Sukses

Hong Kong Resesi, Perdagangan Global Lemah dan Covid-19 Pemberi Andil

Hong Kong menghadapi resesi teknis, ketika kota itu mencatat penurunan PDB selama dua kuartal berturut-turut.

Liputan6.com, Jakarta - Hong Kong telah kembali ke resesi teknis, imbas meningkatnya suku bunga, perdagangan global yang melemah dan pembatasan Covid-19 yang ketat menghambat aktivitas ekonomi wilayah itu. 

Dilansir dari AlJazeera, Rabu (3/8/2022) Hong Kong resesi setelah Produk Domestik Bruto-nya mencatat penurunan selama dua kuartal berturut-turut.

Setelah penurunan dari tahun sebelumnya sebesar 3,9 persen pada kuartal pertama tahun 2022, menurut perkiraan sebelumnya yang dirilis Departemen Sensus dan Statistik, PDB kota itu, Senin (1/8), kembali menujukkan penurunan pada kuartal kedua tetapi dengan tingkat yang lebih kecil sebesar 1,4 persen.

Penurunan ini membalikkan pemulihan tahun lalu ketika ekonomi Hong Kong sempat mencatat pertumbuhan tahunan 6,3 persen setelah perlambatan pada 2019 dan 2020, ketika kota itu diguncang oleh protes pro-demokrasi besar selama berbulan-bulan, yang terkadang disertai kekerasan, kemudian pandemi Covid-19.

Pemerintah Hong Kong mengatakan, perbaikan ekonomi lebih kecil dari yang diharapkan karena kinerja yang lemah dalam perdagangan luar negeri.

Statistik resmi yang dirilis pada bulan Juli 2022 menunjukkan nilai total ekspor barang Hong Kong pada triwulan II mengalami penurunan sebesar 4,2 persen dibandingkan dengan triwulan sebelumnya.

Untuk paruh pertama tahun 2022, defisit perdagangan tercatat sebesar USD 206,1 miliar, setara dengan 8,2 persen nilai impor barang.

"Permintaan global yang melemah dan gangguan yang berlanjut pada arus kargo lintas perbatasan darat antara China daratan dan Hong Kong sangat membebani ekspor Hong Kong," kata pemerintah Hong Kong, Senin (1/8).

* Follow Official WhatsApp Channel Liputan6.com untuk mendapatkan berita-berita terkini dengan mengklik tautan ini.

2 dari 4 halaman

Hong Kong Mulai Pertimbangkan Pelonggaran Pembatasan Guna Datangkan Kembali Turis

Pengetatan kebijakan moneter oleh bank-bank sentral besar di seluruh dunia diperkirakan akan mengurangi pertumbuhan ekonomi global secara signifikan sementara perjalanan bebas karantina antara Hong Kong dan China belum memiliki jadwal yang jelas di bawah kepatuhan ketat Beijing terhadap kebijakan nol Covid-19.

Pemimpin baru kota pusat keuangan itu, John Lee, mengatakan pemerintahnya akan segera mengumumkan pengurangan lebih lanjut karantina hotel wajib untuk kedatangan dari luar negeri, demikian menurut sebuah wawancara dengan Hong Kong Economic Journal yang diterbitkan Senin (1/8).

"Untuk menjalin hubungan dengan dunia dan dengan China daratan, kami akan melakukan keduanya dan itu tidak bertentangan," kata Lee kepada surat kabar itu.

"Saya mengerti bahwa salah satu daya saing Hong Kong terletak pada koneksi internasionalnya," tambahnya.

Dalam mengikuti kebijakan nol Covid-19 China, Hong Kong sebagian besar telah terputus dari seluruh dunia selama lebih dari dua tahun.

Hong Kong masih memberlakukan beberapa pembatasan paling ketat di dunia, termasuk karantina selama seminggu untuk kedatangan dan larangan pertemuan individu dengan lebih dari empat orang.

Laporan media lokal baru-baru ini mengatakan bahwa otoritas kota itu sedang mempertimbangkan untuk melanjutkan perjalanan bebas karantina untuk kedatangan dari luar negeri pada bulan November mendatang, untuk menghidupkan kembali citra internasionalnya dengan KTT keuangan dan turnamen dan seri pertandingan dunia cabang olah raga Rugby di Hong Kong.

 

* BACA BERITA TERKINI LAINNYA DI GOOGLE NEWS

3 dari 4 halaman

IMF Minta China Pikirkan Ulang Imbas Kebijakan Nol Covid-19 ke Ekonomi

China disebut perlu mempertimbangkan kembali dampak kebijakan nol Covid-19 untuk menghindari penurunan ekonomi, serta menghasilkan solusi jangka panjang untuk krisis di sektor real estat.

Hal itu disampaikan oleh direktur Departemen Asia dan Pasifik di IMF Krishna Srinivasan, dalam sebuah wawancara. 

"China telah membuat beberapa perubahan dalam membuatnya sedikit lebih fleksibel, tetapi kami merasa bahwa strategi ini dapat menjadi hambatan bagi perekonomian," kata Srinivasan, dikutip dari US News, Kamis (28/7/2022).

"Ini adalah masalah yang perlu ditangani," ujarnya.

Diketahui bahwa negara ekonomi terbesar kedua di dunia itu telah memberlakukan serangkaian pembatasan ketat Covid-19, memicu ketidakpastian di antara penduduk dan bisnis atas kemungkinan lockdown lainnya di masa depan.

Kebijakan nol-Covid-19 di China juga menjadi salah satu faktor IMF memangkas perkiraan pertumbuhan produk domestik bruto (PDB) negara itu tahun menjadi 3,3 persen, dari semula 4,4 persen dalam World Economic Outlook (WEO) terbaru yang diterbitkan pekan ini.

Laporan WEO menyebut, ini akan menjadi pertumbuhan ekonomi terendah China dalam lebih dari empat dekade, tidak termasuk selama krisis Covid-19 awal pada tahun 2020.

Namun, kebijakan nol-Covid-19 bukan satu-satunya faktor di balik kekhawatiran IMF atas perlambatan ekonomi China.

Naiknya harga rumah dan melonjaknya utang rumah tangga juga memicu krisis di sektor real estat.

"Niat pemerintah untuk mengurangi leverage di sektor real estat sepenuhnya benar, tetapi telah menghambat pertumbuhan," ucap Srinivasan.

"Sekarang banyak rumah tangga yang menolak membayar KPR karena banyak proyek perumahan yang belum selesai," ungkapnya.

 

4 dari 4 halaman

Krisis Likuiditas Pengembang Properti China Bisa Ganggu Ekonomi

Analis memperingatkan hilangnya kepercayaan pada sektor properti dapat menyeret ekonomi China ke penurunan lebih lanjut.

Komentar itu muncul setelah perusahaan pengembang atau real estat China Evergrande Group gagal memberikan rencana restrukturisasi senilai USD 300 miliar yang dijanjikan selama akhir pekan.

"Bagi pemerintah, prioritasnya adalah memutus lingkaran umpan balik negatif yang menampilkan rasio yang tinggi dan krisis likuiditas di pihak pengembang," kata Shuang Ding, kepala ekonom Standard Chartered untuk China Raya dan Asia Utara, dikutip dari CNBC, Selasa (2/8/2022).

"Itu mengarah pada boikot hipotek dan selera yang sangat rendah di pihak pembeli rumah, dan kembali ke pengembang karena penjualan yang rendah memengaruhi likuiditasnya," jelasnya kepada CNBC "Street Tanda Asia."

Sebagai informasi, China tengah menghadapi masalah pada pembayaran hipotek, dengan pemilik rumah di 22 kota menolak untuk membayar pinjaman mereka pada proyek perumahan yang belum selesai.

"Jadi jika masalah ini tidak ditangani dengan baik, akan berdampak besar pada perekonomian, termasuk neraca pemerintah, neraca bank juga rumah tangga," beber Shuang Ding.

Shuang Ding menyebut, masalah di sektor properti mengancam fondasi penting dari ekonomi China, yaitu kepercayaan pasar.

Penjualan tanah, yang merupakan porsi dominan pendapatan pemerintah provinsi di China, turun 30 persen dalam setahun terakhir.

Ekonom Standard Chartered itu menyarankan, China baiknya berupaya meredam masalah di sektor properti dan menanganinya secara holistik, bukan dengan pendekatan sedikit demi sedikit, guna menghindari kebangkrutan massal.

* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.