Sukses

Pengusaha Minta Sri Mulyani Hapus Bea Keluar dan Pungutan Ekspor CPO

Bea keluar dan pungutan ekspor CPO dinilai kian memberatkan terlebih di tengah belum pulihnya ekspor CPO saat ini sehingga membuat pengusaha sawit makin tertekan.

Liputan6.com, Jakarta Pemerintah dalam hal ini Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati diminta untuk menghapus bea keluar dan pungutan ekspor minyak sawit mentah atau Crude Palm Oil (CPO).

Pasalnya, bea keluar dan pungutan ekspor CPO tersebut kian memberatkan terlebih di tengah belum pulihnya ekspor CPO saat ini sehingga membuat pengusaha sawit makin tertekan.

Ketua Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia (GAPKI) Sumatra Utara Alexander Maha mengeluhkan banyaknya pengeluaran yang mencekik pengusaha sawit. "Kutipan ekspor sangat membebani perusahaan," kata Alex, Kamis (14/7/2022).

Ia mencontohkan, per 1 Juli 2022, ada bea keluar senilai USD 288 per ton CPO, pungutan ekspor USD 200 per ton CPO dan tarif tambahan flush out senilai USD 200 per ton CPO.

Walhasil, total biaya yang harus dikeluarkan pengusaha mencapai USD 688 per ton. Bila menggunakan asumsi kurs Rp 15.000 per dolar AS, pengusaha harus membayar total pungutan Rp 10.000 per kilogram CPO.

Bea keluar dan levy untuk ekspor CPO mencapai USD 688 per ton di saat harga CPO dunia berada di kisaran USD 535 per ton. Itu artinya bea keluar yang harus dikeluarkan pengusaha lebih besar dibandingkan harga CPO yang dijualnya.

 

 

* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.

* Follow Official WhatsApp Channel Liputan6.com untuk mendapatkan berita-berita terkini dengan mengklik tautan ini.

2 dari 3 halaman

Perbandingan

Sebagai perbandingan, tarif bea keluar ekspor CPO pada 1 Juli 2019 hanya sebesar USD 50 per ton dengan harga CPO saat itu rata-rata USD 453 per ton.

Kemudian pada 1 Juli 2020, tarif bea keluar CPO naik menjadi USD 55 per ton dengan harga CPO saat itu USD 523 per ton.

Sedangkan pada 1 Juli 2021, tarif bea keluar CPO melonjak tajam menjadi USD 291 per ton, di saat harga CPO dunia mencapai USD 723 per ton.

"Jumlahnya sangat tinggi, diperkirakan USD 688 per ton CPO setara Rp 10.000 per kg CPO TBS," ungkapnya.

Bak jatuh tertimpa tangga, di saat tarif kutipan ekspor CPO tinggi, pengusaha justru kesulitan untuk menjual CPO-nya ke luar negeri. Imbasnya, stok di tangki-tangki pabrik kelapa sawit (PKS) pun melimpah bahkan beberapa PKS tak kuat lagi untuk menampungnya.

"Stok CPO Indonesia mendekati 8 juta ton, tangki-tangki di banyak PKS dan pelabuhan hampir penuh," tutur dia.

 

 

3 dari 3 halaman

Stok Melimpah

Kondisi stok yang melimpah ini, lanjut Alex, menjadi salah satu biang kerok anjloknya harga tanda buah segar (TBS) sawit. Sebagai informasi, harga pembelian per kilogram TBS pada 4 Juli 2022 rata-rata Rp916 di petani swadaya dan Rp1.259 di petani plasma/mitra.

Pada 5 Juli 2022, harga itu turun menjadi Rp898 di petani swadaya dan Rp1.236 di petani bermitra/plasma. Harga kembali turun pada 6 Juli 2022, menjadi Rp811 di petani swadaya dan Rp1.200 di petani mitra/plasma.

"Kondisi stok yang melimpah mencapai 8 juta ton (tangki-tangki dipabrik sebagian penuh dan hampir penuh). Perjuangan merebut pasar dunia yang sebagian sudah diisi produk substitusi (soy oil, sunflower oil, rapseed oil dan minyak nabati lainnya pada saat stop ekspor, kondisi perekonomian dunia yang kurang baik, dan pungutan ekspor yang tinggi menyebabkan harga TBS petani anjlok," jelas dia.

Oleh sebab itu, Alex memnita pemerintah untuk segera mencari solusi atas permasalahan di sektor sawit ini. Salah satunya dengan memangkas kutipan ekspor setidaknya hingga kondisi stok CPO di dalam negeri kembali normal."Kutipan ekspor segera dikurangi sampai stok CPO normal 3,5 juta-4 juta ton per bulan," tutup dia.*

* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.