Sukses

Mundurnya PM Boris Johnson Terjadi di Tengah Tekanan Ekonomi Inggris

Pengunduran diri Perdana Menteri Boris Johnson terjadi di tengah penurunan dan ketidakpastian pada ekonomi Inggris.

Liputan6.com, Jakarta - Pengunduran diri Perdana Menteri Boris Johnson terjadi di tengah penurunan dan ketidakpastian pada ekonomi Inggris. Saat ini, negara tersebut tengah berada di bawah tekanan inflasi menuju dua digit, risiko resesi hingga Brexit.

Penentuan pengganti PM Boris Johnson, diperkirakan bisa memakan waktu hingga berminggu-minggu.

Dalam waktu yang tak singkat tersebut, ekonomi Inggris menghadapi tantangan tersendiri ketika nilai pound sterling mendekati posisi terendah dua tahun terhadap dolar AS meski naik kembali saat pengumuman mundurnya PM Boris Johnson.

Dilansir dari US News, Jumat (8/7/2022) sebelum mundurnya Boris Johnson, Inggris telah melihat inflasi yang mencapai level tertinggi dalam 40 tahun sebesar 9,1 persen.

Negara itu diperkirakan masih akan melihat inflasi hingga 11 persen akhir tahun ini.

Dana Moneter Internasional (IMF) mengatakan pada April 2022 bahwa Inggris menghadapi inflasi yang lebih persisten, serta pertumbuhan yang lebih lambat, daripada negara ekonomi besar lainnya pada 2023 mendatang.

Penurunan pound sterling baru-baru ini telah menambah tekanan inflasi, meskipun prospek peningkatan pengeluaran publik atau pemotongan pajak untuk menopang kekayaan Partai Konservatif sedikit mendorong nilai pound sterling pada Kamis 7 Juli 2022.

Selain itu, siapa pun pengganti Johnson juga diperkirakan akan mengambil keputusan besar tentang pajak dan pengeluaran yang dapat mengurangi risiko resesi tetapi juga dapat mendorong inflasi.

Saat pengunduran dirinya sebagai menteri keuangan Inggris, Rishi Sunak mengatakan dia tidak setuju atas kebijakan dengan Johnson, yang telah lama mendorong lebih banyak pemotongan pajak.

Prioritas jangka pendek Sunak sebelum mengundurkan diri adalah meringankan beban utang Inggris yang melonjak di atas 2 triliun pound sterling selama pandemi Covid-19.

Analis di bank AS Citi mengatakan mereka memperkirakan pesaing kepemimpinan Partai Konservatif Inggris Priti Patel dan Liz Truss, yang menjabat sebagai menteri dalam negeri dan luar negeri di pemerintahan Boris Johnson, mungkin menyerukan pemotongan pajak cepat dan pengeluaran yang lebih tinggi, sementara Sunak dan mantan menteri kesehatan Sajid Javid cenderung lebih berhati-hati soal fiskal.

 

* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.

* Follow Official WhatsApp Channel Liputan6.com untuk mendapatkan berita-berita terkini dengan mengklik tautan ini.

2 dari 4 halaman

Pound Sterling Turun-Naik di Tengah Berita Mundurnya Boris Johnson

Dikutip dari Euro News, nilai tukar pound sterling mempertahankan kenaikannya pada Kamis (7/7/2022) setelah Boris Johnson mengundurkan diri sebagai Perdana Menteri. 

Sebelumnya pada Rabu (6/7/2022), pound sterling sempat berada di posisi terendah dalam dua tahun terhadap dolar AS. Pound sterling menyentuh nilai terendahnya sejak Maret 2020, dipatok $ 1,1877.

Kemudian pada Kamis (7/7/2022), terhadap dolar AS, pound sterling diperdagangkan pada USD 1,1993, naik sekitar 0,6 persen.

"Sterling tetap rentan. Prospek pertumbuhan tidak baik dan Bank of England dibatasi. Saya memperkirakan resesi dalam beberapa kuartal ke depan," kata Stefan Koopman, ahli strategi makro senior di Rabobank.

3 dari 4 halaman

PM Boris Johnson Mengundurkan Diri, Bisnis di Inggris Serukan Stabilitas

Bisnis di Inggris menyerukan stabilitas setelah Boris Johnson mengumumkan pengunduran dirinya sebagai Perdana Menteri dan pergerakan untuk menemukan penggantinya dimulai.

"Kami meminta kekosongan politik perlu diisi dengan segera guna melindungi standar hidup masyarakat, melalui tindakan atas kepercayaan bisnis, investasi, dan pertumbuhan," kata Tony Danker, direktur jenderal Konfederasi Industri Inggris (CBI), dikutip dari BBC, Jumat (8/7/2022).

"Meningkatkan pertumbuhan ekonomi kembali harus menjadi fokus nomor satu bagi semua politisi," lanjut Danker.

Adapun Kitty Ussher, kepala ekonom di Institute of Directors, kelompok pengusaha Inggris, yang mengungkapkan : "Yang paling tidak disukai oleh bisnis adalah ketidakpastian dan ketidakstabilan, yang meningkatkan rasa risiko eksternal. Karena itu, kami menyadari bahwa ini adalah masalah bagi perusahaan. Penting persoalan ini bagi Partai Konservatif untuk diselesaikan.

Ussher juga mengatakan bahwa prioritas pemerintah "harus memberikan kepercayaan kepada bisnis untuk berinvestasi".

Sementara itu, dalam pidato pengunduran dirinya pada Kamis (7/7), Johnson mengatakan bahwa proses pemilihan pemimpin baru harus dimulai seusai dia mengundurkan diri.

"Saya setuju dengan Graham Brady, ketua anggota parlemen backbench kami, bahwa proses pemilihan pemimpin baru harus dimulai sekarang dan jadwal akan diumumkan minggu depan. Dan hari ini saya telah menunjuk Kabinet untuk menjabat, seperti yang saya lakukan, sampai posisi pemimpin baru diisi," ujar Johnson dalam pidato itu.

Nilai pound sterling sempat naik pada Kamis (7/7) menyusul beredarnya berita pengunduran diri Boris Johnson, kemudian kembali ke patokan USD 1,1964 beberapa jam setelahnya.

Menjelang mundurnya Boris Johnson, investor telah khawatir tentang resesi di seluruh dunia karena harga energi terus melambung, dan stagnasi ekonomi Inggris.

4 dari 4 halaman

Ramalan Nomura: AS, Inggris, Eropa Hingga Jepang Bakal Resesi 12 Bulan Kedepan

Kepala ekonom di perusahaan keuangan jepang Nomura, Rob Subbaraman meramal bahwa sejumlah negara ekonomi besar di dunia akan jatuh ke dalam resesi dalam 12 bulan ke depan, karena bank sentral bergerak untuk secara agresif memperketat kebijakan moneter untuk melawan lonjakan inflasi. 

Pernyataan Subbaraman menandai ramalan terbaru dari banyak prediksi bank-bank besar di dunia terkait resesi ekonomi.

"Saat ini bank sentral, banyak dari mereka telah beralih ke mandat tunggal, dan itu untuk menurunkan inflasi. Kredibilitas kebijakan moneter adalah aset yang terlalu berharga untuk hilang. Jadi mereka akan menjadi sangat agresif," kata Subbaraman, yang juga merupakan kepala riset pasar global Asia ex-Japan, dikutip dari CNBC International Selasa (5/7/2022). 

"Itu berarti kenaikan tarif muatan depan. Kita sudah memperingatkan selama beberapa bulan tentang risiko resesi. Sekarang kita melihat banyak negara maju yang benar-benar bakal jatuh ke dalam resesi," ujarnya kepada CNBC Street Signs Asia.

Selain Amerika Serikat, Nomura juga memperkirakan resesi akan terjadi di negara-negara Eropa atau zona euro, Inggris, Jepang, Korea Selatan, Australia, dan Kanada tahun depan.

Subbaraman menyebut, bank-bank sentral di seluruh dunia mempertahankan kebijakan moneter yang longgar terlalu lama, dengan harapan inflasi akan bersifat sementara.

"Satu hal lagi yang saya tunjukkan bahwa, ketika ada banyak ekonomi yang melemah, Anda tidak dapat mengandalkan ekspor untuk pertumbuhan. Itulah alasan lain mengapa kita menganggap risiko resesi ini sangat nyata dan kemungkinan akan terjadi,” jelasnya. 

* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.