Sukses

PM Boris Johnson Mundur, Bagaimana Arah Ekonomi Inggris?

Ssejumlah ekonom membeberkan perkiraan mereka terkait kebijakan ekonomi pengganti PM Inggris Boris Johnson.

Liputan6.com, Jakarta - Sejumlah ekonom memperkirakan, pengganti Perdana Menteri Inggris Boris Johnson kemungkinan akan menghasilkan dukungan fiskal yang lebih besar dan hubungan yang tidak terlalu renggang dengan Uni Eropa.

Johnson secara resmi mengundurkan diri sebagai pemimpin Partai Konservatif pekan lalu, tetapi mengatakan dia akan tetap bekerja di Downing Street sampai penggantinya dipilih. 

"Ketidakpastian seputar durasi dan konflik di Ukraina kemungkinan akan berdampak buruk pada investasi, serta kinerja ekspor melalui efek sekunder pada prospek pertumbuhan untuk UE, mitra dagang utama Inggris," kata Boris Glass, ekonom senior Inggris di S&P Global Ratings, dikutip dari CNBC International, Senin (11/7/2022).

Mundurnya Johnson sebagai perdana menteri bertepatan dengan penurunan ekonomi Inggris.

Negara itu telah mencatat level Inflasi tertinggi dalam 40 tahun sebesar 9,1 persen pada Mei 2022 karena melonjaknya biaya makanan dan energi yang membebani biaya hidup.

Ekonomi Inggris secara tak terduga menyusut pada bulan Aprildan menandai kontraksi PDB pertama sejak dimulainya pandemi Covid-19.

Inggris juga secara luas diperkirakan akan mengalami resesi teknis pada paruh kedua tahun 2022 ini.

Office for Budget Responsibility, badan fiskal independen Inggris, telah memproyeksikan bahwa pendapatan nyata yang dapat dibelanjakan akan turun sebesar 2,2 persen tahun ini (2022/2023), penurunan tahunan terbesar sejak pencatatan dimulai, karena tekanan pada daya beli rumah tangga terus berlanjut. 

“Mengingat tekanan inflasi yang disebutkan di atas, pengetatan kebijakan moneter Bank of England (BOE), dan konflik Rusia-Ukraina yang belum berakhir, kami memproyeksikan pertumbuhan hanya 1 persen untuk Inggris pada tahun 2023, tingkat terendah di antara negara-negara G-7," ungkap  Boris Glass. 

 

* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.

* Follow Official WhatsApp Channel Liputan6.com untuk mendapatkan berita-berita terkini dengan mengklik tautan ini.

2 dari 3 halaman

Kemungkinan Dukungan Fiskal

Mantan Menteri Keuangan Inggris Rishi Sunak, yang pengunduran dirinya adalah salah satu dari dua yang memicu berakhirnya masa jabatan Johnson, mengumumkan serangkaian tindakan selama enam bulan terakhir dalam upaya untuk menangani lonjakan harga, termasuk pajak untuk minyak dan gas.

Namun, para ekonom secara luas mengharapkan kandidat mana pun yang menggantikan Johnson akan meningkatkan dukungan fiskal untuk ekonomi.

Modupe Adegbembo, ekonom G-7 di AXA Investment Management, mengatakan pertanyaannya adalah, apakah Johnson akan menggunakan periode "pengurusnya" sebagai perdana menteri dan haruskah dia diberikan tugas untuk mendorong kebijakan fiskal jangka pendek.

"Namun, ketika Perdana Menteri baru ditunjuk, kita melihat kemungkinan peningkatan pengeluaran fiskal tambahan dan/atau pemotongan pajak," kata Adegbembo dalam sebuah catatan.

"Potensi untuk mempercepat pemotongan pajak penghasilan yang direncanakan untuk tahun 2024 mungkin diajukan oleh beberapa kandidat, meskipun tetap menantang mengingat perkembangan keuangan publik," lanjut dia.

Komentar Adegbembo senada dengan ahli strategi di UBS, yang mengatakan perubahan dalam kepemimpinan membuat dukungan fiskal lebih lanjut lebih mungkin terjadi.

"Setiap dukungan tambahan untuk ekonomi Inggris akan datang pada saat yang tepat: Perkiraan pertumbuhan PDB untuk Maret adalah -0,1 persen dibandingkan Februari, dan untuk April -0,3 persen dibandingkan Maret," kata tim CIO UBS Mark Haefele.

“Peningkatan lain pada batas harga energi berarti ada tekanan lebih lanjut ke depannya, tetapi sementara kasus dasar kami adalah bahwa Inggris akan lolos dari resesi, penting untuk diingat bahwa FTSE 100 hanya menghasilkan 25 persen dari pendapatannya di Inggris," tambah Haefele.

3 dari 3 halaman

Masalah Brexit

Seiring dengan tekanan global terkait masalah rantai pasokan dan perang Rusia-Ukraina, Inggris juga berurusan dengan perdagangan dan dampak ekonomi dari Brexit, yang menurut tim multi-aset Invesco memicu inflasi dari harga makanan dan energi.

"Sulit untuk menjadi lebih konstruktif pada ekonomi Inggris saat ini. Tidak hanya fundamental ekonomi yang melemah, tetapi risiko besar dari kesalahan kebijakan juga signifikan," kata ahli strategi Invesco.

"Mengingat tekanan saat ini, kami pikir semakin sulit bagi pemerintah untuk menyatukan strategi yang jelas ke depan," sebutnya.

Boris Glass dari S&P Global pun menyarankan agar pemerintahan baru mencoba memperbaiki hubungan dengan Uni Eropa dengan mengambil pendekatan yang lebih mendamaikan hubungan perdagangan, tetapi hasil ini jauh dari jaminan mengingat luasnya pandangan di dalam Partai Konservatif.

"Dilihat dari susunan awal calon penerus Johnson, keseimbangan hasil potensial akan condong ke arah hubungan yang tidak terlalu tegang dengan UE," kata Ekonom Senior Berenberg, Kallum Pickering.

* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.