Sukses

Inflasi Pangan dan Energi Menggila, Indonesia Harus Apa?

Situasi global yang tidak menentu makin mendongkrak inflasi pangan dan energi, sebagai imbas dari konflik geopolitik Rusia-Ukraina yang belum berkesudahan.

Liputan6.com, Jakarta Situasi global yang tidak menentu makin mendongkrak inflasi pangan dan energi, sebagai imbas dari konflik geopolitik Rusia-Ukraina yang belum berkesudahan.

Kepala Badan Kebijakan Perdagangan Kementerian Perdagangan, Kasan, mensyukuri perang Rusia-Ukraina yang sempat mereda setelah melakukan penandatanganan bersama PBB dan Presiden Turki.

"Mungkin itu momen yang menurut saya bisa sedikit memberikan harapan atas situasi inflasi pangan yang kemudian inflasi dari harga-harga energi, yang dampaknya sudah kita rasakan di Indonesia," ujar Kasan dalam satu sesi webinar, Rabu (27/7/2022).

Namun, satu-dua hari setelah adanya penandatanganan itu, ia menyayangkan adanya kasus penembakan missil Rusia di salah satu pelabuhan di Laut Hitam milik Ukriana.

"Meskipun hari ini saya membaca juga, tetap pengiriman akan dilakukan dari Rusia maupun Ukraina. Mungkin sedikit memberi harapan tentang terjadinya ketersediaan pangan itu sendiri," imbuhnya.

Berikutnya, Kasan juga menyoroti imbas perang terhadap harga pangan nasional. Di satu sisi, ia menilai itu jadi sebuah berkah berkat adanya windfall. Tapi sebaliknya, itu juga memberikan dampak negatif ke tingkat inflasi.

"BPS mencatat, sampai Juni 2022 inflasi tahunan sudah lebih dari 4 persen. Di beberapa negar maju inflasinya sangat tinggi. Bahkan kalau kita catat di Eropa, Amerika, angkanya sudah lebih dari 8 persen," paparnya.

Kasan lantas berkesimpulan, Indonesia pada situasi ini tak bisa bergantung terhadap kondisi eksternal. Sehingga negara perlu mandiri untuk mengatasi kenaikan harga pangan hingga energi.

"Tentu ini bagian yang menjadi tantangan kita di dalam konteks bagaimana inflasi global kaitannya dengan posisi kita, kesiapan kita, dan bagaimana kita menyikapi baik saat ini maupun ke depan," tuturnya.

 

 

* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.

* Follow Official WhatsApp Channel Liputan6.com untuk mendapatkan berita-berita terkini dengan mengklik tautan ini.

2 dari 4 halaman

Krisis Pangan Menghadang, Ini Jaminan Bos Bulog Soal Stok Beras hingga Jagung

Dunia tengah menghadapi krisis pangan dampak dari kisruh global yang terjadi. Sejumlah pihak bahkan menilai, krisis pangan saat ini bahkan jadi yang terburuk, lebih parah dibanding 2018 silam.

Kendati begitu, Direktur Utama Perum Bulog Budi Waseso situasi pangan di dalam negeri cenderung aman dari ancaman krisis. Terutama untuk berbagai komoditas bahan pokok seperti beras hingga jagung.

Enam+01:15VIDEO: Keuntungan Indonesia Jika Menjadi Anggota Penuh FATF Namun, pria yang akrab disapa Buwas tersebut tetap tak ingin lengah dengan situasi yang ada.

"Pangan harus diwaspadai, dan ini tidak main-main dengan Rusia-Ukraina berperang. Sehingga mempengaruhi secara keseluruhan. Dulu kita bisa impor gandum dari Rusia Ukraina, sekarang terhenti," ungkapnya saat berkunjung ke MRMP Kendal, Jawa Tengah, Kamis (21/7/2022).

Di satu sisi, Buwas memastikan kondisi pangan nasional aman. Terlebih setelah Presiden Joko Widodo (Jokowi) memprediksi, surplus produksi pertanian Indonesia terjaga dan mengalami peningkatan.

"Pak presiden ulangi lagi, kita 3 tahun sudah tidak impor (beras). Tapi bukan terus kita terlena. Maka kita harus tetap menjaga ketahanan pangan kita," tegas Buwas.

"Dengan apa, meningkatkan produksi, tingkatkan CBP yang ada di Bulog, yang sekarang ini sedang digodok keputusannya, berapa pemerintah akan menyadangkan beras pemerintah. Sesuai keputusan Rakortas (target produksi beras) 1-1,5 juta ton. Kita sudah lebih, 1,1 juta ton," terangnya.

Menghadapi krisis pangan yang kini terjadi, ia tak ingin negara berpangku tangan pada produksi beras semata. Dia juga ingin hasil produksi bahan pokok pengganti lain semisal jagung dan singkong bisa ikut terdongkrak.

"Ada singkong, jagung, kentang, bahkan sagu, mustinya itu jadi kekuatan pangan kita. Harus dikelola sebagai kekuatan pangan menyeluruh. Jadi jangan beras saja," seru Buwas.

3 dari 4 halaman

Tak Cuma Antisipasi, Jokowi Ingin Krisis Pangan dan Energi jadi Peluang

Menteri Perdagangan (Mendag) Zulkifli Hasan, menyampaikan hasil rapat bersama Presiden Joko Widodo (Jokowi) terkait krisis pangan dan energi yang harus menjadi perhatian, sekaligus peluang.

 “Pertama tadi kami rapat dipimpin Bapak Presiden itu mengenai pangan dan energi. Melihat situasi dunia memang dua bidang ini harus sungguh-sungguh kita antisipasi. Nah, oleh karena itu, kita masih dalam suasana krisis dalam bidang pangan dan energi itu,” kata Zulkifli Hasan, saat ditemui di Jakarta, Senin (18/7/2022).

Oleh karena itu, kata Zulkifli, presiden Jokowi mengingatkan semua pihak harus memperhatikan sungguh-sungguh dalam mengantisipasi krisis tersebut. Selain itu, krisis itu juga bisa menjadi peluang bagi Indonesia.

Karena sebetulnya, krisis pangan dan energi jika dibicarakan secara mendetail ada solusinya. Misalnya, kekurangan komoditas cabai. Maka dipetakan daerah mana saja yang merupakan penghasil cabai paling banyak, yaitu Jawa Barat, maka Jawa Barat akan menjadi fokus Pemerintah.

Lalu, untuk penghasil kopi terbanyak ada di Sumatera Selatan dan Lampung, maka Pemerintah akan fokus ke daerah itu. Artinya, kata Zulkifli, antisipasi krisis ini bisa menjadi peluang bagi Pemerintah Indonesia untuk meningkatkan produksi bahkan ekspor.

“Sehingga bicaranya lebih detail, sehingga antisipasi ini bisa menjadi peluang bagi kita untuk meningkatkan produksi bahkan ekspor, gara-gara itu tentunya,” ujarnya.

4 dari 4 halaman

CPO

Lebih lanjut, dalam rapat juga dibahas mengenai CPO, sawit, dan turunannya. Mendag Zulkifli menjelaskan, total produksi minyak sawit mentah (crude palm oil/ CPO) tahun 2022 ditargetkan mencapai 48 juta ton ditambah sisa stok tahun 2021 yakni 4 juta ton, maka totalnya 52 juta ton CPO.

“Nah, tadi sawit CPO itu kan total produksi kita 48 juta, sisa stok tahun lalu 4 juta, jadi 52 juta. Yang untuk B30 9 juta, yang untuk migor dalam negeri dan turunannya itu 9 juta. Nah, lainnya itu sebenarnya sudah hilir, sudah diproses ada yang dalam bentuk minyak, margarine, dll, itu 30,6 juta,” jelasnya.

Dari 52 juta ton tersebut, yang diekspor dalam bentuk CPO hanya 3,4 juta ton, artinya sedikit. Namun, meskipun sedikit masih terjadi hambatan tangka penuh, sehingga buah tandan segar ini harganya menjadi murah.

“Kita akan melakukan segala upaya agar tandan buah segar ini. Saya sudah hitung ya, harusnya harganya Rp 2.400 per kg harusnya. Oleh karena itu, Menteri keuangan sudah menghapus namanya pungutan ekspor, pungutan ekspor sudah dihapus yang Rp 200-nya sudah dihapus ya,” ujar Zulkifli.

“Jadi tidak ada alasan lagi harga buah tandan ini nantinya akan jadi di bawah Rp 2.000 per kg. Kalau itung-itungan saya harusnya Rp 2.000 sampai Rp 2.400 per kg harga TBS di tingkat petani. Tentu perlu waktu ya karena ini kan baru berlaku 2-3 hari ini,” pungkasnya.  

* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.