Sukses

30 Negara Berkembang Punya Utang di Atas 100 Persen PDB, Indonesia Gimana?

Terdapat lebih dari 30 negara yang memiliki utang di atas 100 persen terhadap PDB akibat dampak pandemi Covid-19.

Liputan6.com, Jakarta Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Airlangga Hartarto mengungkap sejumlah dampak mengerikan akibat pandemi Covid-19 terhadap perekonomian dunia.

Pertama, terdapat lebih dari 30 negara yang memiliki utang di atas 100 persen terhadap PDB akibat dampak pandemi Covid-19.

"Ketidakpastian ini mulai dari peningkatan hutang di negara berkembang akibat Covid-19. Lebih dari 30 negara utangnya di atas 100 persen," ujarnya dalam webinar Bisnis Indonesia di Jakarta, Selasa (2/8).

Airlangga melanjutkan, kondisi itu akan diperparah atas kenaikan suku bunga oleh Bank Sentral Amerika Serikat (AS) The Fed. Hal ini mengakibatkan sejumlah negara tersebut berpotensi mengalami gagal bayar.

Meski begitu, Menko Airlangga tidak menyebutkan secara detail daftar 30 negara berkembang yang memiliki utang di atas 100 persen tersebut.

Selain peningkatan nilai utang, pandemi Covid-19 juga berdampak pada disrupsi rantai pasokan global. Menyusul, penutupan hingga pembatasan jam operasional industri.

"Nah, kemudian dia perparah oleh gejolak global akibat perang Rusia dan Ukraina yang mendorong inflasi," imbuhnya.

Berkaca pada situasi tersebut, Menko Airlangga mengakui proses pemulihan ekonomi global di tahun ini akan lebih sulit. Mengingat, masih tingginya situasi penuh ketidakpastian.

 

Reporter: Sulaeman

Sumber: Merdeka.com

 

* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.

* Follow Official WhatsApp Channel Liputan6.com untuk mendapatkan berita-berita terkini dengan mengklik tautan ini.

2 dari 3 halaman

Negara Berkembang Terancam Tak Bisa Bayar Utang

Sebelumnya, Menteri Keuangan (Menkeu) Sri Mulyani Indrawati menyebut, sejumlah negara berkembang dan berpendapatan rendah berpotensi tak bisa bayar utang. Sebab, adanya kenaikan harga komoditas secara global yang juga mempengaruhi tingkat ekonomi negara berkembang.

Ada tiga faktor yang menjadi dasar dari pernyataan Sri Mulyani ini. Pertama, kenaikan harga energi, kedua, kenaikan harga pangan, dan ketiga, tekanan inflasi. Ketiga hal ini akan berimbas pada kemampuan negara berkembang di seluruh dunia.

 “Kita mulai sebelum pandemi dan kemudian karena pandemi karena sudah menggunakan ruang fiskal kita yang berimplikasi pada peningkatan posisi utang. Sekarang, dengan ancaman rangkap tiga ini akan menjadi lebih kompleks yang sangat mengerikan untuk dikelola,” katanya dalam pembukaan Finance Minister and Central Bank Governors (FMCBG) Meeting G20, Nusa Dua, Bali, Jumat (15/7/2022).

Menurutnya, sudah ada banyak negara berpenghasilan rendah berada dalam kondisi kesulitan karena utang. Kemudian, negara berkembang lainnya memiliki potensi tak mampu membayar utangnya tahun depan.

“Sekitar 60 persen dari negara-negara berpenghasilan rendah sudah berada dalam atau mendekati kesulitan utang. Sementara negara-negara berkembang mungkin tidak dapat memenuhi pembayaran utang selama satu tahun ke depan,” ujarnya.

Ia menegaskan ini bukan satu atau dua kasus luar biasa. Ia memprediksi dengan tekanan yang ada, tak mampunya negara untuk membayar utangnya akan semakin meluas kedepannya. Maka, peran menteri keuangan, gubernur bank sentral, organisasi internasional dan lembaga multilateral menjadi penting.

“Tantangan signifikan ini berada di atas masalah global yang belum terpecahkan seperti yang kita semua bicarakan dalam dua tahun terakhir, yaitu pandemi COVID 19, mitigasi dan adaptasi perubahan iklim dan iklim, dan juga keberlanjutan utang yang ada di banyak negara berpenghasilan rendah,” katanya.

“Ini semua menciptakan rintangan yang signifikan untuk tujuan bersama kita, yaitu Presidensi G20 Indonesia sudah dipilih saat itu ketika kita melanjutkan kepresidenan dari Italia yang ingin kita lihat pada 2022,” paparnya.

 

* BACA BERITA TERKINI LAINNYA DI GOOGLE NEWS

3 dari 3 halaman

Krisis Energi dan Pangan

Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati mengungkap saat ini dunia dihadapi krisis energi. Kondisi ini diyakini akan memperburuk upaya pemulihan ekonomi.

Dimana, menurut data yang dimilikinya, harga minyak dunia mengalami kenaikan 350 persen dalam dua tahun. Ini berdampak pada kenaikan harga energi di seluruh negara di dunia.

"Pada bulan Juni, kami menyaksikan harga gas alam di Eropa meningkat sebesar 60 persen, hanya dalam dua minggu. kelangkaan bahan bakar sedang berlangsung di seluruh dunia," katanya dalam pembukaan 3rd Finance Minister and Central Bank Governors (FMCBG) di Bali International Convention Center, Jumat (15/7/2022).

Mengutip data Bank Dunia, ia menyebut harga minyak mentah dunia meningkat 350 persen dari April 2020 hingga April 2022. Padahal, di awal pandemi, ia melihat harga minyak mentah dunia sempat mendekati nol bahkan minus.

"Dan sekarang kita menghadapi situasi ekstrim yang sangat berbeda. Peningkatan 350 persen ini merupakan peningkatan terbesar untuk periode dua tahun sejak 1970-an," katanya.

Dengan adanya kenaikan komoditas energi ini, Menkeu Sri Mulyani menyebut ini berdampak pada kondisi sosial politik di beberapa negara. Sehingga, secara global, ini akan mengancam upaya pemulihan ekonomi.

"Dan kami melihat ini memiliki implikasi politik dan sosial yang besar di Sri Lanka, Ghana, Peru, Ekuador, dan di tempat lain. Kelangkaan ini karena harga gas yang tinggi benar-benar menjadi masalah, yang mengancam pemulihan kita. Dunia berada di tengah krisis energi global," kata dia.

* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.