Sukses

Bos The Fed Jerome Powell Akui Resesi Sulit Ditahan

Jerome Powell akhirnya mengakui bahwa upaya The Fed mengekang inflasi tanpa menimbulkan resesi tampaknya semakin tidak mungkin.

Liputan6.com, Jakarta - Ketua Federal Reserve Jerome Powell akhirnya mengakui prediksi banyak ekonom selama berbulan-bulan. Bahwa upaya The Fed mengekang inflasi tanpa menimbulkan resesi tampaknya semakin tidak mungkin.

Dilansir dari Associated Press, Jumat (23/9/2022) Powell dalam sebuah konferensi pers menyampaikan bahwa "Peluang soft landing cenderung berkurang" karena The Fed terus menaikkan biaya pinjaman untuk memperlambat laju inflasi terburuk dalam empat dekade.

"Tidak ada yang tahu apakah proses ini akan mengarah pada resesi atau, jika demikian, seberapa signifikan resesi itu," ungkapnya.

Sebelum pembuat kebijakan The Fed mempertimbangkan untuk menghentikan kenaikan suku bunga, Powell menjelaskan, mereka harus melihat pertumbuhan yang lambat, rendahnya angka pengangguran dan bukti yang jelas bahwa inflasi bergerak kembali ke target 2 persen.

“Kita telah melihat inflasi di belakang kita,” kata Powell.

"Saya berharap ada cara tanpa rasa sakit untuk melakukan itu. Tapi tidak ada," ucap dia.

Pernyataan Powell datang menyusul keputusah The Fed menaikkan suku bunga utamanya sebesar 0,75 poin persentase lagi, mengangkat kisaran target menjadi antara 3 persen dan 3,25 persen.

Pejabat The Fed juga memperkirakan akan ada kenaikan suku bunga acuan lagi menjadi sekitar 4,4 persen pada akhir tahun, diikuti tahun depan, menjadi sekitar 4,6 persen. Jika terjadi, kenaikan itu akan menjadi level tertinggi sejak 2007.

Adapun perkiraan The Fed lainnya bahwa pertumbuhan ekonomi AS akan tetap lemah untuk beberapa tahun ke depan, dengan angka pengangguran meningkat menjadi 4,4 persen pada akhir tahun 2023, naik dari level saat ini sebesar 3,7 persen. 

Menanggapi prediksi itu, ekonom mengatakan bahwa setiap kali angka pengangguran meningkat setengah poin selama beberapa bulan, hal itu berpotensi diikuti dengan risiko resesi.

"Jadi perkiraan (Fed) adalah pengakuan implisit bahwa resesi mungkin terjadi, kecuali sesuatu yang luar biasa terjadi," kata Roberto Perli, seorang ekonom di Piper Sandler, sebuah bank investasi.

 

* Follow Official WhatsApp Channel Liputan6.com untuk mendapatkan berita-berita terkini dengan mengklik tautan ini.

2 dari 3 halaman

Menkeu Janet Yellen Akui Resesi Bayangi Ekonomi AS

Sebelumnya, Menteri Keuangan Amerika Serikat Janet Yellen mengungkapkan bahwa AS menghadapi risiko resesi karena pertempurannya melawan inflasi dapat memperlambat ekonomi negara.

Tetapi Yellen juga menambahkan bahwa penurunan ekonomi yang serius masih dapat dihindari. 

Resesi Amerika "adalah risiko ketika The Fed memperketat kebijakan moneter untuk mengatasi inflasi", kata Yellen, dikutip dari Channel News Asia, Senin (12/9/2022). 

"Jadi itu tentu risiko yang kami pantau," tuturnya, seraya menambahkan bahwa AS memiliki pasar tenaga kerja yang kuat yang dapat dipertahankan.

Dihadapkan dengan lonjakan inflasi, yang mencapai level tertinggi dalam 40 tahun pada Juni 2022 di 9,1 persen, The Fed secara bertahap menaikkan suku bunga utamanya untuk mengurangi tekanan pada harga konsumen, serta berharap langkah tersebut tidak menurunkan ekonomi AS.

Bank komersial menggunakan suku bunga utama The Fed untuk menetapkan ketentuan suku bunga yang mereka tawarkan kepada klien individu dan korporat mereka. Tarif yang lebih tinggi mengurangi konsumsi dan investasi.

"Inflasi terlalu tinggi, dan penting bagi kita untuk menurunkannya," kata Yellen.

The Fed pun berusaha menargetkan inflasi kembali 2 persen - tanpa memunculkan resesi, sebuah langkah yang dapat menyebabkan angka pengangguran melonjak.

"Saya percaya ada jalan untuk mencapai itu," jelas Yellen. "Dalam jangka panjang, kita tidak bisa memiliki pasar tenaga kerja yang kuat tanpa inflasi terkendali," sebutnya.

"Kami tidak dalam resesi. Pasar tenaga kerja sangat kuat ... Ada hampir dua lowongan pekerjaan untuk setiap pekerja yang mencari pekerjaan," dia menekankan.

3 dari 3 halaman

Kenaikan Suku Bunga Bank Sentral Inggris Jadi Peringatan Resesi di Depan Mata

Bank of England (BoE) menaikkan suku bunga dari 1,75 persen menjadi 2,25 persen, menjadikannya level suku bunga tertinggi dalam 14 tahun. 

Bank Sentral Inggris itu pun juga memperingatkan bahwa negaranya mungkin sudah berada dalam resesi.

Dilansir dari BBC, Jumat (23/9/2022) Inggris telah melakukan kenaikan suku bunga untuk ketujuh kalinya dalam upaya menjinakkan harga pangan dan energi yang terus melonjak.

Dibutuhkan biaya pinjaman ke level tertinggi sejak 2008, ketika sistem perbankan global menghadapi keruntuhan.

BoE sekarang memprediksi ekonomi Inggris akan menyusut antara Juli dan September 2022.

Perkiraan ini datang setelah ekonomi Inggris sudah sedikit menyusut antara April dan Juni 2022, dan semakin mendorong terjadinya resesi, yang didefinisikan ketika ekonomi menyusut selama dua kuartal berturut-turut.

Namun BoE mengatakan inflasi tidak akan naik setinggi yang semula diperkirakan, dengan adanya bantuan pemerintah pada tagihan energi bagi rumah tangga serta perusahaan yang membantu membatasi kenaikan harga.

BoE sekarang memperkirakan inflasi akan mencapai puncaknya di bawah 11 persen pada bulan Oktober 2022, setelah sebelumnya memperkirakan akan menyentuh 13 persen bulan depan.

Meskipun demikian, inflasi Inggris saat ini hampir lima kali lipat dari target 2 persen Bank of England dan bahkan jika memuncak pada bulan Oktober, diperkirakan akan tetap di atas 10 persen selama beberapa bulan berikutnya sebelum mulai turun.

* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.