Sukses

Inflasi Swiss di Juni 2022 Tertinggi Dalam 29 Tahun

Inflasi harga konsumen Swiss menyentuh level tertinggi dalam 29 tahun.

Liputan6.com, Jakarta - Inflasi harga konsumen Swiss menyentuh level tertinggi dalam 29 tahun, sebesar 3,4 persen di bulan Juni 2022. 

Angka itu melampaui perkiraan para ekonom dan inflasi 3 persen pertama di Swiss sejak tahun 2008.

Dilansir dari Euro News, Selasa (5/7/2022) selama lima bulan inflasi Swiss telah meningkat di atas kisaran target 0-2 persen.

Hal ini semakin memungkinkan pengentatan  kebijakan Swiss National Bank setelah bulan lalu menaikkan suku bunga untuk pertama kalinya dalam 15 tahun.

Harga konsumen di Swiss naik 0,5 persen dibandingkan bulan Mei karena bahan bakar, minyak goreng dan sayuran menjadi lebih mahal.

Inflasi Swiss inti yang berdampak pada barang-barang volatil seperti bahan bakar dan makanan naik 1,9 persen.

"SNB menaikkan suku bunga kebijakannya dari -0,75 persen menjadi -0,25 persen pada bulan Juni dan kami pikir ada peluang bagus, yang akan membawanya ke area positif sebelum pertemuan yang dijadwalkan berikutnya, pada bulan September – mungkin setelah kenaikan suku bunga ECB yang akan segera terjadi, pada 21 Juli," kata analis di Capital Economics, David Oxley, kepada kliennya.

Sebelumnya, bulan lalu, Ketua Swiss National Bank Thomas Jordan telah mengatakan bahwa tekanan inflasi yang sedang berlangsung berarti pengetatan kebijakan moneter lebih lanjut kemungkinan akan diperlukan.

"Kami menerbitkan perkiraan inflasi baru. Jika Anda menafsirkannya dengan benar, Anda melihat bahwa ada kebutuhan tertentu yang mungkin lebih diperketat," kata Jordan dalam sebuah konferensi di Zurich saat itu.

* Follow Official WhatsApp Channel Liputan6.com untuk mendapatkan berita-berita terkini dengan mengklik tautan ini.

2 dari 3 halaman

Inflasi Dunia Ancam Pemulihan Ekonomi RI, Sri Mulyani Was-Was

Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati optimis, pertumbuhan ekonomi sepanjang 2022 bisa mencapai 4,9 persen hingga 5,4 persen.

Alasannya, mobilitas masyarakat kian meningkat dan berbagai aktivitas ekonomi kembali berjalan seiring dengan terkendalinya Covid-19.

Hanya saja, momentum pemulihan ekonomi saat ini mengalami tekanan dari kenaikan inflasi dunia yang mulai merembes ke pasar domestik. Hal ini pun berpotensi menggerus pertumbuhan konsumsi rumah tangga yang sedang mengalami peningkatan.

"Konsumsi masyarakat yang akan pulih tetapi harus dilihat hati-hati karena inflasi akan menggerus dukungan dari pertumbuhan konsumsi rumah tangga kita," kata Sri Mulyani di kompleks DPR, Jakarta, Jumat (1/7).

Tak hanya itu, sumber pertumbuhan terbesar lainnya yakni sektor investasi juga berpotensi terganggu jika inflasi terus mengalami kenaikan. Kenaikan inflasi di dalam negeri pun terancam pertumbuhannya.

"Kemungkinan akan tergerus kalau inflasi interested naik, ini bisa menurunkan investasi," katanya.

Artinya, dua sektor ini menjadi penentu kinerja ekonomi tahun ini rentan terhadap kenaikan inflasi. Untuk itu, bendahara negara ini akan menjaga pertumbuhan agar tetap bisa tumbuh dengan kualitas yang baik.

Dia menginginkan pertumbuhan ekonomi hanya sukses dari sisi pertumbuhan angka. Melainkan juga harus bisa menciptakan kesempatan baru bagi masyarakat untuk memperbaiki kualitas hidupnya.

"Pemulihan ekonomi ini bukan untuk kembalikan gross tetapi menciptakan kesempatan kerja baru dan mengurangi kemiskinan," katanya.

3 dari 3 halaman

BI: Inflasi 2022 Bisa Lewati 4 Persen

Bank Indonesia (BI) melihat dengan realisasi  saat ini maka kemungkinan besar angka inflasi sepanjang tahun 2022 bakal di atas 4 persen. Artinya kenaikan inflasi akan melebihi target yang ditetapkan pemerintah yakni sekitar 2 persen sampai 4 persen.

"Tahun 2022 ini inflasi kita diperkirakan melewati batas atas kami yakni 4 persen," kata Deputi Gubernur Bank Indonesia Destry Damayanti dalam rapat Badan Anggaran DPR RI di Kompleks DPR, Jakarta, Senin (27/6/2022).

Destry menjelaskan, Bank Indonesia mewaspadai dampak kenaikan bahan pangan terhadap ekspektasi inflasi. BI mengaku akan menggunakan semua kebijakan yang dimiliki untuk menahan laju inflasi. Utamanya pada inflasi inti yang saat ini sudah di level 3,6 persen.

"Kami akan all out kebijakan yang kita punya dan penyesuaian suku bunga kalau ada tanda-tanda kenaikan inflasi inti," kata dia.

Meski begitu Destry meyakini kenaikan inflasi bersifat sementara. Sehingga pada tahun 2023, tingkat inflasi akan kembali dalam kisaran pemerintah sekitar 3 persen plus minus 1 persen.

"Tapi tahun 2023 kami perkirakan akan kembali di range 3 persen plus minus 1 persen," kata dia.

Tak hanya ancaman inflasi, Indonesia juga dihadapkan pada ancaman kenaikan nilai tukar rupiah terhadap dolar. Kondisi ini terjadi karena situasi tekanan yang tinggi.

Hanya saja, Destry optimis di 2023 akan kembali mereda seiring dengan kondisi ekonomi nasional yang berdaya tahan. Di sisi lain CAR tahun ini akan lebih kecil dari tahun 202 karena cadangan devisa yang cukup ample dan perekonomian domestik yang semakin kuat.

"Kami akan perkuat kebijakan stabilitas nilai tukar rupiah untuk mendukung pengendalian inflasi dan makroekonomi," kata dia.

* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.