Sukses

HEADLINE: IMF Pastikan Ekonomi Indonesia Tak Masuk Jurang Krisis, Syarat Utamanya?

Dana Moneter Internasional (IMF) memastikan Indonesia tak akan masuk jurang krisis ekonomi.

Liputan6.com, Jakarta Gelombang unjuk rasa di Sri Lanka membuat heboh dunia dalam beberapa waktu terakhir. Penyebabnya, krisis berkepanjangan yang melanda negara berjuluk Mutiara dari Samudera Hindia ini membuat kondisi ekonomi dan politik luluh lantak.

Imbasnya, Presiden Sri Lanka Gotabaya Rajapaksa pun terpaksa mengumumkan pengunduran diri setelah pengunjuk rasa menyerbu kediaman resminya dan membakar rumah perdana menteri.

Awal mula dari krisis ini adalah utang yang membelit negara di Asia Selatan ini. Salah satu negara pemberi utang tertinggi adalah China.

Sri Lanka pun meminta China untuk merestrukturisasi pembayaran utangnya sebagai bagian dari upaya mengatasi situasi keuangannya yang memburuk.

Presiden Sri Lanka Gotabaya Rajapaksa mengajukan permintaan tersebut dalam pertemuan dengan Menteri Luar Negeri China Wang Yi pada Minggu 9 Januari 2022.

Dalam dekade terakhir, China telah meminjamkan Sri Lanka lebih dari USD 5 miliar untuk proyek-proyek termasuk jalan, bandara, dan pelabuhan.

Tetapi para kritikus mengatakan, uang itu digunakan untuk skema yang tidak perlu dengan pengembalian rendah, demikian dikutip dari laman BBC.

"Presiden menyatakan bahwa akan sangat melegakan negara jika perhatian dapat diberikan pada restrukturisasi pembayaran utang sebagai solusi atas krisis ekonomi yang muncul dalam menghadapi pandemi COVID-19," kata pigak Rajapaksa.

Pernyataan itu juga mengatakan, China diminta untuk memberikan persyaratan "konsesi" untuk ekspornya ke Sri Lanka, yang berjumlah sekitar USD 3,5 miliar tahun lalu, tanpa memberikan rincian lebih lanjut.

Krisis keuangan semakin parah. Hal itu bahkan memicu kekurangan bahan bakar dan melumpuhkan jaringan listriknya.

Cadangan devisa negara yang menipis telah memicu krisis ekonomi terburuk di Sri Lanka selama puluhan tahun.

Krisis mata uang menghambat impor bahan bakar dan kebutuhan pokok lain dari luar negeri, termasuk susu bubuk, gas untuk memasak, dan bensin.

Sri Lanka kini sedang berjuang untuk membayar impor penting seperti pangan, bahan bakar dan obat-obatan untuk 22 juta penduduknya, saat negara itu berjuang melawan krisis valuta asing.

Inflasi Sri Lanka sendiri telah melonjak sekitar 50 persen, dengan harga pangan 80 persen lebih tinggi dari tahun lalu.

Ditambah lagi, Rupee Sri Lanka telah merosot nilainya terhadap dolar AS dan mata uang global utama lainnya tahun ini. Selama bertahun-tahun, Sri Lanka telah menumpuk sejumlah besar utang.

Bulan lalu, Sri Lanka menjadi negara pertama di kawasan Asia Pasifik dalam 20 tahun yang gagal membayar utang luar negerinya.

Para pejabat Sri Lanka telah bernegosiasi dengan IMF untuk paket bailout USD 3 miliar. Namun pembicaraan tersebut saat ini terhenti di tengah masalah politik.

Berkaca dari kejadian ini, Dana Moneter Internasional (IMF) mengatakan bahwa krisis ekonomi di Sri Lanka merupakan peringatan bagi ekonomi di negara-negara Asia lainnya.

"Negara-negara dengan tingkat utang yang tinggi dan ruang kebijakan yang terbatas akan menghadapi tekanan tambahan. Tidak terabaikan lagi Sri Lanka menjadi tanda peringatan," kata Direktur Pelaksana IMF Kristalina Georgieva, dikutip dari BBC.

Georgieva mengatakan bahwa negara-negara berkembang juga mengalami arus keluar modal yang berkelanjutan selama empat bulan berturut-turut, menempatkan impian mereka untuk mengejar ekonomi maju terhambat.

Lantas apakah Indonesia akan mengalami krisis serupa?

Kabar baiknya, Dana Moneter Internasional (IMF) memberi keyakinan kepada Pemerintah bahwa Indonesia secara mandiri masih bisa bertahan dari ancaman situasi geopolitik akibat perang Rusia-Ukraina. Sehingga Indonesia cenderung aman dari ancaman krisis ekonomi.

Hal itu dikatakan langsung Kristalina Georgieva di hadapan Menteri BUMN Erick Thohir dan Menteri Pariwisata dan Ekonomi Kreatif Sandiaga Uno, saat mengunjungi Gedung Sarinah, Jakarta, beberapa waktu lalu. 

IMF memandang bahwa ekonomi Indonesia masih akan tetap positif di tengah tekanan geopolitik akibat perang Rusia dan Ukraina.

"Ada tiga hal yang disampaikan, pertama dia meyakinkan Indonesia tidak berada dalam jurang krisis seperti yang digembar-gemborkan," ujar Erick.

Kendati begitu, hal tersebut tidak menurunkan kewaspadaan Indonesia meski secara internal ekonomi Indonesia dalam posisi kuat. "Secara eksternal, yang namanya geopolitik, global ekonomi bisa saja berdampak," ucap Erick.

Georgieva, lanjut Erick, menilai Indonesia sudah menuju pada arah yang baik dengan memiliki fondasi ekonomi yang kuat dengan kemajuan pembangunan infrastruktur dan pemberdayaan kepada UMKM.

 

* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.

* Follow Official WhatsApp Channel Liputan6.com untuk mendapatkan berita-berita terkini dengan mengklik tautan ini.

2 dari 7 halaman

Kondisi Indonesia

Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi Luhut Binsar Pandjaitan pun angkat bicara soal potensi krisis yang mungkin melanda Indonesia seperti dialami Sri Lanka.

Luhut menyiratkan jika kondisi ekonomi Indonesia saat ini jauh dari jurang krisis. Terbukti, ekonomi Indonesia mampu tumbuh 5,1 persen di kuartal I 2022. Bahkan, ekonomi Indonesia menjadi salah satu yang terbaik di dunia.

"Kalau kita lihat Indonesia ekonomi terbaiknya di dunia di tengah di gejolak perang Ukraina ini," kata Luhut.

Indikasi ekonomi yang kuat itu, bisa dilihat dari kinerja ekspor yang positif selama 26 bulan terakhir. Begitu pula tingkat inflasi yang terjaga dengan baik.

"Kita salah satu negara yang inflasinya terbaik di dunia. Ini perlu kita syukuri," katanya.

Luhut juga menampik anggapan sejumlah pihak yang menyamakan kondisi Indonesia dengan Sri Lanka yang mengalami kebangkrutan.

Luhut meminta agar mereka yang mengkritik demikian agar bisa melihat data-data yang ada."Jadi kalo ada yang ngomong kita mau samakan dengan Sri Lanka, bilang dari saya, sakit jiwa itu. Lihat data-data yang baik. Suruh datang ke saya, dia. Orang bilang, Nih Pak Luhut nantang. Bukan nantang ya. Supaya dia jangan membohongi rakyatnya, jangan kepentingan politiknya di bikin-bikinin," tegasnya.

Menurut Menko Luhut, dalam keadaan sulit seperti saat ini, semua pihak harus kompak.

"Jangan membohongi rakyatnya. Itu saya nggak suka melihat itu. Jadi untuk dia populer, dia bikin berita-berita bombastis yang membohongi rakyat. Itu saya pikir ndak adil dan tidak benar," pungkas Luhut.

Hal senada diungkapkan Menteri Investasi/Kepala Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM), Bahlil Lahadalia. Indonesia saat ini masih aman dari ancaman krisis ekonomi yang telah menimpa sejumlah negara.

Namun, ia tak ingin negara lepas kendali terhadap situasi global yang tengah diancam oleh konflik geopolitik antara Rusia dan Ukraina.

"Apakah Indonesia keluar dari krisis? Menurut saya Indonesia tidak krisis. Bahwa kita harus berhati-hati iya, karena itu respon kita terhadap ekonomi global akibat perang Ukraina dan Rusia," ujarnya di Jakarta.

"Saya agak sedikit kurang pas dalam suasana kebatinan, bahwa indonesia krisis. Apanya yang krisis? Bahwa kondisi kita harus hati-hati iya," tegas Bahlil.

Menurut dia, pemerintah kini tengah gencar mendongkrak pasar dalam negeri agar tidak bergantung terhadap barang dari luar. Utamanya dalam memanfaatkan sumber daya alam (SDA) lokal yang ada.

"Apa yang harus dilakukan Indonesia? Kita untuk pangan bersyukurlah, bahwa Allah/tuhan sangat memberikan kita rahmat yang sangat luar biasa dengan makanan lokal yang melimpah," ungkapnya.

Dengan begitu, ia pun percaya minat asing untuk menanamkan investasi di Indonesia masih bakal terus bergulir. Ditambah pemerintah pun gencar menjaga ekonomi nasional agar tidak tergerus laju inflasi, agar Indonesia tidak terjebak dalam situasi krisis.

"Kenapa investasi asing masih percaya kepada Indonesia, fundamental kita dianggap cukup bagus. Kenapa? Karena pertumbuhan kita sangat bagus. Inflasi sekalipun ada kenaikan tapi kita jaga," terangnya.

"Rasio utang kita masih tetap dalam kondisi Insya Allah baik, sekalipun tambah terus. Tetapi kan aset kita di satu sisi nambah terus, sehingga menjaga pertumbuhan konsumsi dan daya beli kita," kata Bahlil.

 

3 dari 7 halaman

Tak akan Senasib dengan Sri Lanka

Ekonom dari Center of Reform on Economics (CORE) Piter Abdullah optimistis Indonesia jauh dari jurang krisis ekonomi. Meski sejumlah negara di dunia saat ini tengah dihadapkan oleh ancaman krisis yang melanda akibat berbagai sebab.

Misalnya, Sri Lanka yang belakangan di label sebagai negara bangkrut. Bahkan, menyebabkan kerusuhan yang melanda negaranya tersebut.

“Ekonomi Indonesia didukung kekayaan sumber daya alam yang berlimpah, kenaikan harga komoditas saat ini menjadi beban bagi banyak negara lain justru menjadi limpahan berkah bagi Indonesia, Penerimaan pemerintah mencatatkan kenaikan yang cukup signifikan selama periode booming harga komoditas. Hal ini tidak dialami oleh Sri Lanka,” ujar Piter kepada Liputan6.com.

Di sisi usaha, ekonomi Indonesia ditopang oleh sejumlah perusahaan pelat merah dan swasta yang sama-sama dinilai berkelas dunia. Sehingga ini jadi salah satu aspek penting dalam menjaga kestabilan ekonomi nasional.

“Indonesia punya Pertamina, Inalum, Telkom, Bank Mandiri, Bank BCA, Medco, hingga Indofood, yang kiprahnya tidak hanya diakui di dalam negeri tetapi juga global. Semuanya aktif memutar perekonomian Indonesia menghasilkan output nasional sekaligus menjadikan Indonesia termasuk 20 besar ekonomi dunia,” paparnya.

Dari sisi kebijakan, Piter memandang Indonesia memiliki kebijakan moneter dan fiskal yang terencana dengan cukup baik. Sehingga utang pemerintah juga tidak pernah melewati 60 persen dari Produk Domestik Bruto (PDB).

“Dengan kinerja perekonomian yang konsisten, didukung kedisiplinan pemerintah mengelola fiskal, investor asing dan domestik tidak pernah kehilangan keyakinannya untuk membeli surat utang Indonesia, fiskal terjaga dengan terus berputarnya utang pemerintah,” bebernya.

Dampak Pandemi

Piter memandang Indonesia sempat masuk ke jurang resesi. Namun hal ini bisa kembali dimanfaatkan oleh pemangku kepentingan untuk memperbaiki kondisi ekonomi nasional. Diantaranya, peran Otoritas Jasa Keuangan (OJK) dan Bank Indonesia yang mempercepat pemulihan ekonomi.

“Meskipun perekonomian dilanda resesi, sistem keuangan Indonesia relatif terjaga stabil. Respons kebijakan yang terukur dari OJK mampu menjaga sistem keuangan tidak mengalami perburukan yang berarti,” terangnya.

“Indikator-indikator utama di pasar keuangan, industri perbankan, dan industri keuangan non bank selama pandemi masih menunjukkan kinerja yang relatif baik. Indikator-indikator utama tersebut antara lain adalah kualitas kredit atau pembiayaan (NPL dan NPF), permodalan, dan likuiditas,” tambah Piter.

Di sisi lain, kualitas kredit perbankan atau pembiayaan di lembaga pembiayaan selalu terjaga di level yang relatif aman. Meski sempat mengalami sedikit peningkatan akibat pandemi.

Menurut catatan Piter, NPL dan NPF tidak pernah melewati batas psikologis 5 persen, selalu di kisaran 3 persen.

Permodalan

Sementara itu, dari sisi permodalan, lembaga keuangan perbankan, lembaga pembiayaan dan asuransi masih memiliki kecukupan modal. CAR perbankan terjaga di atas 20 persen.

“Sementara gearing ratio industri pembiayaan dan RBC industri asuransi jiwa dan asuransi umum juga aman memenuhi threshold masing-masing industri,” ungkap dia.

Terakhir dari sisi likuiditas. Sistem keuangan Indonesia juga memenuhi batas-batas likuiditas yang dipersyaratkan. Rasio alat likuid perbankan terhadap non core deposit senantiasa berada di atas threshold  (50 persen).

Demikian juga dengan rasio alat likuid terhadap dana pihak ketiga tidak pernah dibawah  threshold 10 persen.

“Terjaganya stabilitas sistem keuangan ini juga yang membedakan Indonesia dengan Sri Lanka. Hal ini sekaligus menegaskan perekonomian Indonesia jauh dari kemungkinan kebangkrutan seperti Sri Lanka,” kata dia.

Kendati banyak hal yang bisa menopang Indonesia sebelum jatuh ke jurang krisis ekonomi, Piter melihat satu potensi yang bisa memperburuk. Artinya, Indonesia bisa masuk ke kondisi krisis ketika tak mampu menahan harga bahan pokok dalam negeri.

“Kita tetap ada potensi resesi kalau pemerintah membiarkan inflasi naik tinggi yg bisa memangkas daya beli dan konsumsi masyarakat,” kata dia.

“Ini bisa terjadi kalau pemerintah memilih menaikkan harga barang 2 subsidi guna mengamankan APBN,” tambahnya.

Hal yang sama diungkapkan Anggota Komisi XI DPR RI Kamrussamad. Dia memandang Indonesia tak akan masuk ke jurang krisis ekonomi.

Meskipun berbagai negara diprediksi terdampak dengan adanya krisis ekonomi global yang dipicu oleh memanasnya kondisi geopolitik global.

Kendati begitu, ada hal yang perlu dijaga oleh pemerintah Indonesia. Salah satunya berkaitan dengan tingkat pertumbuhan pada kuartal III dan kuartal IV yang harus dijaga tetap positif.

“Resesi ekonomi indonesia tahun ini bisa dipastikan masih relatif aman, jika Pertumbuhan ekonomi kuartal 3 dan 4 masih Positif. Tentu hal tersebut akan dipengaruhi oleh supply dan demand,” katanya kepada Liputan6.com.

Politisi dari Partai Gerindra itu mengamini resesi ekonomi yang terjadi di sejumlah negara bisa berdampak pada Indonesia. Apalagi dengan status Amerika Serikat yang saat ini telah masuk ke resesi.

“Kita akan lihat dampaknya terhadap Tiongkok dan beberapa negara Asia yang merupakan mitra utama dagang Indonesia,” terangnya.

Adanya kenaikan komoditas global turut mempengaruhi tingkat ekonomi sejumlah negara. Meski begitu Kamrussamad memandang Indonesia masih diuntungkan, karena Indonesia menjadi salah satu penghasil komoditas yang diminati dunia.

Dua hal yang paling diminati adalah sektor energi. Yakni, batubara dan minyak kelapa sawit. Walaupun untuk penyaluran Crude Palm Oil (CPO) tengah diupayakan untuk ditingkatkan.

“Saat ini indonesia masih diuntungkan oleh harga komoditas dunia meningkat sehingga neraca perdagangan meningkat positif,” ujarnya.

Ekonom Senior Didik Junaidi Rachbini memastikan kondisi Indonesia dengan Srilanka jauh berbeda. Tetapi potensi resesi krisis dan resesi Indonesia memang ada. Dengan catatan jika stabilitas politik lebih berat dan harga-harga terus naik sehingga memicu protes keras rakyat.

"Jadi, Srilanka dan Indonesia tidak sama, dan tidak bisa ditarik-tarik Indonesia akan mengalami krisis seperti Srilanka. Hanya, melihat krisis global sekarang dan Indonesia punya masalah berat seperti sekarang, maka potensi krisis pasti ada. Potensi akan semakin besar jika stabilitas politik tidak memadai," jelasnya.

4 dari 7 halaman

Peluang Terhindar dari Jerat Krisis

Sementara itu, Staf Khusus Menteri Keuangan Yustinus Prastowo, mengatakan Indonesia bisa terhindar dari ancaman krisis ekonomi, karena peran APBN yang adaptif.

Dia memahami, kondisi pandemi COVID-19 dan memanasnya situasi geopolitik perang Rusia-Ukraina menyebabkan gangguan ekonomi dunia.

Diantaranya, menghambat aliran perdagangan global, meningkatkan harga minyak, mengancam rantai pasokan makanan, meningkatkan risiko stagflasi, memperbesar inflasi, dan menghambat pemulihan ekonomi dunia.

Namun, di tengah kondisi resesi dunia, perekonomian Indonesia terus pulih dan mampu bertahan dengan kondisi fundamental yang kuat dengan kebijakan ekonomi yang responsif, akuntabel, dan kredibel.

Oleh karena itu, Kementerian Keuangan memberikan apresiasi yang tinggi kepada badan dan lembaga dunia yang telah memprediksikan kondisi ekonomi Indonesia yang aman dari resesi seperti IMF, World Bank, OECD, dan Fitch Ratings.

“Proyeksi kondisi ekonomi Indonesia yang lebih resilien dibandingkan negara lain di dunia, tidak terlepas dari peran APBN yang aktif dan adaptif,” kata Yustinus kepada Liputan6.com.

Dia menegaskan, APBN berhasil menjadi shock absorber atas tantangan situasi global melalui kebijakan pemulihan ekonomi nasional, perlindungan sosial dan masyarakat, peningkatan kesehatan, subsidi dan kompensasi, serta fasilitas-fasilitas ekonomi untuk menjaga daya beli masyarakat.

Kendati demikian, Indonesia melalui Kementerian Keuangan terus mengelola perekonomian negara dengan prudential, antisipatif, dan cepat-tanggap untuk terus mendorong pemulihan dan stabilitas ekonomi di tengah resesi global yang terjadi.

“Kebijakan pemerintah dalam menjaga perekonomian negara, dilaksanakan dengan penuh kehati-hatian dan kewaspadaan yang tinggi atas kondisi dinamika ekonomi global saat ini,” pungkasnya. 

Sedangkan Kepala Pusat Kebijakan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) Badan Kebijakan Fiskal (BKF) Kementerian Keuangan Wahyu Utomo, mengatakan Indonesia termasuk negara dengan probabilitas krisis relatif kecil, yaitu 3 persen.

“Berdasar survei Bloomberg Indonesia termasuk negara yg probabilitas krisis relatif kecil sekitar 3 persen,” kata Wahyu kepada Liputan6.com.

Selain itu, Wahyu menyebut kinerja APBN tahun 2022 juga menunjuk performance yang baik pendapatan optimal, APBN surplus, primary balance juga surplus, risiko utang terkendali

“Jadi, menurut kami dari sisi makro relatif stabil dan sisi fiskal tetap sustainable,” ujarnya.

Tak hanya itu saja, Indonesia recovery atau pemulihan ekonominya cukup kuat dibanding negara lain, bahkan inflasinya masih terkendali.

“Recovery cukup kuat, inflasi masih terkendali (stabilitas ekonomi). Defisit tahun 2021 sebesar 4,57 persen PDB dan rasio utang relatif rendah 40,7 persen PDB di banding beberapa negara lain,” ucapnya.

 

5 dari 7 halaman

Kondisi di Negara Lain

Tak seperti Indonesia, kondisi ekonomi dunia saat ini memang tengah bergejolak. Bahkan CEO Deutsche Bank AG, Christian Sewing memperingatkan ekonomi global mungkin menuju resesi karena bank sentral di sejumlah negara meningkatkan upaya untuk mengekang inflasi. 

Dalam KTT Future of Finance di Frankfurt pada 22 Juni lalu, Christian Sewing menyebut ekonomi global tengah menghadapi berbagai tekanan, salah satu masalah rantai pasokan di China hingga kenaikan harga pangan, terutama di negara-negara berpenghasilan rendah.

"Setidaknya saya akan mengatakan kita melihat kemungkinan 50 persen resesi global," kata Christian Sewing dalam sebuah wawancara, dikutip dari Bloomberg.

Menurut Sewing, kemungkinan resesi di Amerika Serikat dan Eropa datang pada paruh kedua 2023 mendatang, pada saat yang sama suku bunga juga naik,  dibandingkan perkiraan sebelum perang Rusia-Ukraina pecah.

Komentar Sewing datang di hari yang sama ketika analis di Citigroup Inc mengungkapkan prediksi serupa, mengutip guncangan pasokan dan suku bunga yang tinggi.

"Pengalaman sejarah menunjukkan bahwa disinflasi sering membawa biaya yang berarti untuk pertumbuhan dan kami melihat kemungkinan agregat resesi saat ini mendekati 50 persen," demikian pernyataan bersama ekonom Citigroup.

"Bank-bank sentral mungkin belum merekayasa pendaratan lunak – yang diwujudkan dalam perkiraan mereka (dan di kami), tetapi ini akan membutuhkan guncangan pasokan untuk surut dan permintaan tetap tangguh," imbuh para ekonom Citigroup.

Citigroup sekarang meramal ekonomi dunia tumbuh di angka 3 persen tahun ini dan 2,8 persen pada tahun 2023 mendetang.

"Kami melihat ini sebagai ekspektasi yang masuk akal, tetapi  seperti yang telah kami tekankan, adalah bagaimana dinamika inflasi yang keras pada akhirnya terlihat" kata mereka.

Sulit Berkelit dari Resesi

Sementara itu, Kepala ekonom Bank Dunia Carmen Reinhart skeptis atau meragu jika Amerika Serikat dan ekonomi global dapat menghindari resesi.

Adanya lonjakan inflasi, kenaikan suku bunga yang tajam dan perlambatan pertumbuhan di China jadi penyebab keraguan tersebut.

Dikutip dari Channel News Asia, Reinhart mengakui bahwa mengurangi inflasi dan merancang soft landing pada saat yang sama merupakan tugas yang berat.

"Yang mengkhawatirkan semua orang adalah bahwa semua risiko menumpuk pada sisi negatifnya," kata Reinhart dalam wawancara jarak jauh, mengutip serangkaian guncangan dan langkah Federal Reserve untuk menaikkan suku bunga.

"Saya cukup skeptis. Pada pertengahan 1990-an, di bawah Ketua ( The Fed) (Alan) Greenspan, kami mengalami soft landing, tetapi kekhawatiran inflasi pada saat itu sekitar 3 persen, bukan sekitar 8,5 persen. Ini tidak seperti Anda dapat menunjukkan banyak episode pengetatan The Fed yang signifikan yang belum berdampak pada perekonomian," ungkap dia ketika ditanya apakah resesi dapat dihindari di Amerika Serikat atau secara global.

Bank Dunia bulan ini memangkas perkiraan pertumbuhan ekonomi global hampir sepertiga menjadi 2,9 persen untuk tahun 2022 ini. 

Lembaga keuangan internasional itu memperingatkan bahwa perang Rusia-Ukraina telah menambah kerusakan yang terjadi akibat pandemi Covid-19, dan banyak negara sekarang menghadapi resesi.

Selain itu, Bank Dunia juga mengatakan pertumbuhan global bisa turun menjadi 2,1 persen pada 2022 dan 1,5 persen pada 2023, mendorong pertumbuhan per kapita mendekati nol, jika risiko penurunan terwujud.

"The Fed seharusnya bertindak - dan saya sudah mengatakan ini sejak lama - lebih cepat daripada nanti dan lebih agresif. Semakin lama Anda menunggu, semakin keras tindakan yang harus Anda ambil," pungkas Reinhart. 

AS, Inggris, Eropa Hingga Jepang Bakal Resesi 12 Bulan Kedepan 

Nasib ekonomi sejumlah negara di dunia diramal akan ditentukan dalam 12 bulan ke depan. Kepala ekonom di perusahaan keuangan jepang Nomura, Rob Subbaraman meramal bahwa sejumlah negara ekonomi besar di dunia akan jatuh ke dalam resesi dalam 12 bulan ke depan, karena bank sentral bergerak untuk secara agresif memperketat kebijakan moneter untuk melawan lonjakan inflasi. 

Pernyataan Subbaraman menandai ramalan terbaru dari banyak prediksi bank-bank besar di dunia terkait resesi ekonomi.

"Saat ini bank sentral, banyak dari mereka telah beralih ke mandat tunggal, dan itu untuk menurunkan inflasi. Kredibilitas kebijakan moneter adalah aset yang terlalu berharga untuk hilang. Jadi mereka akan menjadi sangat agresif," kata Subbaraman, yang juga merupakan kepala riset pasar global Asia ex-Japan, dikutip dari CNBC International Selasa (5/7/2022). 

"Itu berarti kenaikan tarif muatan depan. Kita sudah memperingatkan selama beberapa bulan tentang risiko resesi. Sekarang kita melihat banyak negara maju yang benar-benar bakal jatuh ke dalam resesi," ujarnya kepada CNBC Street Signs Asia.

Selain Amerika Serikat, Nomura juga memperkirakan resesi akan terjadi di negara-negara Eropa atau zona euro, Inggris, Jepang, Korea Selatan, Australia, dan Kanada tahun depan.

Subbaraman menyebut, bank-bank sentral di seluruh dunia mempertahankan kebijakan moneter yang longgar terlalu lama, dengan harapan inflasi akan bersifat sementara.

"Satu hal lagi yang saya tunjukkan bahwa, ketika ada banyak ekonomi yang melemah, Anda tidak dapat mengandalkan ekspor untuk pertumbuhan. Itulah alasan lain mengapa kita menganggap risiko resesi ini sangat nyata dan kemungkinan akan terjadi," jelasnya.   

6 dari 7 halaman

9 Negara Terancam Bangkrut Seperti Sri Lanka

Laporan yang dirilis Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) yang dirilis bulan lalu menjadi sorotan karena mengungkapkan sederet 9 negara yang terancam bangkrut seperti Sri Lanka.

Dilansir dari Associated Press, Rabu (13/7/2022) laporan PBB bertajuk Global Crisis Response Group itu mencatat, ada sekitar 1,6 miliar orang di 94 negara yang menghadapi setidaknya satu kasus krisis pangan, energi dan sistem keuangan. 

Berikut adalah 9 negara yang disebut terancam bangkrut seperti Sri Lanka : 

1. Afghanistan

Afghanistan telah terhuyung-huyung dari krisis ekonomi sejak Taliban mengambil alih negara itu setelah Amerika Serikat dan NATO menarik pasukan mereka tahun lalu.

Bantuan asing, yang telah lama menjadi andalan berhenti datang sejak penarikan pasukan AS, diikuti oleh sanksi, pemberhentian transfer bank dan melumpuhkan perdagangan, menolak untuk mengakui pemerintah Taliban.

Krisis ekonomi di Afghanistan juga diperparah dengan bencana gempa bumi baru-baru ini yang menewaskan lebih dari 1.000 jiwa.

2. Argentina

PBB mengungkapkan, sekitar empat dari setiap 10 orang Argentina dalam keadaan ekonomi yang sulit dan bank sentralnya kehabisan cadangan devisa karena mata uang yang melemah.

Inflasi Argentina diperkirakan akan melebihi 70 persen tahun ini.

Jutaan orang Argentina bertahan hidup sebagian besar berkat dapur umum dan program kesejahteraan negara, banyak di antaranya disalurkan melalui gerakan sosial yang kuat secara politik terkait dengan partai yang berkuasa.

3. Mesir 

Inflasi Mesir melonjak hampir 15 persen pada April 2022. Hal ini mengakibatkan sepertiga dari 103 juta penduduknya hidup dalam kemiskinan.

Masyarakat Mesir juga sudah kesusahan karena program reformasi ambisius pemerintahnya membuat mata uang mereka mengambang dan memangkas subsidi bahan bakar, air, hingga listrik.

Ditambah lagi, kebijakan bank sentral Mesir yang menaikkan suku bunga demi mengekang laju inflasi telah menyulitkan pemerintahnya membayar utang luar negeri yang menumpuk.

4. Laos 

Tingkat utang Laos telah melonjak dan seperti Sri Lanka, Laos sedang dalam pembicaraan dengan kreditur tentang cara membayar kembali pinjaman senilai miliaran dolar.

Cadangan devisanya jugankurang dari dua bulan impor, kata Bank Dunia. Mata uang Laos juga anjlok hingga 30 persen.

5. Lebanon

Selain Laos, Lebanon juga melihat keruntuhan mata uang, tingkat inflasi yang mendorong kelaparan, hingga antrian gas.

Lebanon juga gagal membayar utang mereka senilai USD 90 miliar atau setara Rp 1,3 kuadriliun. Rasio utangnya pun meningkat hingga mencapai 170 persen terhadap PDB.

Bank Dunia mengungkapkan, krisis ekonomi Lebanon menempati peringkat salah satu yang terburuk di dunia dalam lebih dari 150 tahun.

7 dari 7 halaman

Negara Selanjutnya

6. Myanmar

Pandemi covid-19 dan ketidakstabilan politik telah menghantam ekonomi Myanmar, terutama menyusul aksi kudeta militer pada Februari 2021 terhadap pemerintahan terpilih Aung San Suu Kyi.

Menyusul kudeta, Myanmar pun dihujani sanksi dari negara Barat, seperti penarikan bisnis secara besar-besaran. Ekonomi Myanmar terkontraksi minus 18 persen pada tahun lalu dan diperkirakan tidak tumbuh pada tahun ini.

Dilaporkan ada lebih dari 700 ribu orang di Myanmar yang melarikan diri atau diusir dari rumah mereka karena konflik bersenjata dan kekerasan politik yang terjadi.

Dengan situasi yang rumit itu, Bank Dunia tidak mengeluarkan proyeksi untuk Myanmar pada 2022-2024.

7. Pakistan

Seperti Sri Lanka, Pakistan telah melakukan pembicaraan mendesak dengan IMF, berharap untuk menghidupkan kembali paket bailout senilia USD 6 miliar yang ditunda setelah pemerintah Perdana Menteri Imran Khan lengser pada April 2022.

Melonjaknya harga minyak mentah di Pakistan telah mendorong naiknya harga bahan bakar hingga memicu kenaikan biaya lainnya.

Mata uang rupee Pakistan pun merosot 30 persen terhadap dolar AS tahun lalu dan cadangan devisanya turun menjadi hanya USD 13,5 miliar atau setara dua bulan impor.

8. Zimbabwe

Pada tahun 2008 silam,Zimbabwe pernah menyandang status hiperinflasi ketika inflasinya mencapai 500 miliar persen.

Kekhawatiran tersebut meningkat karena inflasi Zimbabwe saat ini sudah menyentuh 130 persen.

Masalah ekonomi Zimbabwe sudah menahun dan semakin parah karena korupsi, rendahnya investasi yang masuk, dan tumpukan utang.

Ditambah lagi, warga Zimbabwe tidak mempercayai mata uang negara mereka dan memilih menyimpan uang dalam bentuk dolar AS.

9. Turki

Turki menghadapi krisisi  setelah inflasi mencapai lebih dari 60 persen. Sejak tahun lalu, mata uang lira Turki telah jatuh ke posisi terendah sepanjang masa terhadap euro dan dolar AS.

Kebijakan pemangkasan pajak dan subsidi bahan bakar untuk meredam lonjakan inflasi yang diambil Pemerintahan Presiden Recep Tayyip Erdogan disebut gagal mendorong Turki keluar dari krisis.

 

* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.