Channel News Asia, Selasa (4/10/2022).

Dia menambahkan, kebijakan fiskal yang tanpa pandang bulu mendukung masyarakat dengan menekan harga energi dan memberikan subsidi bertentangan dengan tujuan kebijakan moneter.

"Jadi, Anda memiliki kebijakan moneter yang menginjak rem dan kebijakan fiskal yang menginjak akselerator," katanya, setelah menghandiri konferensi tentang ketahanan pangan di Riyadh.

Seperti diketahui, sejumlah negara telah berupaya menangani tekanan inflasi dan kekurangan pangan yang tinggi dengan mengikuti kenaikan suku bunga Federal Reserve atau The Fed. Namun langkah ini juga mempengaruhi pasar keuangan dan ekonomi.

Georgieva pun menghimbau The Fed untuk sangat berhati-hati dalam kebijakannya dan memperhatikan dampak dari langkah kebijakan moneter mereka ke seluruh dunia, menambahkan tanggung jawabnya "sangat tinggi".

Selain itu, IMF juga melihat pasar tenaga kerja di AS masih cukup ketat, sementara permintaan masih cukup signifikan untuk barang dan jasa dan The Fed harus melanjutkan pengetatan di sektor tersebut.

"Kita kemungkinan akan melihat ... pengangguran naik dan masalah itu akan menjadi waktu bagi The Fed untuk mengatakan bahwa mereka telah melakukan pekerjaannya. Kita dapat mengurangi pengangguran di masa mendatang. Tapi kita belum sampai di sana," ungkap Georgieva.

4 dari 4 halaman

Ekonomi Global 2023 Diprediksi Gelap Dibayangi Resesi, BI Ambil Ancang-Ancang

Presiden Joko Widodo (Jokowi) mengatakan, banyak negara yang dibayang-bayangi oleh resesi global. Bahkan, dia menyebut kondisi perekonomian akan gelap pada 2023.

Menanggapi, Direktur Departemen Kebijakan Ekonomi dan Moneter Bank Indonesia, Wahyu Agung Nugroho, menyampaikan Bank Indonesia telah berkoordinasi dengan Pemerintah untuk mengukur langkah-langkah mitigasi resesi global.

"Terkait prospek global yang lebih rendah, BI telah berkoordinasi dengan pemerintah mengukur langkah-langkah mitigasinya. Kebijakan moneter kami sudah menempuh yang sifatnya pro stability," kata Wahyu di Ubud, Bali, Minggu (1/10/2022).

Wahyu menegaskan, BI pun tak menampik memang prospek ekonomi global 2022 ke 2023 akan menurun lebih rendah dari perkiraan BI. Dimana BI memperkirakan pertumbuhan ekonomi global 2022 dikisaran 2,9 persen, namun untuk 2023 diprediksi kemungkinan hanya tumbuh dikisaran 2,8 - 2,7 persen.

Prediksi tersebut tercermin dari langkah Bank sentral AS atau Federal Reserve mengumumkan akan menaikkan suku bunga utamanya sebesar 0,75 poin persentase lagi, mengangkat kisaran target menjadi antara 3 persen dan 3,25 persen.

Kenaikan ini, mendorong suku bunga The Fed masuk ke level tertinggi dalam hampir 15 tahun di tengah upaya AS mengendalikan lonjakan harga di negara dengan ekonomi terbesar di dunia tersebut.

Maka berdasarkan assessment, dan perkiraan ke depan dalam rapat Dewan Gubernur Bank Indonesia pada tanggal 21-22 September 2022 memutuskan untuk menaikkan BI 7-Day Reverse Repo Rate sebesar 50 bps menjadi 4,25 persen, sebagai upaya mengendalikan inflasi di dalam negeri.

"Sebagaimana tercermin keputusan RDG September-Agustus, menaikan suku bunga dalam konteks pengendalian inflasi itu sendiri," ujarnya.

Lebih lanjut, dalam menjaga pertumbuhan ekonomi domestik, BI akan mengarahkan kebijakan moneter untuk menjaga stabilitas ekonomi, melalui 4 instrumen lain untuk mendukung pertumbuhan ekonomi.

"Salah satunya kebijakan makroprudensial akan tetap longgar mendukung pertumbuhan kredit perbankan. (Kedua), kegiatan digitalisasi sistem pembayaran tetap akomodatif. Dua kebijakan lainnya, pedalaman pasar uang dan pengembangan ekonomi inklusif tetap mendorong pertumbuhan ekonomi," pungkasnya.

* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.