Sukses

Proyeksi Makin Gelap, OECD Turunkan Ramalan Pertumbuhan Ekonomi di Negara Maju

OECD membeberkan proyeksi ekonomi dunia yang semakin gelap imbas perang Rusia-Ukraina dan kebijakan ketat Covid-19 di China.

Liputan6.com, Jakarta - Organization for Economic Cooperation and Development (OECD) mengatakan  bahwa perang Rusia-Ukraina dan efek berkepanjangan dari pandemi Covid-19 menyeret pertumbuhan ekonomi global. 

OECD dalam perkiraan terbarunya juga memprediksi inflasi di sejumlah negara akan tetap tinggi hingga tahun depan.

"Perang, beban harga energi dan pangan yang tinggi, serta kebijakan nol Covid-19 dari China, berarti pertumbuhan akan lebih rendah, dan inflasi akan lebih tinggi dan lebih persisten," kata Sekretaris Jenderal OECD Mathias Cormann kepada wartawan di Paris, dikutip dari Associated Press, Selasa (27/9/2022).

OECD memproyeksikan pertumbuhan ekonomi dunia menjadi 3 persen tahun ini sebelum melambat lebih jauh menjadi hanya 2,2 persen tahun depan.

Guncangan inflasi dan pasokan energi membuat OECD memproyeksikan pertumbuhan ekonomi tahunan melambat menjadi sekitar 1,5 persen di Amerika Serikat tahun ini dan hanya 0,5 persen tahun depan.

Organisasi yang berbasis di Paris itu juga memperkirakan ekonomi di 19 negara ber mata uang euro akan tumbuh hanya 1,25 persen tahun ini, dengan risiko penurunan yang lebih dalam di beberapa ekonomi Eropa selamamusim dingin, dan 0,3 persen pada tahun 2023.

Hal ini mengingat kekurangan energi di Eropa setelah Rusia mengurangi pasokan gas alam ke kawasan tersebut.

Selain Eropa, OECD juga menurunkan proyeksi pertumbuhan ekonomi China menjadi 3,2 persen tahun ini. Sedangkan tahun depan, ekonomi China diperkirakan akan naik sedikit menjadi 4,7 persen.

"Situasi ekonomi yang menantang ini akan membutuhkan kebijakan yang berani, dirancang dengan baik, dan terkoordinasi dengan baik," ujar Cormann.

Seperti diketahui, perang Rusia Ukraina telah mendorong kenaikan harga pangan dan energi di seluruh dunia, dengan Rusia sebagai pemasok utama energi dan pupuk global dan kedua negara pengekspor utama biji-bijian bagi jutaan orang di seluruh dunia.

Adapun kebijakan nol-Covid-19 yang ketat di China, yang mengisolasi sebagian besar aktivitas ekonomi di negara ekonomi terbesar kedua di dunia itu.

 

* Follow Official WhatsApp Channel Liputan6.com untuk mendapatkan berita-berita terkini dengan mengklik tautan ini.

2 dari 3 halaman

Jokowi: Perang Belum Akan Selesai, 19.600 Orang Mati Kelaparan Karena Krisis Pangan

Presiden Joko Widodo atau Jokowi memberi bocoran, konflik perang yang terjadi di beberapa negara belum akan segera berakhir. Imbasnya, dunia terancam bakal dilanda krisis pangan, krisis energi hingga krisis finansial yang memanjang.

Kesimpulan itu didapat Jokowi pasca dirinya beberapa waktu lalu melawat ke Ukraina dan Rusia, untuk bertemu Presiden Ukraina Volodymyr Zelensky dan Presiden Rusia Vladimir Putin.

"Dunia saat ini pada posisi yang semua negara sulit. Lembaga-lembaga internasional menyampaikan, tahun 2022 sangat sulit. Tahun depan mereka sampaikan akan lebih gelap," kata Jokowi dalam acara pembukaan BUMN Startup Day di ICE BSD, Kabupaten Tangerang, Banten, Senin (26/9/2022).

"Saat saya bertemu dengan presiden Putin selama 2,5 jam, berdiskusi, ditambah dengan Zelensky 1,5 jam berdiskusi, saya menyimpulkan, perang tidak akan segera selesai," tegasnya.

RI 1 memprediksi, segala kesulitan yang kini tengah terjadi masih akan terus berlanjut. Bukan sekadar krisis pangan dan energi saja, namun negara dunia berpotensi terbebani kesulitan finansial.

"Itu berarti akan ada kesulitan-kesulitan yang lain. Krisis pangan, krisis energi, krisis finansial, covid yang belum pulih. Dan akibatnya kita tahu, sekarang ini saya baru saja dapat angka 19.600 orang mati kelaparan karena krisis pangan," bebernya.

Namun, Jokowi tak mau berputus asa. Menurutnya, Indonesia masih menyimpan potensi ekonomi digital yang luar biasa besar, dan itu bisa jadi asa untuk bisa menyelamatkan negara.

"Tapi saya melihat ini ada opportunity yang bisa dilakukan. Karena ekonomi digital kita tumbuh pesat, tertinggi di Asia Tenggara, melompat 8 kali lipat dari Rp 632 triliun di 2020 menjadi Rp 4.531 triliun nanti di 2030," tuturnya.

3 dari 3 halaman

Harga BBM Naik, Pertumbuhan Ekonomi RI Tetap Tinggi

Pemerintah memprediksi pertumbuhan ekonomi di kuartal III-2022 tetap kuat. Meskipun di pada September 2022 terjadi kenaikan harga Bahan Bakar Minyak (BBM) subsidi yang mengancam penurunan daya beli masyarakat.

"Ekonomi kuartal III ini kita pantau memang akan tumbuh menguat walau masih tinggi di tengah momentum pemulihan ekonomi dan harga komoditas masih volatile," kata Kepala Badan Kebijakan Fiskal, Kementerian Keuangan Febrio Kacaribu dalam Konferensi Pers APBN KiTA, Jakarta, Senin (26/9/2022).

Febrio mengatakan pertumbuhan ekonomi kuartal III tahun ini akan lebih tinggi dibandingkan tahun lalu. Sebab tahun 2021, pada periode yang sama tengah mengalami perlambatan akibat penyebaran varian delta.

"Perekonomian tahun 2021 lalu ada varian delta dan pertumbuhannya relatif rendah," kata dia.

Sehingga, kata dia meskipun terjadi kenaikan harga BBM di awal September, daya beli masyarakat tetap lebih tinggi dari tahun lalu. Hal inilah yang akan menopang pertumbuhan di awal semester II-2022.

"Ini jelas menunjukkan ke arah sana (ekonomi tumbuh positif)," kata dia.

Selain itu, pertumbuhan di kuartal III juga didorong kinerja ekspor yang terus mencatatkan peningkatan. Per Agustus lalu nilai ekspor Indonesia menjadi yang tertinggi dalam sejarah yakni USD 27,9 miliar. Angka ini mengalami kenaikan 30,15 persen (yoy) dan 35,422 persen.

"Kinerja ekspor mencapai rekor sejarh per Agustus 30 persen lebih baik secara tahunan maupun bulanan," kata dia mengakhiri.

* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.