Sukses

Awas, Indonesia Bisa jadi Negara Paling Terdampak Perubahan Iklim Global

Indonesia menjadi salah satu negara yang rentan terhadap dampak perubahan iklim. Ancaman berasal dari emisi gas rumah kaca dan kenaikan suhu ini berakibat pada kenaikan permukaan air laut.

Liputan6.com, Jakarta Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati menyebut Indonesia menjadi salah satu negara yang rentan terhadap dampak perubahan iklim. Ancaman berasal dari emisi gas rumah kaca dan kenaikan suhu ini berakibat pada kenaikan permukaan air laut.

“Menurut sebuah penelitian, Indonesia akan terkena dampak sebesar 0,66 persen hingga 3,45 persen dari PDB (produk domestik bruto) kita pada tahun 2030 karena perubahan iklim,” Sri Mulyani dalam acara B20-G20 Dialogue: Energy, Sustainability, and Climate Task Force dikutip di Jakarta, Rabu (31/8).

Maka Indonesia dengan negara-negara dunia bersama-sama merancang kebijakan pembangunan yang tepat untuk mengatasi perubahan iklim. Salah satu urgensi yang sangat penting adalah mempercepat dan merancang transisi menuju sumber energi yang bersih, bersih, dan juga lebih hijau.

“Ini juga sangat penting karena energi merupaemiskan sumber emisi karbon yang paling penting, sekaligus yang paling mahal dalam mengatasi masalah ini,” ujar Ani, sapaannya.

Bendahara Negara ini mengungkapkan sekarang anggaran pemerintah untuk penanganan perubahan iklim hanya dapat menutupi 34 persen dari total kebutuhan sebesar Rp 3.461 triliun atau sekitar Rp 266 triliun per tahun. Namun faktanya lima tahun terakhir, rata-rata belanja iklim sebesar Rp 89,6 triliun atau 3,9 persen dari alokasi APBN per tahun.

“Dengan situasi itu, jelas kebutuhan keuangan berkelanjutan tidak bisa hanya mengandalkan anggaran pemerintah. Sangat penting bagi kami untuk dapat merancang cara investasi baru agar kami dapat mencapai tujuan ambisius tentang perubahan iklim yang juga akan mengancam kemakmuran dan penghidupan masyarakat,” tuturnya

Sehingga, perubahan iklim dan transisi energi menjadi salah satu isu terpenting yang diangkat dalam Presidensi G20 Indonesia. Dia menyampaikan Indonesia menempatkan perubahan iklim dan keuangan berkelanjutan sebagai salah satu prioritas terpenting di jalur keuangan.

 

* Follow Official WhatsApp Channel Liputan6.com untuk mendapatkan berita-berita terkini dengan mengklik tautan ini.

2 dari 4 halaman

Kerangka Kerja Global

Tujuannya untuk menciptakan kerangka kerja global dan menerapkan transisi energi. Termasuk untuk menciptakan transisi energi dengan cara yang berkelanjutan, adil, dan terjangkau.

"Karena masing-masing perekonomian sebenarnya memiliki keterjangkauan dan kemampuan yang berbeda dalam menghadapi perubahan iklim ini,” kata dia.

Di sisi lain, Indonesia telah meluncurkan Energy Transition Mechanism (ETM) Country Platform. Platform tersebut diluncurkan agar Indonesia dapat membuat kerangka kerja untuk menyediakan semua pembiayaan yang diperlukan dan memungkinkan untuk mempercepat transisi energi nasional.

“Ini benar-benar merupakan blended finance framework dengan tujuan untuk memobilisasi, baik sumber pendanaan komersial maupun non-komersial secara berkelanjutan dan akuntabel, serta transparan,” pungkasnya.

 

Reporter: Anisyah Al Faqir

Sumber: Merdeka.com

3 dari 4 halaman

Risiko Perubahan Iklim ke Pertumbuhan Ekonomi Lebih Besar Dibanding Covid-19

Perusahaan reasuransi yang berbasis di Zurich Swiss, yakni Swiss Re, mengungkapkan bahwa perubahan iklim menimbulkan risiko yang lebih besar bagi pertumbuhan ekonomi global secara jangka panjang daripada pandemi Covid-19.

Dunia baru saja melihat bulan terpanas terpanas ketiga dalam catatan pada Juni 2022, dengan suhu rata-rata 0,32 derajat Celcius lebih tinggi dari rata-rata untuk bulan itu dalam tiga dekade hingga 2020, menurut Europe’Copernicus Climate Change Service.

Swiss Re, yang juga merupakan salah satu perusahaan reasuransi terbesar di dunia, memperkirakan kerugian ekonomi yang disebabkan oleh bencana alam di seluruh dunia tahun lalu mencapai USD 270 miliar atau setara Rp 4 kuadriliun, dimana sepertiganya disebabkan oleh banjir.

Hanya seperempat dari kerugian akibat banjir yang ditanggung oleh asuransi.

"Meskipun pandemi Covid-19 berdampak luas, perubahan iklim tetap menjadi ancaman jangka panjang terbesar bagi ekonomi global," kata Swiss Re dalam sebuah komentar tertulis, dikutip dari South China Morning Post, Selasa (19/7/2022).

"Dan efek dari perubahan iklim sudah bermanifestasi dalam bahaya kedua, seperti banjir bandang, kekeringan, dan kebakaran hutan," jelas perusahaan reasuransi itu.

Saat gelombang panas melanda sekitar Spanyol hingga Italia, benua Eropa mengalami bulan terpanas kedua yang tercatat sekitar 1,6 derajat di atas rata-rata pada Juni 2022.

Kantor Meteorologi Inggris juga sempat mengeluarkan peringatan pertamanya untuk cuaca panas yang luar biasa, memperkirakan suhu bisa melebihi 40 derajat di beberapa wilayah negara itu awal minggu depan, yang akan melampaui rekor 38,7 derajat pada 2019.

"Kekeringan mungkin juga terjadi selama tiga bulan ke depan di sebagian besar Eropa," ungkap Deutscher Wetterdienst, layanan meteorologi Jerman, pada 6 Juli lalu.

"Dalam jangka panjang, tergantung pada tingkat pemanasan global di masa depan, curah hujan di wilayah Mediterania akan berkurang (dan) di musim panas, ada risiko kekeringan menyebar ke Eropa tengah dan terutama di barat," lanjutnya.

4 dari 4 halaman

China Hadapi Gelombang Panas Terbesar hingga Australia Merugi Rp 79,1 T Akibat Banjir

Di China, selama 42 hari pertama musim panas hingga 12 Juli, negara itu mengalami 5,3 hari gelombang panas, menurut data dari Pusat Iklim Nasional China.

Gelombang panas di China telah berlangsung selama lebih dari 30 hari, mempengaruhi lebih dari setengah wilayah negara itu dan hampir dua pertiga dari populasinya.

"Saya tidak keluar hari ini karena suhunya melelebihi 40 derajat setiap hari," kata Minny Wu, seorang warga yang pulang dari Shenzhen ke kampung halamannya Chongqing untuk merawat ayahnya yang menderita kanker.

Adapun Hong Kong, yang melihat musim panas yang luar biasa panjang sejak 8 Juli 2022, dengan suhu tertinggi harian 33 hingga 35 derajat.

Gelombang panas ini diperkirakan akan berlangsung hingga setidaknya 25 Juli mendatang.

Di Australia timur, kerugian yang diasuransikan akibat banjir awal tahun ini mencapai USD 4,8 miliar atau setara Rp 71,9 triliun, menjadikannya peristiwa cuaca termahal ketiga di negara itu, menurut Dewan Asuransi Australia.

* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.