Sukses

Redam Inflasi, Jokowi Perintahkan Kepala Daerah Pakai Anggaran Tak Terduga

Jokowi menceritakan hasil kunjungannya ke Merauke beberapa waktu lalu. Di sana, ia mendapati stok beras melimpah dengan harga relatif murah, di kisaran Rp 6.000 per kg.

Liputan6.com, Jakarta - Presiden Joko Widodo (Jokowi) tak ingin laju inflasi terus meroket seperti dialami banyak negara dunia. Oleh karenanya, ia meminta segenap kepala daerah merogoh uang simpanan untuk menutup kenaikan dan disparitas harga komoditas di berbagai wilayah Tanah Air.

Dalam hal ini, Jokowi telah mengarahkan Menteri Dalam Negeri Tito Karnavian agar anggaran tak terduga bisa dimanfaatkan tiap kepala daerah, untuk menutup biaya transportasi bagi komoditas pokok yang jadi konsumsi masyarakat.

"Saya sudah perintahkan kepada Menteri Dalam Negeri untuk mengeluarkan, entah surat keputusan entah surat edaran, yang menyatakan bahwa anggaran tidak terduga bisa digunakan untuk menyelesaikan inflasi di daerah. Gunakan untuk menutup biaya transport, biaya distribusi," ungkapnya, Kamis (18/8/2022).

Untuk praktiknya, RI 1 lantas mendorong seluruh gubernur, bupati dan walikota untuk betul-betul mau bekerjasama dengan tim tim pengendalian inflasi pusat (TPIP) dan daerah (TPID).

"Tanyakan, di daerah kita apa yang harganya naik yang menyebabkan inflasi. Bisa saja beras, bisa. Bisa saja bawang merah, cabai, dicek. Tim pengendali pusat cek, daerah mana yang punya pasokan cabai atau beras yang melimpah, ini harus disambungkan," desaknya.

Sebagai contoh, Jokowi menceritakan hasil kunjungannya ke Merauke beberapa waktu lalu. Di sana, ia mendapati stok beras melimpah dengan harga relatif murah, di kisaran Rp 6.000 per kg.

"Ada daerah lain yang kekurangan beras, kenapa enggak ngambil ke Merauke yang harganya masih murah. Problemnya transportasi mahal," ujar Jokowi.

Hal itu perlu dilakukan, lantaran ia tak ingin Indonesia harus berhadapan dengan momok inflasi meroket seperti dirasakan banyak negara dunia saat ini. Oleh karenanya, ia meminta TPIP dan TPID mengerti barang-barang mana saja yang potensi jadi masalah untuk laju inflasi.

"Coba lihat sekarang, inflasi kita sekarang di angka 4,94 persen. Lihat negara-negara lain, tinggi banget, di atas 5 persen. Ada yang sudah di angka 79 persen. Uni Eropa sudah 8,9 persen, Amerika sudah 9,1 persen kemarin turun 8,5 persen, bukan sesuatu yang mudah. Ini jadi momok semua negara," tegas Jokowi.

* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.

* Follow Official WhatsApp Channel Liputan6.com untuk mendapatkan berita-berita terkini dengan mengklik tautan ini.

2 dari 3 halaman

Awas, Inflasi Bisa Meroket di Akhir 2022

Gubernur Bank Indonesia (BI) Perry Warjiyo mengemukakan, tekanan inflasi diprediksi masih akan tetap tinggi hingga akhir 2022 ini. Itu disebabkan oleh bermacam indikator yang tak dapat dihindari.

"Inflasi IHK (indeks harga konsumen) 2022 kami perkirakan akan lebih tinggi dari batas atas sasaran 3 persen plus minus 1 persen. Prakiraan ini terutama disebabkan oleh masih tingginya harga pangan dan energi global, gangguan cuaca, serta kesenjangan pasokan antar waktu dan antar daerah," jelasnya saat Rakornas Pengendalian Inflasi 2022 bersama Presiden Joko Widodo (Jokowi), Kamis (18/8/2022).

"Inflasi pada 2022 juga berisiko untuk melebihi sasaran 3 persen plus minus 1 persen. Di samping masih tingginya harga pangan dan energi global, kenaikan permintaan juga kemungkinan akan mendorong tekanan inflasi dari sisi permintaan untuk ke depannya," bebernya.

Lebih lanjut, Perry pun melaporkan beberapa hal terkait perkembangan prospek inflasi serta kebijakan pengendalian inflasi yang ditempuh. Pertama, inflasi Juli 2022 yang mencapai 4,94 persen. Dia menilai masih lebih rendah dari negara lain, tapi melebihi dari batas atas sasaran 3 persen plus minus 1 persen.

"Terutama disebabkan oleh tingginya inflasi kelompok pangan bergejolak yang mencapai 11,47 persen, mustinya tidak lebih dari 5 persen atau maksimal 6 persen," ujar dia.

* BACA BERITA TERKINI LAINNYA DI GOOGLE NEWS

3 dari 3 halaman

Kenaikan Harga Komoditas

Menurutnya, tekanan terutama bersumber dari kenaikan harga komoditas global akibat berlanjutnya ketegangan geopolitik di sejumlah negara yang menganggu mata rantai pasokan, dan juga mendorong sejumlah negara melakukan kebijakan proteksionisme pangan.

"Di dalam negeri, terjadi gangguan di sejumlah sentra produksi holtikultura, termasuk aneka cabai dan bawang merah akibat permasalahan struktural di sektor pertanian, cuaca, demikian juga ketersediaan antar waktu dan antar daerah," imbuhnya.

Kenaikan energi global juga telah mendorong kenaikan inflasi kelompok barang yang diatur pemerintah (administered price), termasuk tarif angkutan udara. Namun, Perry mengatakan, tekanan dapat ditahan sejalan dengan kebijakan pemerintah untuk meningkatkan subsidi energi.

"Sementara tekanan inflasi dari sisi permintaan (inflasi inti) masih tetap rendah. Ini menunjukan sebenarnya daya beli masyarakat belum sepenuhnya pulih meskipun sudah meningkat. Sementara ekspektasi inflasi juga terjaga," pungkas dia.

 

* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.