Sukses

Rupiah Berpotensi Loyo pada Perdagangan Selasa 13 September 2022

Rupiah diprediksi melemah pada perdagangan Selasa (13/9/2022).

Liputan6.com, Jakarta - Pada perdagangan Senin, 12 September 2022, Rupiah ditutup melemah 12 poin walaupun sempat menguat 15 poin di level Rp 14.842. Sedangkan, pada penutupan perdagangan sebelumnya Rupiah berada di posisi 14.9830.

Direktur PT Laba Forexindo Berjangka, Ibrahim Assuaibi mengatakan, Rupiah berpotensi melemah pada perdagangan Selasa, 13 September 2022.

“Mata uang rupiah kemungkinan dibuka berfluktuatif namun ditutup melemah di rentang Rp 14.830 hingga Rp 14.890,” kata Ibrahim dalam keterangan tertulis, dikutip Selasa, (13/9/2022).

Secara internal, hal ini dipengaruhi oleh pelaku pasar menilai penyesuaian harga bahan bakar minyak (BBM) adalah kebijakan yang sulit dihindari pemerintah, ketika harga minyak dunia terus berada dikisaran 100 dolar AS per barel seperti sekarang ini. Kebijakan ini adalah pil pahit yang harus kita telan untuk kesehatan fiskal negara.

Sampai saat ini, publik masih terjebak pada opini populis dalam menyikapi kenaikan harga BBM. Sebagian publik masih mengabaikan fakta objektif kondisi keuangan negara, nilai tukar rupiah, dan krisis energi global. 

“Konflik antara Rusia dan Ukraina sebenarnya telah membuat produksi dan pasokan minyak mentah dari kedua negara terhambat, sehingga terjadi kenaikan harga minyak dunia. Tak mengherankan jika harga keekonomian BBM di dalam negeri juga mengalami kenaikan,” ujar Ibrahim.

 

 

* Follow Official WhatsApp Channel Liputan6.com untuk mendapatkan berita-berita terkini dengan mengklik tautan ini.

2 dari 4 halaman

Indeks Dolar AS Melemah

Asumsi ICP di 105 dolar AS per barel maka harga keekonomian BBM jenis Pertalite mencapai Rp 14.000 per liter. Jika tidak dinaikkan dan tetap di angka Rp 7.650 per liter, maka subsidi pemerintah bisa mencapai Rp 6.350 per liter. 

Sedangkan  jumlah kuota 23 juta Kiloliter pada tahun 2022, maka jumlah yang harus disubsidi mencapai ratusan triliun rupiah. 

“Ini baru Pertalite, belum lagi BBM jenis Solar yang juga harus disubsidi pemerintah. Kalo tidak direm, anggaran subsidi yang harus dikeluarkan pemerintah bisa mencapai hampir Rp 700 triliun. Biaya sebesar itu, sudah hampir melampaui belanja infrastruktur,” lanjut dia. 

Adapun pada perdagangan Senin, Dolar AS melemah. Bank Sentral Eropa menaikkan suku bunga deposito utamanya menjadi 0,75 persen dari nol minggu lalu, kenaikan terbesar yang pernah ada, dan Presiden Christine Lagarde memandu untuk dua atau tiga kenaikan lainnya dalam upaya untuk membawa inflasi pada level rekor kembali ke target bank 2 persen.

 

3 dari 4 halaman

Sentimen The Fed

Pejabat ECB melihat risiko yang meningkat mereka harus menaikkan suku bunga utama mereka menjadi 2 persen atau lebih, setidaknya kenaikan 125 basis poin, untuk mengekang rekor inflasi tinggi di Zona Euro meskipun kemungkinan resesi.

Mata uang tunggal juga telah didorong oleh berita keuntungan teritorial substansial yang dibuat oleh pasukan Ukraina selama akhir pekan, meningkatkan potensi, betapapun kecilnya, untuk mengakhiri invasi Rusia ke Ukraina.

Di sisi lain, Federal Reserve bertemu minggu depan dan secara luas diperkirakan akan menaikkan suku bunga dengan jumlah yang substansial sekali lagi.

Gubernur Fed Christopher Waller mengatakan pada Jumat dia mendukung peningkatan yang signifikan pada pertemuan berikutnya, dan Presiden Fed St. Louis James Bullard menyerukan kenaikan lagi sebesar 75 basis poin, yang akan menjadi peningkatan ketiga dari ukuran ini berturut-turut.

4 dari 4 halaman

Rupiah Loyo 4,5 Persen dari Dolar AS, Sri Mulyani Kalem

Sebelumnya, Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati mengklaim, pelemahan nilai tukar Rupiah terhadap Dolar Amerika Serikat (USD) masih lebih baik ketimbang dibandingkan mata uang sejumlah negara berkembang lainnya.

Dia mencatat, hingga saat ini, nilai tukar Rupiah terDepresiasi 4,5 persen secara year to date (ytd) dibandingkan dengan level akhir 2021.

"Kita semua menghadapi tekanan dolar (USD) yang sangat kuat, tetapi depresiasi Indonesia sekitar 4,5 persen tahun ini, yang relatif moderat dibandingkan dengan banyak negara (berkembang) lainnya," di acara Webinar Standard Chartered, Senin, 12 September 2022.

Sri Mulyani mengatakan, capaian tersebut dipengaruhi oleh kinerja positif kinerja perdagangan yang masih melanjutkan tren surplus di tengah ketidakpastian perekonomian global akibat ketegangan geopolitik. Hal ini seiring mulai pulihnya permintaan terhadap produk ekspor Indonesia.

"Neraca perdagangan mengalami surplus selama 27 bulan," bebernya.

Oleh karena itu, dirinya optimis kinerja sektor perdagangan akan mampu menopang perekonomian Indonesia di tengah situasi perekonomian global sulit. "Jadi, kami memiliki lebih banyak ketahanan di sisi eksternal," ujar Menkeu.

* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.