Sukses

YLKI: Harga BBM Boleh Naik, Asal Jangan Harga Bahan Pangan

Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI) menyatakan kebijakan menaikkan harga BBM bak buah simalakama.

Liputan6.com, Jakarta Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI) menyatakan kebijakan menaikkan harga BBM bak buah simalakama.

Ketua Pengurus Harian YLKI Tulus Abadi menyadari, bila itu tidak didongkrak, maka APBN bakal makin berdarah-darah dan akan mengorbankan sektor lain.

"Jika dinaikkan, potensi efek dominonya sangat besar, berpotensi memukul daya beli masyarakat konsumen yang ditandai dengan tingginya inflasi," kata Tulus kepada Liputan6.com, Selasa (6/9/2022).

Senada, pengurus harian YLKI Agus Suyatno memberi beberapa catatan kepada pemerintah terkait kenaikan harga BBM jenis Pertalite, Pertamax, dan Solar.

Di tengah kenaikan tersebut, Agus menyatakan pemerintah harus menjamin rantai pasok komoditas pangan tidak terdampak secara signifikan. Sementara jalur-jalur distribusi harus lebih sederhana dan lancar.

"Agar tidak jadi kedok menaikkan harga bahan pangan. Jangan jadikan kenaikan BBM sebagai aji mumpung menaikkan komoditas pangan dan lainnya tanpa kendali," tegas Agus kepada Liputan6.com.

Lebih lanjut, ia juga mewajibkan pemerintah pusat dan daerah agar tetap memberikan subsidi pada angkutan umum, atau insentif lainnya. Sehingga kalau pun tarif angkutan umum mengalami kenaikan paska kenaikan harga BBM, tidak terlalu tinggi.

"Tingginya kenaikan angkutan umum, justru akan kontraproduktif bagi nasib angkutan umum itu sendiri. Sebab, akan ditinggalkan konsumen dan berpindah ke sepeda motor," ungkapnya.

 

* Follow Official WhatsApp Channel Liputan6.com untuk mendapatkan berita-berita terkini dengan mengklik tautan ini.

2 dari 3 halaman

Reformasi Subsidi BBM

Agus menilai, kenaikan harga BBM harus diikuti upaya mereformasi pengalokasian subsidi BBM. Artinya, penerima subsidi BBM benar benar pada masyarakat yang berhak, by name by address.

"Menurut kajian Bank Dunia, 70 persen subsidi BBM tidak tepat sasaran, karena dinikmati kelompok menengah ke atas. Fenomena ini tidak boleh dibiarkan," kecam dia.

Di sisi lain, pemerintah harus punya skenario terkait harga minyak mentah dunia. Misal, dengan menyiapkan dana tabung minyak atau oil fund.

"Dengan dana ini, jika harga minyak mentah sedang turun, maka selisihnya bisa disimpan. Jika harga minyak mentah sedang naik, maka tidak serta merta harga BBM di dalam negeri harus naik," teramg dia.

"Pemerintah harus melakukan skala prioritas dalam pengalokasian dana APBN. Dengan demikian keseimbangan dana APBN tidak mengalami bleeding," pungkas Agus.

3 dari 3 halaman

Harga BBM di Indonesia Naik, tapi Masih Termasuk yang Termurah di ASEAN

Pemerintah resmi menaikkan harga BBM. Kenaikan harga ini tidak hanya terjadi untuk BBM bersubsidi yaitu Pertalite dan solar, tetapi juga harga BBM nonsubsidi yaitu Pertamax.

Sejak 3 September 2022, harga BBM Pertalite naik dari Rp 7.600 per liter menjadi Rp 10.000 per liter. Kemudian harga Solar subsidi naik dari Rp 5.150 per liter menjadi Rp 6.800 per liter. Harga BBM Pertamax naik dari Rp 12.500 per liter menjadi Rp 14.500 per liter.

Meski terjadi kenaikan, Direktur Eksekutif Energy Watch Mamit Setiawan menyebut, harga BBM subsidi di Indonesia masih cukup murah dibandingkan negara tetangga di ASEAN lainnya. 

"Kalau kita bandingkan dengan negara-negara di ASEAN misalnya, Malaysia, memang masih lebih murah, karena mereka memberikan subsidi yang besar juga. Tapi kalau kita bandingkan dengan (negara) tetangga kita lainnya yaitu Vietnam, harga BBM di sana paling murah Rp 14.000, dan di Thailand juga mulai Rp 15.000," kata Mamit kepada Liputan6.com, Senin (5/9/2022). 

Jadi sebenarnya kita masih jauh lebih murah dengan harga saat ini meskipun sudah di angka Rp 10 ribu. Karena ada subsidi yang ditanggung pemerintah," lanjutnya. 

Kenaikan harga BBM subsidi memang sudah harus dilakukan. Hal itu dikarenakan BBM subsidi tidak tepat sasaran, di mana 80 persen penggunanya adalah masyarakat mampu. 

"Sedangkan kalau kita mengacu pada UUD energi, disampaikan bahwa BBM subsidi itu seharusnya diakses masyarakat miskin atau kurang mampu, dengan demikian karena tidak tepat sasaran, maka harus dilakukan perubahan atau penyesuaian," jelas Mamit.

"Kedua, subsidi dan beban kompensasi yang ditanggung Pemerintah saat ini jumlahnya juga sangat besar sekali. Subsidi dan kompensasi energi tahun ini bisa mencapai di angka Rp 502,4 triliun di mana itu sudah memberatkan keuangan negara. Menurut saya, dengan jumlah yang begitu besar, jumlah ini menjadi mubazir," tambahnya.

Menurut Mamit, karena subsidi yang tak tepat sasaran, Pemerintah kedepannya bisa menggunakan dana bantuan untuk hal produktif lainnya, misalnya peningkatan sumber daya manusia, infrastruktur, atau kepada masyarakat yang terdampak penyesuaian harga, juga bisa untuk pembangunan sekolah, rumah sakit, hingga nelayan dan petani. 

"Saya kira sejauh ini, pemberlakukan harga BBM kita sudah cukup bagus. Hanya pola subsidinya yang perlu diubah, dari berbasis barang menjadi berbasis orang," ujarnya. 

* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.