Sukses

Awas, Inflasi Bisa Meroket di Akhir 2022

Gubernur Bank Indonesia (BI) Perry Warjiyo mengemukakan, tekanan inflasi diprediksi masih akan tetap tinggi hingga akhir 2022 ini.

Liputan6.com, Jakarta Gubernur Bank Indonesia (BI) Perry Warjiyo mengemukakan, tekanan inflasi diprediksi masih akan tetap tinggi hingga akhir 2022 ini. Itu disebabkan oleh bermacam indikator yang tak dapat dihindari.

"Inflasi IHK (indeks harga konsumen) 2022 kami perkirakan akan lebih tinggi dari batas atas sasaran 3 persen plus minus 1 persen. Prakiraan ini terutama disebabkan oleh masih tingginya harga pangan dan energi global, gangguan cuaca, serta kesenjangan pasokan antar waktu dan antar daerah," jelasnya saat Rakornas Pengendalian Inflasi 2022 bersama Presiden Joko Widodo (Jokowi), Kamis (18/8/2022).

"Inflasi pada 2022 juga berisiko untuk melebihi sasaran 3 persen plus minus 1 persen. Di samping masih tingginya harga pangan dan energi global, kenaikan permintaan juga kemungkinan akan mendorong tekanan inflasi dari sisi permintaan untuk ke depannya," bebernya.

Lebih lanjut, Perry pun melaporkan beberapa hal terkait perkembangan prospek inflasi serta kebijakan pengendalian inflasi yang ditempuh. Pertama, inflasi Juli 2022 yang mencapai 4,94 persen. Dia menilai masih lebih rendah dari negara lain, tapi melebihi dari batas atas sasaran 3 persen plus minus 1 persen.

"Terutama disebabkan oleh tingginya inflasi kelompok pangan bergejolak yang mencapai 11,47 persen, mustinya tidak lebih dari 5 persen atau maksimal 6 persen," ujar dia.

 

 

* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.

* Follow Official WhatsApp Channel Liputan6.com untuk mendapatkan berita-berita terkini dengan mengklik tautan ini.

2 dari 4 halaman

Kenaikan Harga Komoditas

Menurutnya, tekanan terutama bersumber dari kenaikan harga komoditas global akibat berlanjutnya ketegangan geopolitik di sejumlah negara yang menganggu mata rantai pasokan, dan juga mendorong sejumlah negara melakukan kebijakan proteksionisme pangan.

"Di dalam negeri, terjadi gangguan di sejumlah sentra produksi holtikultura, termasuk aneka cabai dan bawang merah akibat permasalahan struktural di sektor pertanian, cuaca, demikian juga ketersediaan antar waktu dan antar daerah," imbuhnya.

Kenaikan energi global juga telah mendorong kenaikan inflasi kelompok barang yang diatur pemerintah (administered price), termasuk tarif angkutan udara. Namun, Perry mengatakan, tekanan dapat ditahan sejalan dengan kebijakan pemerintah untuk meningkatkan subsidi energi.

"Sementara tekanan inflasi dari sisi permintaan (inflasi inti) masih tetap rendah. Ini menunjukan sebenarnya daya beli masyarakat belum sepenuhnya pulih meskipun sudah meningkat. Sementara ekspektasi inflasi juga terjaga," pungkas dia.

 

 

* BACA BERITA TERKINI LAINNYA DI GOOGLE NEWS

3 dari 4 halaman

DPR: Jika Pemerintah Naikkan Harga BBM, Target Inflasi Tak Tercapai

Komisi VII DPR RI angkat suara terkait pemangkasan subsidi energi dan kompensasi untuk tahun depan. Di mana nilai yang dikucurkan menciut jadi Rp 336,7 triliun dibanding subsidi tahun ini sebesar Rp 502 triliun.

Anggota Komisi VII DPR RI, Mulyanto mengatakan, komisi VII akan bertemu dengan menteri terkait untuk membahas perhitungan yang menjadi dasar pengurangan subsidi energi. Misalnya, apakah pemangkasan memperhitungkan pergerakan harga energi yang disubsidi pada masa mendatang.

Menurut Mulyanto, mustahil target inflasi pemerintah sebesar 3,3 persen pada 2023 dapat dicapai dengan cara menaikan harga BBM bersubsidi, seperti pertalite dan solar. Ia menilai, harga BBM bersubsidi memiliki pengaruh kuat dan efek berantai pada kenaikan harga-harga barang dan jasa lainnya secara luas.

“Kalau pemerintah nekad ingin menaikan harga BBM, LPG, atau listrik bersubsidi, maka bukan hanya target inflasi tidak tercapai, tetapi juga akan terjadi kenaikan tingkat inflasi,” kata dia kepada Liputan6.com, ditulis Rabu (17/8/2022).

Menurut laporan BPS, kenaikan harga BBM dan LPG non subsidi rupanya memiliki andil yang signifikan bagi kenaikan tingkat inflasi Juli 2022 lalu. Di mana inflasi tahunan di bulan Juli 2022 sudah mencapai 4,94 persen, rekor inflasi tertinggi sejak Oktober 2015.

“Bagaimana mungkin kita menurunkan tingkat inflasi ini menjadi 3,3 persen di tahun 2023 kalau pemerintah masih punya niat untuk menaikan harga BBM bersubsidi,” tanya Mulyanto.

4 dari 4 halaman

DPR Usul Pemerintah Berhemat

Ketimbang memangkas subsidi, Mulyanto mengatakan lebih baik pemerintah menghemat dengan menyetop proyek-proyek yang dinilai tidak mendesak seperti proyek Ibu Kota Negara baru atau Kereta Api Cepat Jakarta-Bandung.

Ditambah APBN yang surplus Rp 106 triliun pada semester I 2022 dan neraca perdagangan selama 27 bulan berturut-turut surplus sebesar Rp 364 triliun. Sehingga bantalan untuk subsidi BBM bisa makin tebal.

Senada, Anggota Komisi VII DPR RI Kardaya Warnika menilai, kebijakan itu perlu dikaji ulang karena akan berdampak pada daya beli masyarakat.

Sebagai gambaran, jika harga minyak turun, maka pengurangan subsidi mungkin tak terasa signifikan dengan asumsi harga jual ikut turun.

Namun, dengan asumsi harga minyak sama seperti saat ini dan subsidi dikurangi, maka harga jual BBM akan naik. Lebih lanjut, bisa dibayangkan jika harga minyak naik, maka harga jual BBM di dalam negeri juga akan semakin tinggi.

“Kalau subsidi BBM turun, akibatnya harga BBM naik. Kalau rakyat tidak mampu membeli, pemerintah harus mengoreksi lagi karne harga yang lain akan ikut naik,” kata dia kepada Liputan6.com.

* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.