Sukses

6 Alasan Indonesia Tak Ditinggal Investor Asing Meski The Fed Dongkrak Suku Bunga

Inflasi Indonesia secara komparatif masih rendah. Secara year on year inflasi Mei hanya 3,55 persen. Bandingkan dengan AS yang angkanya sudah mencapai 8,3 persen pada April lalu.

Liputan6.com, Jakarta - Pengamat Ekonomi dari Indonesia Strategic and Economic Action Institution Ronny P Sasmita, mengungkapkan beberapa alasan Indonesia tidak akan ditinggalkan investor asing meskipun The Fed menaikkan suku bunga maksimal 250 basis poin (bps) di 2022.

Rencananya, secara keseluruhan suku bunga kebijakan The Fed akan mencapai 2,75 persen di akhir 2022. Lalu pada 2023, The Fed juga diprediksi akan mengerek suku bunga sebanyak 2 kali hingga akhir 2023, targetnya diprediksi mencapai 3,25 persen.

Ronny mengatakan, jika itu terjadi, memang akan berpengaruh pada yield surat utang di Amerika, terutama yang bertenor panjang seperti 10 tahun. Jadi, tahun ini US Treasury bond bisa terkerek sampai 3 persen dan tahun depan bisa maksimum sampai 3,5 persen.

“Namun, tidak berarti Indonesia akan ditinggalkan oleh investor asing. Karena pertama, porsi kepemilikan asing dalam SBN saat ini hanya sekitar 20 persen. Mayoritasnya adalah pemilik modal dalam negeri,” kata Ronny kepada Liputan6.com, Kamis (9/6/2022).

Kedua, inflasi di Indonesia secara komparatif masih rendah. Secara year on year inflasi bulan Mei hanya 3,55 persen. Bandingkan dengan Amerika Serikat yang angkanya sudah mencapai 8,3 persen pada bulan April lalu, kemudian Inflasi Inggris mencapai 9 persen, Brasil 12,1 persen, Meksiko 7,7 persen, India 7,8 persen, dan Rusia 17,8 persen.

 

 

* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.

* Follow Official WhatsApp Channel Liputan6.com untuk mendapatkan berita-berita terkini dengan mengklik tautan ini.

2 dari 3 halaman

Faktor Ketiga

Ketiga, inflasi Indonesia bukan disebabkan oleh faktor moneter atau peningkatan masif uang beredar, tapi oleh kenaikan harga komoditas internasional akibat supply terpengaruh perang Ukraina-Rusia dan persoalan tata kelola yang buruk yang membuat harga-harga beberapa komoditas menjadi melonjak tajam di dalam negeri.

Keempat, kenaikan suku bunga the Fed kali ini bukan karena performa ekonomi Amerika sedang kinclong lalu over heated, tapi malah sedang diambang resesi dan stagflasi.

Dimana operasi moneter yang masif dengan tingkat utang yang makin membesar di era Biden menjadi penyebab utama inflasi, selain perang Ukraina-Rusia. Sehingga kebijakan moneter dengan menaikan suku bunga dianggap sebagai salah satu opsi.

Itupun masih tarik ulur karena sekalipun inflasi tinggi, tapi The Fed masih terkendala dengan angka pengangguran yang tinggi

“Dengan kata lain, Amerika tidak ujuk-ujuk menjadi tujuan investasi yang seksi saat suku bunga The Fed naik. Investor global akan berpikir panjang untuk merepatriasi dananya kembali ke Amerika, termasuk ke US Treasury Bond,” ujarnya.

 

3 dari 3 halaman

Faktor Kelima

Kelima, karena faktor performa ekonomi itu, Indonesia tetap akan jauh lebih menarik. Indonesia masih membukukan pertumbuhan yang baik dan stabil, dengan proyeksi yang juga semakin membaik untuk tahun-tahun mendatang

Keenam, dia menduga, BI pun, selain melihat inflasi nasional secara komparatif yang masih rendah, juga melihat faktor pengangguran nasional yang terbilang kembali meninggi akibat pandemi.

“Jika menaikan suku bunga saat ini bisa mengganggu kinerja kredit dan investasi nasional, otomatis akan langsung berpengaruh pada kapasitas ekonomi nasional dalam menyerap tenaga kerja alias akan semakin memperburuk angka pengangguran nasional,” pungkasnya.

 

* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.