Sukses

Joe Biden Masih Pede AS Tidak Akan Masuk Jurang Resesi Ekonomi

Presiden Amerika Serikat Joe Biden menyampaikan pernyataannya terkait ramalan resesi AS ketika menghadiri konferensi pers virtual Senin kemarin, 25 Juli 2022.

Liputan6.com, Jakarta - Presiden Amerika Serikat Joe Biden kembali meyakini AS tidak akan mengalami resesi ekonomi. Keyakinan itu ia sampaikan meskipun angka PDB AS yang akan dirilis akhir pekan ini mungkin menunjukkan ekonomi menyusut untuk kuartal kedua berturut-turut.

Dilansir dari Fox Business, Selasa (26/7/2022) Biden menyampaikan pernyataannya terkait ramalan resesi AS ketika menghadiri konferensi pers virtual Senin kemarin, 25 Juli 2022.

"Kita tidak akan masuk ke dalam resesi, dalam pandangan saya," kata Biden, yang masih dalam masa pemulihan dari Covid-19, ketika ditanya seberapa khawatir tentang ramalan resesi yang kian berdatangan.

Presiden ke- AS itu juga mengatakan bahwa tingkat pengangguran di negaranya masih dalam angka terendah dalam sejarah, sebesar 3,6 persen. "Kita masih melihat minat orang-orang untuk berinvestasi," ungkap Biden.

Sebelumnya, dlam sebuah postingan blog pada 21 Juli 2022, Dewan Penasihat Ekonomi Gedung Putih mengatakan bahwa penurunan PDB selama dua kuartal berturut-turut tidak berarti AS akan jatuh dalam resesi.

"Apa itu resesi? Sementara beberapa orang berpendapat bahwa penurunan PDB riil selama dua kuartal berturut-turut merupakan resesi, itu bukanlah definisi resmi maupun cara para ekonom mengevaluasi keadaan siklus bisnis," demikian isi postingan blog tersebut.

Mengutip angka dari Biro Riset Ekonomi Nasional AS, postingan tersebut menyatakan bahwa variabel indikator resesi mereka telah menunjukkan pertumbuhan yang kuat dalam ekonomi AS sejak awal pandemi, dan terus berkembang hingga paruh pertama tahun ini.

 

* Follow Official WhatsApp Channel Liputan6.com untuk mendapatkan berita-berita terkini dengan mengklik tautan ini.

2 dari 3 halaman

Tertinggi dalam 40 Tahun, Inflasi AS Meroket 9,1 Persen di Juni 2022

 Inflasi Amerika Serikat melonjak hingga 9,1 persen pada Juni 2022, didorong kenaikan harga makanan dan BBM yang brlangsung di negara itu.

Dilansir dari Channel News Asia, (14/7/2022) Consumer Price Index sebesar 9,1 persen selama 12 bulan terakhir hingga Juni 2022, merupakan peningkatan terbesar sejak November 1981, menurut Departemen Tenaga Kerja AS.

Energi menyumbang setengah dari kenaikan harga di AS dalam sebulan, karena harga bensin melonjak 11,2 persen pada Juni 2022 dan 59,9 persen selama setahun terakhir.

Biaya energi di AS secara keseluruhan mencatat kenaikan tahunan terbesar sejak April 1980.

Ditambah lagi, perang Rusia-Ukraina telah mendorong harga energi dan pangan global lebih tinggi, serta harga gas AS bulan lalu mencapai rekor lebih dari USD 5 per galon.

Namun, biaya energi di AS telah mereda dalam beberapa pekan terakhir, yang dapat mulai mengurangi beberapa tekanan pada konsumen.

Tetapi bank sentral atau Federal Reserve (The Fed) kemungkinan akan melanjutkan kenaikan suku bunga agresifnya karena mencoba meredam lonjakan harga dengan mendinginkan permintaan sebelum inflasi naik lagi.

Di tengah naiknya inflasi, survei ekonomi The Fed juga menunjukkan kekhawatiran resesi yang meningkat. 

Laporan yang disebut sebagai Beige Book ini mengumpulkan pandangan dari 12 distrik The Fed, melihat pertumbuhan ekonomi akan berjalan biasa-biasa saja.

Adapun lima distrik yang mengkhawatirkan ada peningkatan risiko resesi.

"Serupa dengan laporan sebelumnya, prospek pertumbuhan ekonomi masa depan sebagian besar negatif di antara distrik yang melaporkan, dengan ekspektasi melemahnya permintaan lebih lanjut selama 6 hingga 12 bulan ke depan," kata laporan itu, dikutip dari CNBC International.

 

* BACA BERITA TERKINI LAINNYA DI GOOGLE NEWS

3 dari 3 halaman

IMF Pangkas Lagi Ramalan Pertumbuhan Ekonomi AS Jadi 2,3 Persen

Dana Moneter Internasional (IMF) kembali memangkas perkiraan pertumbuhan ekonomi Amerika Serikat, menjadi 2,3 persen dari semula 2,9 persen pada akhir Juni 2022.

Penurunan itu terjadi karena data terbaru menunjukkan melemahnya pengeluaran konsumen. 

Dilansir dari Channel News Asia, IMF juga memangkas perkiraan pertumbuhan PDB riil Amerika Serikat pada 2023 mendatang menjadi 1,0 persen dari semula 1,7 persen pada 24 Juni 2022, ketika bertemu dengan pejabat AS untuk penilaian tahunan kebijakan ekonomi negara itu.

IMF mengatakan dalam sebuah pernyataan bahwa lonjakan inflasi yang luas "memunculkan risiko sistemik baik bagi Amerika Serikat dan ekonomi global".

"Prioritas kebijakan sekarang harus memperlambat pertumbuhan upah dan harga secara cepat tanpa memicu resesi," kata IMF dalam laporan staf Article IV.

"Ini akan menjadi tugas yang sulit," ujar badan tersebut.

Selain itu, dikatakan juga bahwa pengetatan kebijakan moneter The Fed akan membantu menurunkan inflasi AS menjadi 1,9 persen pada kuartal keempat 2023, dibandingkan dengan perkiraan 6,6 persen untuk kuartal keempat 2022.

Langkah itu memang akan semakin memperlambat pertumbuhan ekonomi AS, tetapi IMF masih memperkirakan negara itu akan terhindar dari resesi.

Ekonom di Western Hemisphere Department IMF Andrew Hodge mengatakan dalam sebuah posting blog bahwa kenaikan suku bunga The Fed dan berkurangnya pengeluaran pemerintah akan memperlambat pertumbuhan belanja konsumen "menjadi sekitar nol pada awal tahun depan".

"Perlambatan permintaan akan meningkatkan pengangguran menjadi sekitar 5 persen pada akhir 2023, yang akan menurunkan upah," Hodge memperingatkan.

* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.