Sukses

Harga BBM Naik, Tarif Ongkir Paket Makin Mahal?

Sejumlah perusahaan jasa ekspedisi belum berencana untuk melakukan penyesuaian jasa tarif atau ongkos kirim (ongkir) pengiriman meski harga BBM naik.

Liputan6.com, Jakarta Sejumlah perusahaan jasa ekspedisi belum berencana untuk melakukan penyesuaian jasa tarif atau ongkos kirim (ongkir) pengiriman meski harga BBM atau bahan bakar minyak mengalami kenaikan sejak Sabtu (3/9). Salah satunya yaitu PT Tiki Jalur Nugraha Ekakurir (JNE).

"Sampai saat ini kami belum ada rencana untuk menaikan biaya pengiriman, sehingga belum ada hitungan kenaikan tarif pengiriman dan belum diketahui besaran jumlah persentase kenaikannya," kata VP of Marketing JNE Eri Palgunadi kepada Merdeka.com di Jakarta, Jumat (9/9).

Eri mengatakan, perusahaan memilih cara lain untuk menjaga kesehatan operasional perusahaan meski harga BBM naik. Yakni melakukan pengembangan dalam strategi distribusi yaitu mengoptimalkan penggunaan semua moda transportasi, baik udara, darat dan laut, sehingga tetap mempertahankan kualitas pelayanan dengan biaya kirim yang kompetitif.

"Seperti yang sudah berjalan  saat ini kolaborasi dengan WMS (Westbike Messenger Service) di beberapa kota seperti Jakarta, Bandung, Bogor, Medan, Lampung, Surabaya dan kota lainnya, serta pemanfaatan HUB atau titik-titik distrubusi untuk efektifitas pengiriman ke pelanggan," bebernya.

Selain JNE, PT Global Jet Express (J&T Express) juga belum berencana untuk menaikkan tarif jasa pengiriman meski BBM mahal. Hal ini disampaikan langsung oleh Humas J&T Express, Diego Prayoga.

"Dari J&T memang sejauh ini belum ada rencana kenaikan tarif ongkos kirim," ungkapnya kepada Merdeka.com.

Oleh karena itu, perusahaan memastikan ongkir pengiriman saat ini masih belum mengalami penyesuaian. Akan tetapi, pihaknya tidak membocorkan strategi  untuk menjaga kesehatan keuangan perusahaan di tengah kenaikan harga BBM subsidi.

"Jadi, (ongkos pengiriman) masih sesuai dengan operasional saat ini," tandasnya.

 

* Follow Official WhatsApp Channel Liputan6.com untuk mendapatkan berita-berita terkini dengan mengklik tautan ini.

2 dari 4 halaman

Harga BBM Resmi Naik

Sebelumnya, Presiden Joko Widodo atau Jokowi akhirnya menaikkan harga bahan bakar minyak (BBM) bersubsidi. Harga BBM jenis Pertalite naik menjadi Rp10.000 per liter dari sebelumnya Rp7.650 per liter.

Harga solar naik dari Rp5.150 per liter menjadi Rp6.800 per liter. Kemudian harga Pertamax naik dari Rp12.500 menjadi Rp14.500 per liter.

Presiden Jokowi mengaku, keputusan penyesuaian harga BBM bersubsidi adalah hal yang berat. Namun menurut dia apa daya, saat ini kondisi Anggaran Pendapatan Belanja Negara (APBN) dirasa sudah tidak lagi mampu menanggung hal tersebut.

"Pemerintah telah berupaya sekuat tenaga untuk melindungi rakyat dari gejolak harga minyak dunia. Saya sebetulnya ingin harga BBM di dalam negeri tetap terjangkau dari subsidi APBN," kata Jokowi dalam konferensi pers, Sabtu (3/9).

"Ini adalah pilihan terakhir pemerintah, yaitu mengalihkan subsidi BBM sehingga harga beberapa jenis BBM yang selama ini mendapat subsidi akan mengalami penyesuaian, dan sebagian subsidi BBM akan dialihkan untuk bantuan yang lebih tepat sasaran," sambung Jokowi mengakhiri.

 

3 dari 4 halaman

Harga BBM Naik Bikin Daya Beli Masyarakat Turun

Kenaikan harga BBM bersubsidi oleh pemerintah dikhawatirkan bakal turut mendorong lonjakan harga-harga di pasar tradisional. Dengan daya beli masyarakat yang masih belum pulih, omzet para pedagang juga diprediksi bisa terganggu.

Sekretaris Jenderal Asosiasi Pedagang Pasar Seluruh Indonesia (APPSI) Mujiburrohman mengungkapkan perekonomian masih belum sepenuhnya bangkit dari keterpurukan.

“Barang pokok mengalami kenaikan yang disebabkan pelemahan nilai tukar rupiah, kenaikan BBM, dan lain-lain yang berimbas pada harga bahan pokok,” kata Mujiburrohman, Kamis (8/9/2022).

Akibat kenaikan harga bahan pokok yang tidak terkendali itu, masyarakat juga turut mengurangi pembelian terhadap beberapa barang konsumsi lain yang non-pokok baik makanan maupun minuman. Salah satu produk yang mengalami penurunan omzet adalah penjualan rokok.

Menurut Mujiburrohman, sebelum pandemi keuntungan dari penjualan rokok biasanya mencapai 10 persen, namun kini turun menjadi 6-7 persen.

Selain daya beli masyarakat yang melemah, hal ini juga disebabkan oleh kenaikan harga rokok yang tinggi akibat peningkatan tarif cukai dalam beberapa tahun terakhir.

Ia pun meminta pemerintah untuk mengkaji ulang rencana kenaikan cukai rokok pada tahun depan. “Kalau cukai rokok naik, maka harga rokok juga naik. Ini menyusahkan pedagang pasar, pedagang asongan, bahkan petani tembakau dan buruh rokok yang menggantungkan nasibnya pada barang ini. Harapan kami cukai tidak naik tahun depan” tegasnya.

4 dari 4 halaman

Picu Inflasi

Pengamat Ekonomi Energi Universitas Gadjah Mada Fahmy Radhi menilai kenaikan harga BBM bersubsidi di tahun ini karena akan memicu lonjakan inflasi hingga menjadi 7,2 persen.

Sampai Juli 2022, Badan Pusat Statistik mencatat inflasi tahunan Indonesia sudah menyentuh 4,94 persen yang terutama didorong oleh lonjakan harga-harga kebutuhan pokok di pasar.

Adapun kelompok bahan makanan, minuman, dan tembakau sampai Juli menyumbang inflasi terbesar yaitu sebanyak 9,35 persen. Kenaikan harga komoditas ini akan memicu inflasi lebih lanjut apabila kenaikan terus dibiarkan terjadi.

* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.