Sukses

Terjerat Krisis, Sri Lanka Siapkan Kebijakan Potong Utang hingga Genjot Ekonomi 25 Tahun

Pemerintahan Presiden baru Sri Lanka Ranil Wickremesinghe sedang mempersiapkan kebijakan untuk memotong utang negaranya yang tengah dilanda krisis ekonomi.

Liputan6.com, Jakarta - Presiden baru Sri Lanka Ranil Wickremesinghe, mengungkapkan bahwa pemerintahnya sedang mempersiapkan kebijakan nasional untuk memotong utang publik dan menjadikan negaranya ekonomi ekspor yang kompetitif dalam 25 tahun ke depan.

Rencana ekonomi itu datang ketika Sri Lanka sedang dalam perjuangannya keluar dari krisis ekonomi terburuk dalam 70 tahun.

Dalam pidatonya di depan Parlemen Presiden Ranil Wickremesinghe mengatakan bahwa Sri Lanka membutuhkan solusi jangka panjang dan landasan yang kuat untuk menghentikan terulangnya krisis ekonomi.

Wickremesinghe mengatakan pemerintahnya telah memulai negosiasi dengan Dana Moneter Internasional (IMF) tentang rencana penyelamatan ekonomi Sri Lanka dalam empat tahun, serta finalisasi rencana restrukturisasi utang.

"Kita akan mengajukan rencana ini ke Dana Moneter Internasional dalam waktu dekat, dan bernegosiasi dengan negara-negara yang memberikan bantuan pinjaman. Selanjutnya negosiasi dengan kreditur swasta juga akan mulai mencapai mufakat," kata Wickremesinghe, dikutip dari Associated Press, Kamis (4/8/2022).

Lebih lanjut Wickremesinghe menyebut, krisis listrik telah memulai masa pemulihan, serta pasokan pupuk dan distribusi gas untuk memasak juga mulai membaik.

"Langkah-langkah keamanan telah diambil untuk menghindari kekurangan pangan. Distribusi obat-obatan esensial dan peralatan medis ke rumah sakit juga sudah dimulai. Sekolah telah dibuka kembali. Berbagai upaya dilakukan untuk mengatasi kendala yang dihadapi oleh industri dan sektor ekspor," jelasnya.

Wickremesinghe telah mengatakan sebelumnya bahwa negosiasi dengan IMF sempat berjalan sulit karena kebangkrutan Sri Lanka dan target awal untuk bulan Agustus tidak mungkin tercapai.

Sekarang, pembicaraan pemerintah Sri Lanka dan IMF diharapkan kembali berjalan pada bulan September mendatang.

* Follow Official WhatsApp Channel Liputan6.com untuk mendapatkan berita-berita terkini dengan mengklik tautan ini.

2 dari 4 halaman

Sri Lanka Hemat BBM untuk Redam Krisis

Alih-alih mengandalkan pinjaman luar negeri untuk impor BMM, Wickremesinghe menyarankan, Sri Lanka harus memulai sistem di mana pendapatan ekspor dan pengiriman uang pekerja asing digunakan untuk pembelian.

"Kami juga harus membatasi impor tertentu untuk menyeimbangkan pembayaran BBM. Di sisi lain, pasokan BBM harus dibatasi. Kesulitan ini harus ditanggung sampai akhir tahun ini," dia mengakui.

Wickremesinghe pun menyampaikan terima kasih kepada Perdana Menteri India Narendra Modi yang telah menyalurkan bantuan kepada Sri Lanka melalui jalur kredit dan pinjaman untuk membeli pangan, obat-obatan dan BBM.

Sang presiden pun membeberkan target Sri Lanka menciptakan surplus dalam anggaran primer pada tahun 2025 mendatang, dan menurunkan utang publik, yang saat ini mencapai 140 persen dari PDB, menjadi kurang dari 100 persen pada tahun 2032.

"Ekonomi harus dimodernisasi. Stabilitas ekonomi harus dibangun dan ditransformasikan menjadi ekonomi ekspor yang berdaya saing. Dalam konteks ini, kami sekarang sedang menyiapkan laporan, rencana, peraturan, undang-undang dan program yang diperlukan," pungkasnya.

"Jika kita membangun negara, bangsa, dan ekonomi melalui kebijakan ekonomi nasional, kita akan dapat menjadi negara yang sepenuhnya maju pada tahun 2048, ketika kita merayakan peringatan 100 tahun kemerdekaan," tutur Wickremesinghe.

3 dari 4 halaman

China Disebut Bisa Jadi Dewa Penolong Sri Lanka Keluar dari Krisis Ekonomi

Analis menyebut Sri Lanka tidak akan dapat menyelesaikan masalah utangnya tanpa bantuan dari China, ketika negara itu menghadapi krisis ekonomi terburuk dalam 70 tahun.

Diketahui bahwa Sri Lanka telah gagal membayar utangnya atau default, ditambah dengan kekurangan bahan bakar, pangan, dan bahan pokok lainnya. 

Dosen di Universitas Kolombo, yakni Umesh Moramudali mengatakan bahwa kesediaan China untuk memberikan keringanan utang yang substansial ke Sri Lanka akan sangat penting dalam mempercepat restrukturisasi utang. 

"Kita tidak bisa keluar dari krisis ini tanpa China," kata Moramudali, dikutip dari CNBC International, Rabu (20/7/2022).

"China perlu setuju untuk merestrukturisasi utang, yang bukan jalan yang biasa mereka (Sri Lanka) ambil," ujarnya kepada Streets Signs Asia CNBC.

Moramudali menambahkan, "Sri Lanka perlu mencapai kerangka kerja bersama dan apa yang ditekankan oleh komunitas internasional adalah bahwa China juga menyetujui kerangka kerja bersama untuk restrukturisasi utang".

Namun, dia menyebut, sejauh ini belum diketahui jelas tingkat negosiasi Sri Lanka untuk bantuan restrukturisasi utang, terutama dengan China.

Sementara itu, dalam sebuah konferensi pers pekan lalu, juru bicara kementerian luar negeri China Wang Wenbin telah menyatakan bahwa "tak lama setelah pemerintah Sri Lanka mengumumkan untuk menangguhkan pembayaran utang internasional, lembaga keuangan China telah menjangkau pihak Sri Lanka dan menyatakan kesiapan untuk berupaya menemukan cara yang tepat menangani utang yang sudah jatuh tempo".

4 dari 4 halaman

IMF Wanti-wanti Krisis Sri Lanka jadi Peringatan Bagi Ekonomi Negara Asia Lain

Kepala Dana Moneter Internasional (IMF) mengatakan bahwa krisis ekonomi di Sri Lanka merupakan peringatan bagi ekonomi di negara-negara Asia lainnya.

Diketahui bahwa Sri Lanka tengah berada di tengah krisis ekonomi yang belum pernah terjadi sebelumnya, memicu protes besar dan melihat presidennya mundur setelah melarikan diri dari negara itu.

"Negara-negara dengan tingkat utang yang tinggi dan ruang kebijakan yang terbatas akan menghadapi tekanan tambahan. Tidak terabaikan lagi Sri Lanka menjadi tanda peringatan," kata Direktur Pelaksana IMF Kristalina Georgieva, dikutip dari BBC, Senin (18/7/2022). 

Lebih lanjut, Georgieva mengatakan bahwa negara-negara berkembang juga mengalami arus keluar modal yang berkelanjutan selama empat bulan berturut-turut, menempatkan impian mereka untuk mengejar ekonomi maju terhambat.

Sri Lanka kini sedang berjuang untuk membayar impor penting seperti pangan, bahan bakar dan obat-obatan untuk 22 juta penduduknya, saat negara itu berjuang melawan krisis valuta asing.

Inflasi Sri Lanka sendiri telah melonjak sekitar 50 persen, dengan harga pangan 80 persen lebih tinggi dari tahun lalu.

Ditamah lagi, Rupee Sri Lanka telah merosot nilainya terhadap dolar AS dan mata uang global utama lainnya tahun ini.

Sejumlah besar publik di negara itu menyalahkan kepemimpinan mantan presiden Gotabaya Rajapaksa dalam menangani ekonomi dengan kebijakan yang dampaknya hanya diperparah oleh pandemi Covid-19.

Selama bertahun-tahun, Sri Lanka telah menumpuk sejumlah besar utang.

Bulan lalu, Sri Lanka menjadi negara pertama di kawasan Asia Pasifik dalam 20 tahun yang gagal membayar utang luar negerinya.

Para pejabat Sri Lanka telah bernegosiasi dengan IMF untuk paket bailout USD 3 miliar. Namun pembicaraan tersebut saat ini terhenti di tengah masalah politik. 

* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.