Sukses

Sri Mulyani: AS hingga Eropa Dilanda Tsunami Inflasi

Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati memberikan diagnosis terkait tsunami inflasi yang melanda Amerika Serikat hingga negara-negara maju di kawasan Benua Eropa

Liputan6.com, Jakarta Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati memberikan diagnosis terkait tsunami inflasi yang melanda Amerika Serikat hingga negara-negara maju di kawasan Benua Eropa dalam beberapa waktu terakhir.

Bendahara Negara ini mengatakan, faktor pertama penyabab kencangnya laju inflasi yang melanda Amerika Serikat dan sejumlah negara maju di Eropa ialah gangguan rantai pasok (supply chain disrupstion) akibat pandemi Covid-19.

"Kalau kita lihat fenomena sekarang apa yang terjadi di Amerika Serikat, di negara-negara Eropa kenapa terjadi over heating inflasi?. Pertama, diagnosanya adalah supply chain disrupstion. Jadi demand side, jauh lebih cepet dari supply recovery," ujar Sri Mulyani acara Soft Launching Buku: Keeping Indonesia Safe from COVID 19 Pandemic di Gedung Kementerian Keuangan, Jakarta, Jumat (5/8).

Sri Mulyani menambahkan, meningkatnya laju inflasi yang melanda negara-negara maju di berbagai belahan dunia saat ini juga dipengaruhi oleh konflk antara Rusia dan Ukraina. Mengingat, dua negara tersebut merupakan produsen komoditas energi dan pangan dunia.

"Kemudian dikombinasikan dengan perang di Ukraina. Makanya terjadi kenaikan harga," bebernya.

Faktor lainnya, Sri Mulyani menyebut kebijakan fiskal maupun moneter yang di oleh pemerintah maupun bank sentral AS dan Eropa lakukan terlalu ekstrim untuk menggenjot pertumbuhan ekonomi pasca meredanya pandemi Covid-19.

"Entah itu dalam tadi penurunan suku bunga sampai negatif kalau di Eropa, sementara di Amerika 0 persen. Kemudian, mencetak uang dengan membeli bond sampai dari korporat pun di beli, gitu kan kira-kira," terangnya.

 

* Follow Official WhatsApp Channel Liputan6.com untuk mendapatkan berita-berita terkini dengan mengklik tautan ini.

2 dari 3 halaman

Pemulihan Ekonomi Global Terhambat

Atas kondisi tersebut, tanpa disadari memicu laju inflasi di tengah situasi perekonomian global yang tidak pasti. Bahkan, diproyeksikan justru mengalami perlambatan pemulihan ekonomi imbas konflik Rusia dan Ukraina serta pandemi Covid-19 yang tak kunjung usai.

"Kalau sentral bank di sana Amerika Serikat, Eropa, begitu sangat ekspansi, plus fiskal policy sangat ekspansi, kemudian ekonomi recovery. Uang yang begitu banyak ekspansinya itu countercycal membuat demand side sangat besar sementara supply side sangat tertinggal, makanya inflasi terjadi," tandasnya.

 

 

* BACA BERITA TERKINI LAINNYA DI GOOGLE NEWS

3 dari 3 halaman

Inflasi AS Capai 9,1 Persen

Sebelumnya, inflasi Amerika Serikat (AS) kembali mencatatkan rekor tertinggi dalam empat dekade pada Juni 2022 lalu. Kondisi ini memperkuat tekad Federal Reserve untuk secara agresif menaikkan suku bunga yang berisiko menjungkirbalikkan ekspansi ekonomi.

Melansir Bloomberg, Departemen Tenaga Kerja AS melaporkan, indeks harga konsumen (CPI) AS naik 9,1 persen dari tahun sebelumnya. Kenaikan ini menjadi terbesar sejak akhir 1981.

Angka inflasi Juni 2022 meningkat 1,3 persen dari bulan sebelumnya, terbesar sejak 2005. Hal ini membuat masyarakat harus merogoh kocek lebih untuk biaya bensin, tempat tinggal, dan makanan.

Selain itu, capaian inflasi pada Juni lalu lebih tinggi dari prediksi Ekonom Bloomberg yang memproyeksikan kenaikan inflasi Juni hanya mencapai 1,1 persen dari Mei dan 8,8 persen dari tahun ke tahun.

"Ini adalah bulan keempat berturut-turut bahwa angka tahunan utama melampaui perkiraan," tulis Bloomberg, Kamis (14/7).

Reporter: Sulaeman

Sumber: Merdeka.com

* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.