Sukses

Tax Ratio Indonesia Terendah Ketiga di Asia Pasifik

Perhitungan tax ratio 2020 oleh OECD ini tidak memasukkan variabel iuran jaminan sosial atau Social Securuty Contribution (SSC).

Liputan6.com, Jakarta - Organization for Economic Cooperation and Development (OECD) atau Organisasi Kerja Sama Pembangunan dan Ekonomi mencatat bahwa tax ratio atau rasio penerimaan pajak terhadap produk domestik bruto (PDB) Indonesia cukup rendah jika dibandingkan dengan negara di Asia Pasifik. 

Dalam laporan OECD berjudul Revenue Statistics in Asia and Pacific 2022 yang diterbitkan pada 25 Juli 2022, tax ratio Indonesia berada di urutan ketiga terbawah dari 28 negara Asia Pasifik pada 2020.

Dalam laporan itu, tax ratio Indonesia 2020 dicatat hanya 10,1 persen, di atas Bhutan dan Laos yang menempati posisi terakhir sebesar 8,9 persen.

Dikutip dari Belasting.di, Rabu (27/7/2022), tax ratio Indonesia 10,1 persen itu sangat rendah karena rata-rata tax ratio negara Asia Pasifik sudah mencapai 19 persen, sedangkakan negara-negara OECD sudah mencapai 33,5 persen dari Produk Domestik Bruto (PDB).

Namun Indonesia tidak sendiri dalam prestasi jeblok ini.

Hanya 12 negara Asia Pasifik yang memiliki tax ratio di atas rata-rata 19,1 persen. Sebanyak 16 negara lainnya juga belum bisa melampaui batas rata-rata tersebut.

Di kawasan ASEAN, ada empat negara yang berada di bawah rara-rata tax ratio Asia Pasifik, yaitu Thailand (16,3 persen), Singapura (12,8 persen), Malaysia (11,4 persen) dan Indonesia (10,1 persen).

Negara ASEAN dengan tax ratio tertinggi adalah Vietnam, yaitu sebesar 22,7 persen.

Perhitungan tax ratio 2020 oleh OECD ini tidak memasukkan variabel iuran jaminan sosial atau Social Securuty Contribution (SSC).

SSC adalah pajak dari sektor perlindungan sosial seperti pajak dari pendapatan pensiun, pembayaran santunan kecelakaan, atau pajak dari tunjangan kesehatan yang dibayarkan perusahaan.

Namun bila SSC dihitung, maka tax ratio Indonesia justru akan lebih rendah lagi, hanya 9,5%.

Poin menarik lain dari laporan OECD ini adalah masih tingginya struktur pajak Indonesia ditopang oleh pajak korporasi (PPh Badan) dan pajak atas barang (PPN).

Sedangkan di negara Asia Pasifik lain, struktur pajak sudah bergeser, lebih banyak ditopang oleh pajak individu (PPh Orang Pribadi).

 

* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.

* Follow Official WhatsApp Channel Liputan6.com untuk mendapatkan berita-berita terkini dengan mengklik tautan ini.

2 dari 3 halaman

Sederet Insentif Pajak yang Diperpanjang hingga Akhir 2022

Pemerintah resmi memperpanjang periode pemberian insentif pajak hingga akhir tahun 2022. Direktur Penyuluhan, Pelayanan, dan Hubungan Masyarakat Direktorat Jenderal Pajak Kementerian Keuangan Neilmaldrin Noor mengatakan bahwa perpanjangan insentif ini merupakan bentuk keberpihakan Pemerintah kepada Wajib Pajak (WP) yang terdampak pandemi Covid-19.

“Pemerintah inginnya dengan dukungan ini pemulihan dan penanganan Covid-19 menjadi lebih cepat,” ungkap Neil dalam rilisnya, Jumat (22/07).

Adapun insentif yang diperpanjang adalah insentif kesehatan berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 226/PMK.03/2021 yang berakhir 30 Juni 2022 melalui penerbitan PMK-113/PMK.03/2022 dan insentif pajak untuk wajib pajak terdampak pandemi berdasarkan PMK-3/PMK.03/2022 yang berakhir pada akhir Juni 2022 melalui penerbitan PMK-114/PMK.03/2022.

“Untuk jenis insentif yang diperpanjang itu semuanya, tidak ada perubahan,” jelas Neil.

Lebih lanjut Neil menjelaskan, insentif kesehatan yang terdapat dalam PMK-226/2021, yaitu insentif PPN ditanggung pemerintah (DTP) atas penyerahan barang yang diperlukan dalam rangka penanganan pandemi Covid-19, pembebasan dari pemungutan PPh Pasal 22 impor, pembebasan dari pemungutan PPh Pasal 22, dan fasilitas PPh bagi sumber daya manusia di bidang kesehatan, semua diperpanjang sampai dengan 31 Desember 2022.

Hal yang sama juga berlaku untuk insentif pajak yang ada di dalam PMK-3/2022, yaitu pembebasan dari pemungutan PPh Pasal 22 Impor (72 KLU), pengurangan angsuran PPh Pasal 25 (156 KLU), dan PPh final jasa konstruksi (DTP), semua diperpanjang sampai dengan Desember 2022.

 

* BACA BERITA TERKINI LAINNYA DI GOOGLE NEWS

3 dari 3 halaman

Perubahan Ketentuan

Selain mengatur perpanjangan periode pemberian insentif perpajakan, kedua PMK tersebut juga memiliki beberapa perubahan ketentuan.

Pada PMK-113/PMK.03/2022 juga mengatur beberapa pokok perubahan dari aturan sebelumnya.

Beberapa pokok perubahan tersebut adalah relaksasi pelaporan faktur pajak pengganti atas faktur pajak tahun 2021 dan 2022 menjadi paling lama 31 Desember 2022 dan 31 Desember 2023, penegasan untuk WP memungut PPN terutang jika diperoleh data dan/atau informasi bahwa pemanfaatan fasilitas tidak memenuhi ketentuan, penegasan kepada WP untuk hanya dapat memilih memanfaatkan pembebasan dari pengenaan PPN atas vaksin, obat, dan barang lainnya atau memanfaatkan insentif PPN dalam PMK ini, serta penegasan untuk mengajukan kembali permohonan Surat Keterangan Bebas untuk dapat memanfaatkan insentif ini.

Sementara itu, untuk PMK-114/PMK.03/2022 ketentuan yang berubah dari beleid sebelumnya yaitu perubahan pihak pelapor realisasi PPh final jasa konstruksi DTP.

Jika sebelumnya adalah pemotong pajak, yaitu satuan kerja yang melakukan pembayaran dalam pelaksanaan Program Percepatan Peningkatan Tata Guna Air Irigasi (P3-TGAI), sekarang Penanggung Jawab, yaitu Direktur Jenderal Sumber Daya Air, Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat.

 

* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.