Sukses

Jadi Negara Maju, Ekonomi Indonesia Harus Tumbuh 7 Persen per Tahun

Pertumbuhan ekonomi secara tahunan yang mencapai 7 persen merupakan potensi yang sebetulnya bisa dicapai Indonesia dengan memanfaatkan bonus demografi.

Liputan6.com, Jakarta Menteri Perencanaan dan Pembangunan Nasional (PPN/Kepala Bappenas) Suharso Monoarfa mengatakan, ekonomi Indonesia harus tumbuh 6 persen hingga 7 persen setiap tahun agar bisa menjadi negara maju di 2045.

“Tapi kita tumbuh di bawah itu. Kalau kita tumbuh di bawah itu terus, secara matematik, GNI (Produk Domestik Bruto/PDB) per kapita kita di 2045 mungkin di bawah USD 12 ribu dan kita akan mengikuti China mengalami middle income trap,” kata Suharso Monoarfa dikutip dari Antara, Senin (12/9/2022).

Pertumbuhan ekonomi secara tahunan yang mencapai 6 sampai 7 persen menurutnya merupakan potensi yang sebetulnya bisa dicapai Indonesia untuk memanfaatkan bonus demografi yang diperkirakan berakhir pada 2037 sampai 2040.

“Setelah itu kita akan masuk aging society dengan tingkat produktivitas yang menurun kecuali kita bisa menciptakan pekerjaan yang baik untuk masyarakat di atas usia 60 tahun. Ini harus dikejar atau kita terjebak sebagai negara berpendapatan menengah,” katanya.

Ia memperkirakan pada akhir 2022 pendapatan per kapita Indonesia akan mencapai USD 4.200 sehingga Indonesia bisa dikategorikan sebagai negara berpendapatan menengah ke atas.

Sebelum pandemi COVID-19 kategori ini sudah dapat tercapai, tapi Indonesia kembali menjadi negara berpendapatan menengah bawah pada 2020 akibat penyebaran pandemi yang menurunkan produktivitas masyarakat.

Bappenas pun terus merancang program yang mendukung Indonesia keluar dari middle income trap dengan didukung oleh koordinasi dari kementerian dan lembaga yang akan mengimplementasikan setiap perencanaan yang dibuat.

 

* Follow Official WhatsApp Channel Liputan6.com untuk mendapatkan berita-berita terkini dengan mengklik tautan ini.

2 dari 3 halaman

Indonesia Dibayangi Ancaman Stagflasi, Seberapa Mengerikan?

Indonesia mengalami tren pemulihan ekonomi yang terus berlanjut dan menghasilkan pertumbuhan 5,44 persen pada kuartal II-2022. Namun kondisi ekonomi yang sehat ini tak lantas membuat Indonesia bebas dari ancaman stagflasi.

Kondisi ini tak terlepas dari dampak krisis energi global yang sudah rembes ke sektor ekonomi riil. Terlebih baru-baru ini pemerintah menaikkan harga Bahan Bakar Minyak (BBM).

"Tentunya kondisi ini menjadi momok sehingga kita melihat adanya tekanan stagflasi," kata Direktur Eksekutif Kepala Departemen Kebijakan Ekonomi dan Makro, Bank Indonesia," kata Solikin dalam Sarasehan 100 Ekonom Indonesia 2022: Normalisasi Kebijakan Menuju Pemulihan Ekonomi Indonesia di Menara Bank Mega, Jakarta, Rabu (7/9).

Inflasi yang tinggi juga disebabkan respon dari suku bunga yang tinggi. Sehingga akan menekan pertumbuhan dan berbuah pada stagflasi yang akan terus mengemuka.

Ancaman stagflasi ini akan berdampak pada Indonesia melalui tiga hal. Antara lain pelemahan ekspor, kenaikan harga komoditas dan gan yang memicu respon kebijakan dari negara maju.

Di sisi lain neraca pembayaran Indonesia masih sangat bagus karena tekanan nilai tukar yang dikelola lebih baik. Meskipun rupiah mengalami Depresiasi tetapi jauh lebih baik dibandingkan negara lain.

Hanya saja, yang menjadi masalah saat ini inflasi yang disebabkan gangguan rantai pasok. Terlebih saat ini aktivitas masyarakat mengalami peningkatan.

"Apalagi di tengah mobilitas masyarakat yang mulai meningkat," kata dia.

Untuk itu kata dia, strategi kebijakan moneter Bank Indonesia akan mendukung stabilitas nilai rupiah pada sisi inflasi maupun tekanan dari eksternal tadi. Caranya dengan tetap mengelola atau mendorong momentum pemulihan ekonomi yang sedang berlangsung.

 

3 dari 3 halaman

Waspada! Ekonomi Global Menuju Stagflasi

Gubernur Bank Indonesia (BI) Perry Warjiyo menggambarkan seberapa buruknya kondisi perekonomian global di tahun ini. Perry menyebut, ekonomi global saat ini menuju fase stagflasi.

Stagflasi sendiri ditandai dengan pertumbuhan ekonomi yang lambat, statis disertai dengan kenaikan harga (inflasi).

"Perlu saya sampaikan, ekonomi dunia sedang menurun menuju stagflasi, atau resesi di berbagai negara," kata Perry dalam Kick Off Gerakan Nasional Pengendalian Inflasi Pangan melalui Youtube Bank Indonesia, Jakarta, (10/8).

Perry mengungkapkan, kondisi buruk tersebut diakibatkan oleh sejumlah faktor hebat. Pertama, pandemi Covid-19 yang tak kunjung selesai hingga menganggu supply chain atau rantai pasok.

Kedua, konflik Rusia dan Ukraina yang turut menyumbang kenaikan inflasi akibat tepangkasnya distribusi energi hingga pangan. Mengingat, kedua negara tersebut menyumbang 20 persen kebutuhan energi dan pangan global.

"Itulah kenapa harga pangan global naik tinggi. Harga energi naik tinggi. Sekarang minyak USD 101 per barel," ucapnya.

Menyikapi situasi tersebut, Bank Indonesia terus berupaya menahan laju inflasi di Indonesia yang sudah mencapai 4,94 persen secara tahunan (year on year/yoy) hingga Juli 2022. Antara lain dengan meningkatkan kolaborasi bersama Tim Pengendalian Inflasi Daerah (TPID) dalam upaya menekan laju inflasi pangan melalui operasi pasar hingga program Gerakan Nasional Pengendalian Inflasi Pangan.

"Itulah kenapa Gerakan Nasional Pengendalian Inflasi Pangan sangat penting, agar Indonesia terus melaju mengembangkan ekonomi menunu Indonesia maju, dan harga-harga pangan terkendali dan rakyak sejahtera," tutupnya. 

* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.